Nasional

Pembubaran Ibadah Mahasiswa Katolik UNPAM, Bangun Ekosistem Toleransi Harus Jadi Perhatian Bersama

Oleh : very - Selasa, 07/05/2024 20:56 WIB

Pembubaran ibadah mahasiswa Katolik. (Foto: iNews)

Tangsel, INDONEWS.ID - Kasus pembubaran ibadah kembali terjadi. Kali ini menimpa Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (UNPAM) yang  melaksanakan ibadah Rosario.

Video dan narasi-narasi terkait peristiwa tersebut viral di berbagai platform, baik media sosial maupun media arus utama.

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan mengatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) sekaligus cerminan dari lemahnya ekosistem toleransi di tengah tata kebinekaan Indonesia.

“Kasus ini mempertegas bahwa situasi pelanggaran KBB stagnan serta gangguan atas tempat ibadah dan peribadatan masih terus terjadi,” ujarnya dalam pernyataan pers di Jakarta, Selasa (7/5).

Dia menyebutkan bahwa, data SETARA Institute menunjukkan, dalam periode tahun 2007-2022 terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia.

Kasus pembubaran ibadah Rosario Mahasiswa Katolik UNPAM tersebut juga menunjukkan bahwa intoleransi dan kebencian terus menjadi ancaman terhadap hak atas KBB yang secara konstitusional harus dijamin oleh negara dan pemerintah.

Dia mengatakan, dalam kasus pembubaran rosario di Unpam, ada dua faktor utama yang mendorong pembubaran. Pertama yaitu adanya intoleransi di kalangan masyarakat. Kedua, adanya kegagalan elemen negara, dalam konteks ini RT/RW sebagai unsur negara di tingkat terkecil, di ranah masyarakat, untuk menjamin hak seluruh warga atas KBB.

Karena itu, pihak kepolisian harus berupaya untuk mendamaikan para pihak  mesti kita apresiasi.

“Namun demikian, kepolisian perlu memastikan adanya dugaan tidak pidana yang terjadi. Penegakan hukum atas kasus-kasus persekusi penting untuk dilakukan, untuk mencegah perluasan persekusi dan pelanggaran KBB,” ujarnya.

Dalam pemantauan SETARA Institute selama ini, lemahnya penegakan hukum sering terjadi berkenaan dengan pelanggaran KBB dan secara umum menjadikan kelompok minoritas sebagai korban.

Karena itu, SETARA Institute mendorong seluruh pihak untuk menahan diri. Narasi-narasi lanjutan terkait peristiwa yang mereproduksi kebencian dan menaikkan tensi konfliktual mesti dihentikan. Para pihak juga diharapkan untuk melakukan upaya-upaya cooling down.

SETARA Institute juga mendesak para pihak untuk menolak politisasi terkait kasus tersebut dalam rangka dinamika elektoral, khususnya terkait Pilkada pada November 2024 mendatang.

Selain itu, SETARA Institute mendesak Pemerintah untuk melakukan tindakan lanjutan yang dibutuhkan, seperti penanganan korban, jaminan perlindungan hak atas KBB, dan penegakan hukum atas tindak kekerasan yang terjadi.

Peneliti KBB SETARA Institute, Harkirtan Kaur menambahkan, berkenaan dengan banyaknya kasus pembubaran, persekusi, dan pelanggaran-pelanggaran lain atas KBB, agenda besar yang harus menjadi perhatian bersama yaitu membangun ekosistem toleransi di tingkat masyarakat.

Ekosistem toleransi ini, katanya, mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik, yaitu wali kota dan seluruh kepemimpinan politik mesti memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi.

Di samping itu, diperlukan inisiatif dan kepemimpinan birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat Kecamatan dan RT/RW.

“Lebih dari itu, pembangunan ekosistem juga membutuhkan prakarsa dan kepemimpinan sosial. Seluruh elemen masyarakat terkait, baik dalam bentuk entitas resmi seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), dan Majelis-Majelis Keagamaan, maupun komunitas-komunitas sosial di berbagai bidang, seperti kebudayaan tradisional, kesenian, dan sebagainya, mesti terlibat dalam pembangunan ekosistem toleransi,”pungkasnya. ***

 

 

Artikel Terkait