Nasional

Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila

Oleh : very - Jum'at, 10/05/2024 15:46 WIB

Prof. Sri Yunanto, M.Si., PhD., Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). (Foto: dok PMD BNPT)

Jakarta, INDONEWS.ID - Indonesia baru saja menyelesaikan proses demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 untuk memilih presiden dan wakil presiden dan para anggota wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029.

Harapan dan tantangan terbesar ke depan adalah membangun bangsa Indonesia, khususnya dari rongrongan ideologi-ideologi anti Pancasila.

Pada era Presiden Joko Widodo, penanganan masalah ini sudah sangat tegas dengan dibubarkan organisasi-organisasi yang jelas menantang Pancasila seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ideologi khilafah.

Kini pemerintahan baru dibawah komando presiden terpilih Prabowo Subianto diharapkan bisa lebih tegas dalam memberantas ideologi-ideologi transnasional tersebut.

Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Sri Yunanto, M.Si., PhD., mengungkapkan, meski organisasi kelompok tersebut sudah dibubarkan, tapi sel-sel mereka masih terus bergerak di bawah tanah.

Bahkan pada pemilu lalu, kelompok ini sempat mengkristal dalam kelompok pasangan calon (paslon) tertentu walau mereka tidak menang.

“Artinya mereka akan terus bergerak mempromosikan ideologi mereka dengan berbagai gerakan. Seperti beberapa waktu kemarin ada video viral kegiatan anak muda atau mahasiswa, dimana pembicaranya mengangkat ide lama seperti anti demokrasi, anti pajak yang dibenturkan dengan zakat. Kemudian ujung-ujungnya anti NKRI,” ungkap Sri Yunanto di Jakarta, Jumat (10/5/2024). 

Ia menilai, kegiatan itu menjadi tanda bahwa kelompok tersebut berusaha untuk kembali ke permukaan sejak HTI dibubarkan pada 2017 dengan memanfaatkan momentum politik yaitu pemilu. Itu juga menjadi bukti, meski organisasinya telah dibubaran, tetapi kelompok tersebut masih eksis.

“Mereka mungkin bisa berganti nama atau ‘rumah’ baru, tapi isinya tetap ideologi khilafah yang ingin mempreteli kebijakan negara. Saya konfirmasi ini neo-HTI yang secara gerakan ideologi ke arah sana tapi organisasinya gak pakai HTI,” tukasnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Untuk itu, Sri Yunanto berharap pemerintah baru nanti harus waspada. Apalagi pemerintah baru nanti memiliki rencana kebutuhan anggaran lebih besar diluar anggaran rutin dengan adanya IKN, serta makan siang gratis yang menjadi platform saat kampanye kemarin.

Untuk mewujudkan platform tersebut, sumber penerimaan harus digenjot. Karena itu, santer dikabarkan nanti akan ada satu badan penerimaan negara seperti Dirjen Pajak, yang dipisahkan dari Kementerian Keuangan.

“Disitu serangan ideologinya sudah ada. Kalau saya lihat viral di video. Viral itu misalnya mereka mendelegitimasi tentang pajak, padahal pajak adalah sumber utama penerimaan negara,” jelasnya.

 

Harus Ada Langkah Preempif dan Preventif

Sri Yunanto menyarankan, selain kontra narasi yang harus terus dilakukan untuk memerangi propaganda kelompok tersebut, juga harus ada langkah preemtif dan preventif untuk menangani kelompok tersebut.

Hal itu penting agar kelompok tersebut tidak makin besar. Apalagi setelah pemilu, pada akhir tahun 2024 ini akan ada Pilkada serentak. Bukan tidak mungkin kelompok ini akan bermetamorfosis mendukung calon-calon di Pilkada serentak.

“Ini harus diwaspadai. Tapi saya tidak tahu apakah pemerintah seperti sudah punya pemetakaan kira-kira pemain-pemain di provinsi dan kabupaten yang berpotensi menggunakan kelompok ini untuk mencari kemenangan,” ujarnya.

Pelajaran pada Pilkada serentak sebelumnya, lanjut Sri Yunanto, ada di beberapa daerah yang mengusung gagasan syariat Islam. Karena itulah, harus ada studi agar penanganan masalah ini tidak salah dan itu butuh ketegasan dari pemerintah.

Ia mencontohkan, pada rekrutmen mahasiswa baru, tidak ada langkah nyata dalam memberikan pemahaman kepada mahasiswa baru terkait organisasi dan ideolog-ideologi yang harus mereka jauhi karena bertentangan dengan Pancasila.

“Sejauh ini ini masih begitu-begitu aja walaupun ospek sudah gak ada. Dulu saya sarankan, misalnya ketika pengenalan organisasi intra dan ekstra negara harus berani mengatakan bahwa dalam sejarah bangsa ini pernah ada organisasi yang menggunakan basis mahasiswa mengusung ideologi khilafah dan itu dibubarkan. Kenapa? itu harus dikatakan sehingga mahasiswa baru tidak dekat-dekat organisasi semacam ini. Padahal itu jelas kebijakan negara, kenapa takut diceritakan? Kalau takut diceritakan akhirnya mahasiswa baru bingung kemudian mereka didekati lagi kelompok tersebut,” paparnya.

Ia menilai pentingnya penguatan sinergi dan sinkronisasi antar lembaga pemerintah untuk menangani masalah ini. Contohnya, kalau kegiatan di luar kampus, menjadi domain intelijen sehingga sinkronisasi antar lembaga intelijen harus jelas benar. Jangan hanya banyak diceritakan saja, tanpa ada tindakan jelas.

“Saya khan orang kampus gak bisa aksi, kalau negara jangan hanya cerita masalah, negara melalui lembaga harus mengambil aksi. Setelah masalahnya jelas, aksinya seperti apa, kerangka hukumnya jelas, atau mau persuasi atau pakai apa,” tegasnya.

Bila menyangkut ideologi yang membahayakan Pancasila dan kebijakan negara, kata Sri Yunanto, kalau berangkatnya dari pemikiran agama tentu domain Kementerian Agama, sementara kalau Pancasila menjadi tugas BPIP.

“Even politik sudah selesai, kita kembali ke even kebangsaan, pemerintahan, kenegaraan. Selain pemerintah, peran masyarakat untuk memerangi ideologi transnasional juga vital. Dalam hal ini, organisasi masyarakat yang besar dan mainstream di Indonesia harus mulai lagi menggelorakan wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan yang moderat. Itu bisa dilakukan melalui diskusi dan pembahasan yang tentunya harus difasilitasi dan didorong oleh negara. Menurutnya, tidak mungkin masyarakat punya inisiatif sendiri karena yang punya resources itu negara,” ujarnya.

“Marilah kita kembali ke jatidiri bangsa Indonesia dengan bangkit menyuarakan pemikiran keagamaan moderat, inklusif, dan plural, menuju Indonesia yang lebih baik dan lebih damai kedepan,” pungkas Prof Sri Yunanto. ***

 

 

Artikel Terkait