
Jakarta, INDONEWS.ID - Seperti ketahui bahwa Indonesia merupakan penyumbang kasus tuberkulosis terbanyak kedua di dunia, dan yang pertama adalah India. Tentu kita ketahui bahwa penduduk India berjumlah 1,3 milyar penduduk, jauh lebih tinggi dari Indonesia.
Pada April 2024 lalu, India mengeluarkan “India TB Report 2024” yang diedarkan kuas ke masyarakat. “Dan tentu akan bagus kalau negara kita juga mengeluarkan laporan serupa di negara kita ya,” ujar Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia –(PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (28/5).
Setidaknya, kata Prof Tjandra, ada beberapa hal dalam “India TB Report 2024” itu yang dapat kita kaji untuk pengendalian tuberkulosis di negara kita.
Salah satu pencapaian amat penting dalam pengendalian TB di India adalah bahwa negara itu berhail menurunkan angka kematian (“mortality rate”) akibat Tuberkulosis (TB).
Angka kematian TB India turun cukup tajam, dari 28 / 100.000 penduduk di tahun 2015 menjadi 23 / 100.000 penduduk di tahun 2022. Data lain juga menunjukkan bahwa kematian akibat TB India turun dari 494.000 di tahun 2021 menjadi 331.000 di tahun 2022.
Keberhasilan kedua program TB India, katanya, adalah bahwa negara itu berhasil mencapai target 2023 mereka yaitu memulai pengobatan pada 95% pasien mereka, angka yang amat tinggi.
Dalam pelaksanaan program TB India, sebagian besar kasus ditangani oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, tetapi peran swasta juga terus meningkat.
“Ada 33% kasus yang ditangani oleh swasta di tahun 2023, atau sekitar 840 ribu kasus. Angka ini jauh meningkat dari 190.000 kasus yang ditangani swasta di tahun 2015 yang lalu,” katanya.
Pemerintah India, kata Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu, juga menyampaikan lima faktor risiko yang menjadi tantangan dalam pengendalian TB mereka, yaitu kurang gizi, HIV, Diabetes, alkohol dan kebiasaan merokok.
Untuk yang kurang gizi, selain ada program nasional gizi masyarakat maka pemerintah India juga memberi uang langsung setiap bulan pada pasien TB yang kurang gizi, sesuatu yang perlu dipertimbangkan pula tentunya, dan juga ada program keranjang makanan (“food baskets”).
Tentang HIV, diketahui bahwa risiko TB-nya naik sampai 20 kali. Sementara Diabetes meningkatkan kemungkinan mendapat TB sampai dua atau tiga kali lipat dan juga berhubungan dengan kemungkinan risiko resisten berganda obat TB (“Multi-Drug Resistant - MDR TB”).
“Akan baik kalau pengalaman dari India juga dipakai sebagai salah satu pertimbangan dan kajian dalam pemerintah mengambil kebijakan TB di negara kita, tentu sepanjang memungkinkan dijadikan ‘benchmark’ pula,” ujar Prof Tjandra. ***