Nasional

Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP: Rajut Kerukunan Umat Beragama Sebagai Pilar Kekuatan Bangsa

Oleh : very - Kamis, 01/08/2024 18:24 WIB


Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP, Dr. Antonius Benny Susetyo. (Foto: Dok PMD BNPT)

 

Jakarta, INDONEWS.ID –Menghadapi ancaman radikalisme dan terorisme, sinergi antara aspek sosial, keagamaan, budaya, dan penegakan hukum menjadi kunci utama membentengi bangsa. Pendekatan multidisipliner sangat penting untuk menciptakan kontranarasi yang efektif terhadap propaganda radikalisme dan terorisme. 

Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP, Dr. Antonius Benny Susetyo, menjelaskan integrasi empat bingkai kerukunan yang terdiri dari politis, yuridis, sosiologis, dan teologis, bisa menjadi pilar kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman ideologi transnasional.

“Pendekatan multidisipliner dalam pembentukan kontranarasi terhadap radikalisme dan terorisme ini memiliki urgensi yang tinggi agar tiap aspeknya dapat disatukan secara sinergis. Pendekatan menyeluruh ini tidak bisa hanya dilakukan dari satu aktor saja, melainkan harus komprehensif dan melibatkan semua pihak,” terang Benny, panggilan akrabnya di Jakarta, Kamis (1/8/2024).

Menurutnya, pendekatan kontranarasi yang baik tidak hanya bisa menyentuh aspek sosial, namun juga mampu melibatkan aspek ekonomi yang dapat membantu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan yang meningkat juga seringkali membentuk resistensi tersendiri dalam menangkal masuknya ideologi transnasional.

Selain itu, katanya, kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia juga memiliki peranan penting dalam menjaga kerukunan dan perdamaian. Pendekatan budaya dan simbolik juga harus menjadi perhatian, karena budaya memiliki kekuatan dalam membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat.

Walaupun bisa diikutsertakan sebagai salah satu faktor pemicu, rohaniwan ini menjelaskan bahwa timpangnya pemerataan hak bukanlah faktor yang paling dominan dalam munculnya radikalisme dan terorisme.

Menurutnya, banyak juga pelaku teror yang berasal dari kalangan mapan dan intelektual. Faktor yang lebih dominan adalah bagaimana seseorang memahami agama secara tidak utuh dan memanipulasi ajaran agama untuk kepentingan politik tertentu untuk merebut kekuasaan.

“Agama sering kali dibajak oleh kelompok radikal untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka. Mereka memanipulasi ajaran agama yang universal untuk kepentingan pribadi atau kelompok, baik untuk perebutan kekuasaan politik, ekonomi, maupun tujuan lain yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan,” ujar Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute ini seperti dikutip siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Dalam menengahi gesekan horizontal yang terjadi akibat perbedaan kebudayaan dan keyakinan, budayawan ini mengatakan bahwa regulasi di Indonesia sebenarnya sudah cukup mendukung keberagaman suku, budaya, dan agama.

Namun, masalahnya terletak pada lemahnya penegakan hukum dan kurangnya political will dari pemerintah daerah. Dia mengungkapkan bahwa banyak kekerasan terhadap umat agama terjadi karena faktor lemahnya penegakan hukum dan kurangnya sosialisasi peraturan yang ada.

Peraturan Menteri Bersama (PMB) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 misalnya, telah mengatur tentang pendirian rumah ibadah dengan jelas. Namun, seringkali peraturan ini tidak diketahui oleh masyarakat luas, terutama di tingkat RT/RW.

Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih, khususnya dari Pemerintah Daerah dan para perangkatnya, untuk mensosialisasikan peraturan-peraturan ini agar masyarakat paham dan tidak main hakim sendiri.

Untuk mengatasi ketidakpahaman masyarakat tentang peraturan-peraturan yang ada, pengamat komunikasi politik ini menyarankan pemerintah agar mewajibkan media-media untuk membuat layanan publik yang mensosialisasikan peraturan-peraturan tersebut. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui berbagai media, baik televisi, media sosial, maupun media cetak.

“Jika memang ingin mensosialisasikannya, peraturan-peraturan yang mendukung kerukunan antar umat beragama juga bisa dicetak dan diserahkan kepada RT/RW untuk disosialisasikan kepada masyarakat di tingkat bawah. Langkah ini akan lebih efektif dalam menjangkau masyarakat luas dan meningkatkan pemahaman mereka tentang hak-hak konstitusional dan kebebasan beragama yang dijamin oleh undang-undang,” ungkapnya.

Benny menyampaikan harapannya agar Indonesia tidak mudah dipecah belah oleh perbedaan kebudayaan atau keagamaan. Untuk mencapai hal ini, setiap warga negara, pemerintah, dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam merawat dan menjaga kemajemukan bangsa.

Ia menilai, diperlukan political will baik pemerintah pusat maupun daerah untuk menjamin hak berkonstitusi dan kebebasan beribadah. Kedua, peranan masyarakat sipil harus terus diperkuat dalam mensosialisasikan nilai-nilai kebangsaan dan kerukunan melalui berbagai media, termasuk media sosial dan media digital.

“Jika semua sektor, termasuk kesenian, mampu meramu pesan-pesan kerukunan dan kemajemukan dengan efektif, eksistensi bangsa dan negara Indonesia akan tetap kokoh. Dengan integrasi empat bingkai kerukunan, yaitu aspek politis, penegakan hukum, budaya, dan keagamaan, bangsa Indonesia dapat membangun kontra narasi yang kuat terhadap radikalisme dan terorisme, serta menjaga kedamaian dan kerukunan di tengah keberagaman,” pungkasnya. *

 

Artikel Lainnya