Opini

"Tirakat Politik" sebagai Jalan Metafisika

Oleh : very - Sabtu, 23/11/2024 20:28 WIB


Pilkada Jawa Tengah. (Foto: Antara)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pilkada di Jawa Tengah memang menjadi bettleground antara Jokowi dan Megawati Soekarno Putri. Kesimpulan ini tidak sepenuhnya salah mengingat di tempat ini menjadi pertempuran paling sengit sejak Pilpres 2024.

Betapa tidak, Jawa Tengah sebagai tempat lahirnya PNI dan sudah puluhan tahun sebagai kandang banteng harus takluk pada pertempuran pilpres dimana pasangan Ganjar-Mhafud yang diusung oleh PDIP dikalahkan oleh Prabowo-Gibran.

Faktor presiden Jokowi dengan semua perangkat kekuasaannya waktu itu mampu meminggirkan suara banteng. Inilah sejarah elektoral yang membuat berbagai anomali bermunculun.

Tidak hanya di pilpres, hajatan pilkada rupanya masih menjadi medan tarung keduanya. Indikatornya sangat jelas. Endorsment Jokowi dan Presiden Prabowo secara terbuka disampaikan untuk mendukung dan berkampanye untuk pasangan Ahmad Luhfi-Taj Yasin bentukan KIM-Plus.

Memang, gestur Prabowo nampak tidak autentik saat menyampaikan dukungan di kediaman Jokowi di Solo. Bisa diduga bahwa itu bagian dari kehendak politik Jokowi dimana Prabowo masih “ewuh pakewuh”.

Tafsir ini bisa keliru. Tapi dalam politik selalu menyimpan kebenaran dalam dua panggung: ‘panggung depan” dan “panggung belakang”. Raut muka Prabowo berada dalam “raut tekanan”. Tetapi sebagai ketua umum partai yang telah menjadi presiden karena kontribusi Jokowi dan Ahmad Luthfi, Prabowo harus membuat pilihan sebagai bagian dari hubungan mutalisme.

Sebagai presiden maupun sebagai ketua umum partai memang tidak melanggar undang-undang. Tetapi sebagai presiden memang kurang etis. Hutang Prabowo kepada Jokowi masih jauh dari lunas. Bisa jadi, Prabowo mendukung di “depan panggung” sambil memasifkan mesin Gerindra.

Dan memang, sejauh ini, “jendral perang” Gerindra, Ahmad Sufmi Dasco jarang membuat statement di Pilkada Jateng. Pilkada Jawa Tengah adalah “Pilkada Jokowi”. Ia berkepentingan untuk menunjukkan bahwa dirinya setara dengan Megawati. Juga, ia berkepentingan untuk menjamin masa depan anak sulungnya di pilpres 2029.

 

PDIP dan Jalan Metafisika

Harus diakui, Jawa Tengah sebagai kandang banteng tengah dihadapkan pada kekuatan politik yang mengharuskannya berhadap-hadapan dengan kekuatan rezim yang semakin terbuka didukung oleh “Partai Coklat”.

Pertarungan dalam pilpres yang lalu telah membuktikan keberadaan partai coklat telah merontokkan basis-basis suara di kandang banteng. Kini, dengan figur mantan Panglima TNI dan mantan Wali Kota Semarang, PDIP sedang bertarung dengan sejumlah evaluasi atas kekalahannya di pilpres yang lalu.

Salah satu jalan baru PDIP adalah jalan metafisika dimana seluruh kader diperintahkan untuk “tirakat”/puasa dengan memohon bantuan dan petunjuk kepada Tuhan. Itu artinya, pertarungan ini bukan pertarungan biasa. Seluruh strategi dan alat perang telah dimaksimalkan.

Kedatangan Megawati di Medan perang dan seruan lisan yang dikirim dari Jakarta menandakan bahwa Jawa Tengah menjadi pusat perhatian nasional.

Inilah pilkada rasa pilpres yang menyimpan “dendam politik” dengan bungkus demokrasi. Seruan Megawati untuk pejabat negara, TNI-Polri, ASN berdasarkan keputusan MK tentang netralitias adalah seruan konstitusional. Tetapi lagi-lagi, dalam kompetisi politik yang semakin menegang, seruan konstitusional dan moral terkalahkan oleh ambisi dan perangkat kekuasaan.

Jika aparat penegak hukum, sengaja atau tidak sengaja bekerja dalam medan politik partisan maka sesungguhnya kita sedang berada dalam darurat konstitusi. Yang bisa menghentikan hanya kekuatan rakyat dan campur tangan Tuhan.

Jalan metafisika yang ditempuh PDIP bisa jadi jalan paling bijaksana sambil menunggu aspirasi rakyat yang memuncak kemarahannya. Kita tidak tau, apakah adigum “suara rakyat suara Tuhan” akan dibela oleh Tuhan sendiri melalui jalan “tirakat” kader PDIP.

Jika belum dikabulkan, berarti Tuhan masih sedang menguji kesatriaan para pejuang kader PDIP. Dan barangkali, PDIP sedang diingatkan bahwa kestarian sejati tidak berusuan dengan menang-kalah semata. Tetapi soal ketahanan dalam memperjuangkan keyakinan meskipun harus terus menyongsong badai.

*) Abdul Mukti Ro’uf adalah dosen Filsafat dan Pemikiran Islam di Pascasarjana IAIN Pontianak

Artikel Lainnya