Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Pekerjaan dan tanggungjawab teramat berat akan dipikul oleh Direktur Utama (Dirut) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Pertamina (Persero) yang baru, yaitu Simon Aloysius Mantiri. Kenapa amat berat? Sebabnya adalah mantan Dirut Pertamina sebelumnya, Nicke Widyawati meninggalkan utang perusahaan yang menggunung berkali-kali lipat kenaikannya selama enam (6) tahun menjabat, 2018-2024. Pernyataan Komisaris Utama (Komut) Pertamina sebelumnya, yaitu Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang pernah mengungkapkan bahwa Pertamina selama ini sering berutang menjadi terkonfirmasi.
Ahok dahulu pernah menyatakan bahwa utang BUMN Pertamina pada tahun 2019 telah mencapai US$16 miliar atau sekitar Rp236 triliun (US$1= Rp 14.800). Menurut Ahok, utang yang diperoleh Pertamina sangat sering dipergunakan untuk melakukan akuisisi ladang dan blok minyak di luar negeri sementara di dalam negeri masih ada potensi eksplorasi minyak dan gas yang besar. Bahkan, Pertamina merupakan salah satu BUMN penyumbang utang terbesar berdasar laporan keuangan konsolidasi tahun 2022 (diaudit) yang dipublikasikan.
Total utang Pertamina periode 2022 telah mencapai US$50,59 miliar atau setara Rp755,69 triliun. Angka itu mengalami lonjakan sejumlah US$5,87 miliar atau setara Rp87,7 triliun dari posisi utang perusahaan per 2021 yang sejumlah US$44,72 miliar atau setara Rp667,99 triliun. Dibandingkan saat awal menjabat Dirut Pertamina, kenaikan utang yang dilakukan oleh Nicke Widyawati mencapai sejumlah US$34,59 atau senilai Rp519,69 triliun, adalah catatan prestasi atau rekor utang yang sangat fantastis!
Ketika Nicke Widyawati menjabat Dirut Pertamina menggantikan Elia Massa Manik pada tahun 2018, jumlah utang yang ditinggalkannya hanya senilai US$10,51 miliar atau Rp149,77 triliun. Dan, harta kekayaan (asset) Pertamina berjumlah Rp151 triliun ditambah Penyertaan Modal Negara (PMN) sejumlah Rp82,3 triliun atau totalnya senilai Rp233,3 triliun. Sedangkan, tahun 2019 mengacu pada pernyataan Komut Ahok utang Pertamina telah meningkat sejumlah US$5,49 miliar atau bertambah Rp112 triliun. Sejumlah Rp108 triliun digunakan untuk investasi Refinery Development Master Plan (RDMP) kilang Balikpapan. Kenaikan utang itu telah menyebabkan turunnya nilai pengembalian modal perseroan menjadi 7,2 persen atau laba bersih berkurang 8,2 persen.
Selanjutnya, ditahun 2022 utang Pertamina telah semakin menggunung dan bertambah sejumlah Rp519,69 triliun atau setara US$33,53 miliar. ROA yang berhasi dicapai hanya sebesar 10,8 persen atau masih lebih rendah dibanding capaian jajaran dewan manajemen ditahun 2018. Meskipun, laba bersih yang dicatatkan pada periode 2022 ini diklaim meningkat sebesar 86 persen dibanding tahun 2021, yaitu senilai Rp56,6 triliun atau US$3,8 miliar. Namun, dengan peningkatan utang yang lebih tinggi menghasilkan kinerja korporasi yang semakin menurun. Artinya, pertambahan nilai pengelolaan harta kekayaan (asset) Pertamina dengan semakin meningkatnya utang dan investasi semakin menghasilkan inefisiensi dan tidak efektif berkinerja positif.
Oleh karena itu, publik patut menuntut transparansi dan akuntabilitas kinerja tingkat pengembalian hasil tersebut kepada jajaran direksi dan komisaris Pertamina. Tidak hanya kepada Dirut Pertamina ansich tetapi juga kepada Direktur Keuangan Emma Sri Hartini, Direktur Logistik dan Infrastruktut Alfian Tanjung dan Erry Widiastono selaku Direktur Penunjang Bisnis. Sebab, dengan mengambil asumsi rata-rata laba bersih per tahun sejumlah Rp56 triliiun saja, maka utang Pertamina baru akan lunas 13,5 tahun ke depan atau di tahun 2037-2038.
Untuk melunasi utang itu, maka Dirut Pertamina Simon A. Mantiri harus berjibaku menghasilkan laba per tahun sejumlah Rp150 triliun lebih. Hal ini untuk menutup berbagai cicilan utang jangka panjang (pokok dan bunga) sejumlah Rp50 triliun per tahun. Selain itu, juga berasal dari biaya tetap untuk gaji dan tunjangan karyawan serta dewan manajemen (direksi dan komisaris) sejumlah Rp100 triliun lebih, termasuk impor migas dan BBM. Angka tersebut dengan asumsi jika periode kepemimpinan Simon A. Mantiri ajeg atau tidak diganti oleh pemerintah selama lima (5) tahun.
Apalagi, jika capaian laba bersih lebih rendah dari Rp150 triliun atau di bawah Rp56 triliun, maka pelunasan utang tidak akan menghiasi dan menggembirakan sasaran Indonesia Emas 2045. Lalu, mungkinkah pengelolaan utang yang buruk selama Pertamina dinakhodai oleh Nicke Widyawati akan dapat diatasi. Publik menanti strategi dan terobosan korporasi yang akan dilakukan oleh Dirut Simon A. Mantiri dalam mengatasi beban utang tersebut. Semoga berhasil dalam mengkapitalisasi BUMN strategis ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.