Nasional

Dies Natalis Ke-27, Universitas Paramadina Diharapkan Jadi Mercusuar Pendidikan di Masa Depan

Oleh : very - Sabtu, 11/01/2025 16:44 WIB


Pemotongan tumpeng di acara perayaan Dies Natalis Universitas Paramadina ke-27 di Aula Lt. 8 Gedung Nurcholis Madjid, Kampus Universitas Paramadina Cipayung, Jumat (10/1/2025). (Foto: Humas Universitas Paramadina)

Jakarta, INDONEWS.ID - Universitas Paramadina menggelar perayaan Dies Natalis ke-27 di Aula Lt. 8 Gedung Nurcholis Madjid, Kampus Universitas Paramadina Cipayung, Jumat (10/1/2025). Acara ini turut dihadiri oleh John Riady (CEO PT. Lippo Karawaci), Amminudin (Corporate Secretary Triputra Grup), Ari Dharma Stauss (Konrad Adenauer Stiftung), serta sejumlah tamu undangan lainnya. 

Sidang Senat yang membuka acara dipimpin oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini.

Dalam sambutannya, Prof Didik mengatakan perkembangan universitas tersebut kini memiliki 5.800 mahasiswa dengan target mencapai 10.000 mahasiswa, sebagaimana diamanatkan Ketua Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina, Jusuf Kalla.

“Universitas Paramadina juga mencatatkan pencapaian dengan memiliki 7 guru besar, 15 calon guru besar, 57 lektor, dan sejumlah asisten ahli yang terus bertambah,” ujar Prof Didik. 

Ketua Umum Yayasan Wakaf Paramadina, Hendro Martowardojo, mengungkapkan kebanggaannya terhadap perkembangan Universitas Paramadina.

“Pembangunan kampus ini dimulai dari niat besar dan kerja keras yang kini mulai terwujud. Harapan kami, kampus ini akan terus berkembang dan menjadi mercusuar pendidikan di masa depan,” ujarnya. 

 

Prof. Komaruddin Hidayat menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul "Bangsa yang Tersandera". (Foto: Ist)

 

Kemampuan Membaca Tanda-tanda Zaman

Kemudian, tampil Prof. Komaruddin Hidayat yang menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul "Bangsa yang Tersandera".

Dalam orasinya Prof Komaruddin menyampaikan pandangan mengenai perjalanan panjang Indonesia sebagai bangsa, mulai dari era penjajahan hingga demokrasi modern.

Dia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memahami perjalanan sejarah sebagai bekal membangun masa depan yang lebih baik. 

Memulai pemaparannya, Prof. Komaruddin memuji visi para pemuda di era Budi Utomo pada 1908, seperti Muhammad Yamin, W.R. Supratman, Soegondo, dan lainnya, yang di usia muda sudah bermimpi besar untuk mempersatukan Indonesia.

“Pada usia di bawah 25 tahun, mereka memiliki keberanian untuk bermimpi besar, yang kemudian beresonansi dengan generasi 1945 dan mewujudkan berdirinya negara bangsa Indonesia,” ujarnya. 

Ia menekankan bahwa kemampuan membaca tanda-tanda zaman menjadi kunci bagi para pendahulu untuk membangun fondasi bangsa. Tanpa visi yang visioner, Indonesia mungkin tidak akan pernah muncul di peta dunia sebagai sebuah negara merdeka. 

Prof. Komaruddin menggarisbawahi peran Bung Karno sebagai “nation builder” yang harus menghadapi konflik panjang bersama Bung Hatta untuk membangun persatuan bangsa.

Kemudian, tragedi 1965 membawa Soeharto ke panggung sejarah sebagai state builder, yang fokus pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.

“Pak Harto dikenal sebagai Bapak Pembangunan, meskipun akhirnya tidak mampu menghadapi tekanan utang luar negeri dan tuntutan masyarakat yang berujung pada pengunduran dirinya,” ungkapnya. 

Selanjutnya, ia menyebut masa transisi yang diwarnai oleh kepemimpinan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Soekarnoputri sebagai tonggak reformasi yang membuka ruang bagi demokratisasi.

Perubahan besar seperti desentralisasi, kebebasan berserikat, dan sistem multipartai menjadi ciri khas era ini, yang kemudian diteruskan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan stabilitas politik dan pengakuan internasional. 

Namun, ia juga mencatat bahwa masa reformasi belum berhasil mengatasi korupsi secara signifikan.

Pada Pemilu 2014, demokrasi Indonesia memasuki babak baru dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi simbol demokrasi sejati. Meski demikian, ia menyoroti lemahnya komitmen pada nilai-nilai demokrasi, seperti terlihat pada dinamika politik terkini, termasuk penempatan Gibran Rakabuming Raka, anaknya, dalam panggung politik. 

Melihat ke depan, Prof. Komaruddin mengungkapkan harapannya pada sosok seperti Presiden Prabowo Subianto, yang memiliki latar belakang militer dan keluarga berpendidikan.

Ia berharap pemimpin masa depan dapat belajar dari perjalanan panjang para presiden sebelumnya. 

Namun, ia juga mengingatkan bahwa demokrasi tidak selalu melahirkan pemimpin demokrat. “Indonesia hari ini menghadapi tantangan besar karena elite politik lebih sibuk mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan, yang pada akhirnya menghambat mobilitas sosial dan suara dari bawah,” ujarnya. 

Prof. Komaruddin menegaskan pentingnya kebijakan yang visioner dan berpihak pada rakyat untuk membawa Indonesia menjadi bangsa yang kuat, baik dari segi ekonomi maupun militer.

“Kita perlu pemimpin yang tidak hanya memahami sejarah, tetapi juga mampu membangun masa depan dengan kebijakan yang adil dan berorientasi pada kepentingan rakyat” tutupnya. 

 

Institusi Unggul dengan Pemikiran Visioner

Ibu Omi Komaria Madjid, istri almarhum Prof. Nurcholis Madjid, memberikan pesan inspiratif agar Universitas Paramadina tetap berpegang pada nilai-nilai dasar seperti kejujuran, toleransi, dan keteladanan publik.

“Inilah mimpi Cak Nur yang masih harus terus direalisasikan,” tutur beliau penuh haru dan bangga. 

(Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini memberi kenang-kenangan kepada Prof Komaruddin Hidayat. Foto: Ist)

Ketua Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina, Jusuf Kalla, menambahkan refleksi historis tentang peran Universitas Paramadina dalam perjalanan pendidikan tinggi di Indonesia.

“Setelah 23 tahun melanglang buana, kini Paramadina memiliki rumah sendiri. Semoga kampus ini terus menjadi wadah pemikiran kelas menengah yang berkontribusi bagi bangsa,” katanya. 

"Alhamdulillah, setelah 23 tahun bergerak dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya Universitas Paramadina memiliki rumah sendiri," ujar Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina itu.

Jusuf Kalla, memberikan apresiasi khusus kepada Hendro Martowardoyo dan Wijayanto Samirin yang telah bekerja keras mewujudkan Impian tersebut. 

Dalam pidatonya, Jusuf Kalla juga menyoroti peran penting tiga tokoh besar yang telah berkontribusi pada pengembangan keagamaan dan kelas menengah di Indonesia.

Pertama, B.J. Habibie melalui Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICM), yang memberikan ruang kebebasan berbicara dan berpikir. Kedua, Nurcholish Madjid (Cak Nur), yang memperkenalkan konsep pengajian eksekutif untuk kelas menengah yang dinamis dan terbuka. Ketiga, Abdul Latif, yang memperkenalkan ONH Plus, menciptakan akses lebih luas bagi umat Muslim Indonesia. 

“Ketiga tokoh ini berjasa besar dalam membangun dan menginspirasi kelas menengah Indonesia,” tegasnya.

Jusuf Kalla juga mencermati bahwa Indonesia memiliki sekitar 4.500 perguruan tinggi, dari yang besar hingga yang kecil. Ia berharap Universitas Paramadina dapat berada di posisi yang baik di antara perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.

“Semoga Paramadina terus berkembang menjadi institusi yang unggul dengan pemikiran-pemikiran visioner yang diwariskan oleh Cak Nur,” tutupnya. *

Artikel Lainnya