Nasional

Produksi Sawit Indonesia Terancam, Kebijakan Pemerintah Berisiko Turunkan Produksi dan Devisa Negara

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 16/03/2025 13:46 WIB


Dewan Nasional (Denas) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto Hanu saat ditemui awak media usai melakukan penandatangan perjanjian kerja sama Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dengan Nissin Foods Holdings di kawasan Kuningan, Jakarta pada Selasa (10/12/24).

Jakarta, INDONEWS.ID - Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto buka suara terkait Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut)  keputusan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2025 dan Perpres No. 5 tahun 2025 yang mengatur penertiban kawasan hutan dapat berdampak buruk pada produksi sawit dalam negeri.

 

 

"Produksi sawit Indonesia menghadapi ancaman serius akibat kebijakan pemerintah yang menargetkan penertiban perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Peraturan ini mengedepankan peran Kementerian Pertahanan dan Kejaksaan Agung serta institusi kepolisian," kata Darto dalam keterangan tertulisnya pada media, Sabtu (16/3/25).

 

Dengan adanya legitimasi untuk melakukan penertiban, terang Darto, pemerintah akan mengambil alih pengelolaan lahan sawit yang dianggap bermasalah. Salah satu contoh yang disorot adalah pengelolaan perkebunan PT Duta Palma yang disita negara akibat kasus korupsi dan dikelola oleh Agrinas. Jika kebijakan ini diterapkan secara luas, Agrinas berpotensi menjadi BUMN sawit terbesar di Indonesia.

Namun, Darto menilai bahwa langkah ini berpotensi mengurangi produksi sawit Indonesia secara drastis. Produksi sawit nasional pada tahun 2024 tercatat sebesar 52 juta ton, lebih rendah dibandingkan 2023 yang mencapai 54 juta ton. Sementara itu, ekspor sawit Indonesia juga menurun pada 2024 menjadi hanya 29 juta ton, dibandingkan dengan 32 juta ton di tahun sebelumnya.

"Jika 317.000 hektare lahan sawit yang akan dikelola negara tidak dirawat dan diolah dengan baik, produksi CPO (crude palm oil) Indonesia diprediksi akan tergerus hingga 1,3 juta ton. Dalam skenario yang lebih ekstrem, apabila seluruh lahan sawit dalam kawasan hutan yang terancam tersebut diambil alih tanpa mempertimbangkan dialog dan perencanaan matang, produksi CPO Indonesia bisa menurun hingga 13,6 juta ton. Hal ini berpotensi membuat produksi CPO Indonesia hanya mencapai 35 juta ton pada tahun 2025," terangnya.

Selain dampak langsung terhadap produksi, Darto juga mengingatkan tentang potensi kerugian ekonomi yang lebih besar. Pemerintah telah mendorong pengembangan industri biodiesel, dengan target B40 yang memerlukan minyak sawit sekitar 15 juta ton. Jika produksi sawit menurun, kebutuhan dalam negeri dan ekspor akan terganggu, sehingga devisa negara yang diperoleh dari ekspor sawit berisiko menurun signifikan.

Pada 2024, Indonesia menghasilkan devisa sebesar 27,76 miliar dolar AS atau sekitar 440 triliun rupiah dari ekspor sawit. Namun, dengan kebijakan yang dapat mengurangi produksi, pemerintah diperkirakan akan menghadapi penurunan devisa di tahun 2025. Apalagi, dengan adanya kenaikan pajak ekspor dan pungutan ekspor yang hampir mencapai 230 USD per ton, Indonesia berisiko merugikan diri sendiri.

"Kesimpulannya, kalau produksi berkurang seperti yang saya sampaikan di atas, maka 2025 devisa kita akan berkurang dari sawit atau lebih rendah dari Rp440 triliun seperti di 2024. Belum lagi saat ini, pemerintah menaikan Pajak ekspor dan pungutan ekspor hampir 230 USD/Mt. Jika seperti ini, akan merugikan negara sendiri. Sebagaimana kita ketahui, pendapatan negara hingga februari sudah menurun dibandingkan tahun sebelumnya," paparnya.

Dia berharap negara mempertimbangkan dengan cermat segala dampak kebijakan ini, terutama dengan kondisi BUMN yang sedang menghadapi banyak masalah, khususnya yang mengelola sumber daya alam. Pemerintah diharapkan lebih bijak dalam merumuskan kebijakan terkait pengelolaan sawit, untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan keberlanjutan industri sawit yang menjadi salah satu pilar perekonomian Indonesia.

"Negara perlu mempertimbangkan segalanya. Apalagi Banyak BUMN sedang menghadapi banyak masalah khususnya BUMN yang mengelola sumber daya alam. Jangan sampai, ingin mengambil kue tapi rupanya kue yang diambil dan dimakan tersebut membuat sakit perut," tutupnya.

Artikel Lainnya