
Jakarta, INDONEWS.ID - Wacana usulan penambahan dana bantuan partai politik kembali muncul. Tujuannya disebut-sebut untuk memperkuat kelembagaan partai, mengurangi praktik politik transaksional, serta mendorong demokrasi yang lebih sehat.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow menilai usulan tersebut tidak tepat dan berpotensi menambah persoalan baru.
Menurutnya, logika penambahan bantuan negara kepada partai politik akan otomatis menekan praktik politik transaksional merupakan asumsi yang lemah dan agak dipaksakan.
”Memangnya, uang hasil politik transaksional itu masuk ke kas partai? Bisa jadi sebagian, tapi sebagian lainnya justru mengalir langsung ke elit partai politik. Artinya, menambah dana negara sebagai bantuan partai tanpa pembenahan sistem keuangan internal partai hanya akan memperbesar potensi penyalahgunaan,” ujarnya melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Kamis (22/5).
Menurut Jeirry, pengelolaan dana partai selama ini lemah dalam hal akuntabilitas dan transparansi. ”Tanpa mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang ketat, menurut saya, ruang politik transaksional justru tetap terbuka, bahkan bisa semakin marak, meskipun dana bantuan ditambah,” katanya.
Selain itu, argumentasi yang dikemukakan bahwa penambahan bantuan negara untuk partai politik akan “mengurangi” politik transaksional juga terdengar janggal dan agak dipaksakan.
Politik transaksional adalah pelanggaran, bukan sesuatu yang bisa “dikurangi”. Semestinya, kita harus bersikap tegas terhadap praktik tersebut, tidak boleh terjadi sama sekali.
”Jika masih ditoleransi, berapa persen praktik politik transaksional yang dianggap wajar dan bisa diterima? Apakah 10 persen, 20 persen, atau 50 persen. bisa diterima? Tanpa indikator yang jelas, pendekatan ini justru membuka ruang kompromi terhadap pelanggaran prinsip dan tata kelola demokrasi,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, negara kita saat ini sedang mengalami tekanan kesulitan keuangan. Belanja dievaluasi agar lebih efisien dan tepat sasaran. Dalam situasi seperti ini, maka usulan menambah dana partai politik mestinya tak menjadi prioritas sebab justru bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik pada pemerintah.
”Prioritas anggaran seharusnya diarahkan untuk sektor yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, bukan untuk membiayai partai yang belum menunjukkan perbaikan tata kelola keuangan internal. Dan bukankah partai juga harusnya berempati terhadap situasi keuangan negara yang sulit ini?,” ujarnya.
Jeirry mengatakan, harus dipertanyakan lebih jauh apakah benar penambahan bantuan dana partai politik akan berdampak langsung pada berkurangnya praktik korupsi yang dilakukan oleh elit partai politik.
”Menurut saya, jawabannya tidak! Saya menilai bahwa tidak ada hubungan langsung dan kausalitas yang jelas antara besaran bantuan negara kepada partai politik dengan perilaku korupsi elit partai,” ujarnya.
Jeirry mengatakan, korupsi marak terjadi karena lemahnya moralitas dan integritas serta lemahnya penegakan hukum, bukan semata karena kekurangan dana partai politik.
Maka, memperbesar bantuan negara kepada partai tidak serta-merta akan menyelesaikan persoalan korupsi di tubuh partai politik. ”Yang lebih dibutuhkan adalah pembenahan etika, transparansi internal, dan komitmen antikorupsi yang tegas di tubuh partai politik,” imbuhnya.
”Karena itu, saya kira, ketimbang mendorong dan mengusulkan penambahan bantuan partai politik, yang lebih mendesak adalah pembenahan nilai, budaya dan tata kelola keuangan partai. Tanpa itu, bantuan negara hanya akan menjadi pelumas bagi mesin politik yang tidak transparan dan tidak akuntabel,” pungkasnya. *