
Jakarta, INDONEWS.ID - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mencabut izin Universitas Harvard untuk menerima mahasiswa internasional, sekaligus memaksa ribuan mahasiswa asing yang saat ini tengah menempuh pendidikan di kampus tersebut untuk pindah atau kehilangan status hukum mereka.
Dilansir Reuters pada Jumat (23/5), Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem mengumumkan pencabutan sertifikasi Program Mahasiswa dan Pengunjung Pertukaran (SEVP) milik Harvard untuk tahun ajaran 2025-2026. Langkah itu disebut sebagai respons atas penolakan Harvard memberikan data yang diminta pemerintah terkait sejumlah pemegang visa pelajar asing.
Dalam pernyataannya, Noem menuduh Harvard "mendorong kekerasan, antisemitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China". Ia menyatakan bahwa izin menerima mahasiswa asing adalah “hak istimewa, bukan hak”, dan menuntut Harvard menyerahkan berbagai data sensitif, termasuk rekaman aktivitas protes mahasiswa selama lima tahun terakhir—dalam waktu 72 jam.
Menanggapi keputusan tersebut, Universitas Harvard menyebut tindakan itu ilegal dan bermotif balas dendam. “Tindakan balasan ini mengancam kerugian serius bagi komunitas Harvard dan negara kita, serta merusak misi akademis dan penelitian Harvard,” demikian pernyataan resmi universitas yang berbasis di Cambridge, Massachusetts itu.
Kebijakan kontroversial ini menuai kecaman dari anggota Kongres AS, terutama dari Partai Demokrat. Perwakilan Jaime Raskin menyebutnya sebagai “serangan yang tidak dapat ditoleransi terhadap kebebasan akademik dan independensi institusi pendidikan.”
Harvard saat ini memiliki sekitar 6.800 mahasiswa internasional—sekitar 27% dari total populasi mahasiswa. Mahasiswa asal China tercatat sebagai kelompok terbanyak, disusul oleh pelajar dari Kanada, India, Korea Selatan, dan sejumlah negara lainnya.
Kedutaan Besar China di Washington belum memberikan tanggapan atas tuduhan koordinasi antara mahasiswa asal negaranya dan Partai Komunis China.
Sebelumnya, pemerintahan Trump juga telah membekukan hibah federal senilai sekitar 3 miliar dolar AS untuk Harvard. Pemerintah menuduh kampus-kampus elit seperti Harvard menumbuhkan ideologi “kiri radikal” dan anti-Amerika, serta gagal mengatasi dugaan antisemitisme di lingkungan kampus.
Aaron Reichlin-Melnick, peneliti senior di American Immigration Council, menilai langkah ini sebagai hukuman kolektif yang tidak adil. “Tidak seorang pun dari mereka melakukan kesalahan, mereka hanya korban tambahan bagi Trump,” katanya melalui media sosial Bluesky.
Dalam wawancara di Fox News, Menteri Noem menyatakan bahwa langkah serupa sedang dipertimbangkan untuk universitas lain, termasuk Universitas Columbia di New York. “Ini seharusnya menjadi peringatan bagi setiap universitas lain untuk bertindak lebih baik,” ujarnya.
Meski sebuah pengadilan federal telah memutuskan bahwa pemerintah tidak bisa mencabut status hukum mahasiswa asing tanpa prosedur yang tepat, belum jelas bagaimana putusan tersebut akan mempengaruhi kebijakan baru terhadap Harvard.
Kebijakan ini menambah ketegangan dalam lanskap pendidikan tinggi AS yang kini berada di bawah sorotan tajam pemerintahan Trump.
Apakah Anda ingin versi ini dibuat lebih ringkas untuk media sosial atau diformat khusus untuk penerbitan daring?