
Indragiri Hulu, INDONEWS.ID - Siswa kelas 2 Sekolah Dasar Negeri 02 Buluh Rampai di Kecamatan Seberida di Kabupaten Indragiri Hulu Riau, bernama K, diduga meninggal secara tidak wajar.
Orang tua korban saat ini telah mengambil langkah hukum dengan melaporkan teman-teman sebaya korban, yang sebelumnya terlibat cekcok dan diduga menganiaya korban.
"Jenazah K telah menjalani proses autopsi pada malam tadi. Proses ini dilakukan untuk mengungkap penyebab pasti kematian korban," ujar Kapolres Indragiri Hulu, AKBP Fahrian Saleh Siregar pada Selasa (27/5/2025) lalu.
Fahrian mengatakan pihaknya telah menerima laporan orang tua korban yang mengaku anaknya dibuli dan mengalami kekerasan fisik. Saat ini kasusnya masih ditangani Satreskrim Polres Indragiri Hulu.
"Belum diketahui pasti korban meninggal akibat apa. Tapi yang jelas kita selidiki laporan orang tua korban yang mengaku anaknya mengalami bullying, secepatnya kita tangani," kata Fahrian.
Fahrian menjelaskan bahwa autopsi dimulai Senin (26/5) sekitar pukul 17.30 WIB dan berakhir pada pukul 20.00 WIB.
Autopsi dilakukan di ruangan kamar mayat RSUD Indrasari Pematang Reba, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu. Tim yang melakukan autopsi terdiri dari ahli forensik yang kompeten di bidangnya.
Mereka adalah AKBP Suprianto AMK, SKM, MH (Kasubid Dokpol Biddokes Polda Riau), Dr. M. Tegar Indrayana, Sp. FM (Dokter Spesialis Forensik), serta Tim Forensik Biddokes Polda Riau.
"Pihak keluarga korban turut hadir untuk menyaksikan langsung proses autopsi. Mereka ayah kandung dan paman korban. Kehadiran keluarga menjadi bagian penting dalam transparansi proses hukum yang sedang berjalan," ucap Fahrian seperti dilansir mediacenter.riau.go.id.
Dari hasil pemeriksaan sementara, ditemukan beberapa tanda kekerasan pada jenazah K. Jenazah anak laki-laki itu menunjukkan memar pada perut sebelah kiri bagian bawah dan tungkai atas sebelah kiri sisi depan.
"Selain itu, ditemukan pula resapan darah pada jaringan lemak di bawah kulit daerah perut, yang mengindikasikan adanya kekerasan tumpul," kata Fahrian.
Lebih lanjut, tim forensik juga menemukan cairan bebas berwarna kelabu kecoklatan yang berbau busuk pada rongga perut, serta jaringan appendix (usus buntu) yang pecah atau perforasi. Temuan ini menjadi petunjuk penting bagi penyidik dalam mengungkap rangkaian kejadian yang berujung pada kematian K.
Meskipun demikian, penyebab pasti kematian K belum dapat ditentukan secara final. Tim forensik masih menunggu hasil pemeriksaan histopatologi anatomi forensik untuk mendapatkan kesimpulan yang komprehensif mengenai penyebab kematian korban.
"Proses penyelidikan akan terus berlanjut untuk memastikan keadilan bagi K dan keluarganya," tegas Fahrian.
Kronologis
Siswa SD di Riau yang diduga dibully dan dipukul oleh kakak kelasnya tersebut hingga tewas hanya karena perbedaan agama. Siswa tersebut meninggal saat dirawat di RSUD Indrasari Rengat, Riau pada Senin (26/5/2025) sekitar pukul 02.30 WIB.
Febri, wali kelas, mengaku tidak mengetahui kejadian pemukulan tersebut, namun ia melaporkan informasi itu kepada kepala sekolah.
Mediasi pun dilakukan antara orang tua korban dan pelaku. Namun, korban dikabarkan meninggal dunia usai mediasi itu dilakukan.
Tak terima dengan kematian anaknya yang diduga akibat dipukuli, orangtua korban melaporkan kejadian ini ke Polsek Seberida agar para pelaku diproses hukum. Adapun kasus perundungan itu ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Inhu.
Penyidik telah memeriksa beberapa sejumlah saksi yakni para murid dan kepala sekolah. Kepala sekolah, Sutarno membenarkan adanya kasus perundungan tersebut.
Sebanyak tiga siswa telah mengakui perbuatannya. Namun pelaku menyebut aksi perundungan terjadi di waktu yang berbeda.
"Mereka bilang bukan satu hari sekaligus, tapi beda-beda harinya. Ada yang mengaku hanya memukul tangan ada yang mengaku memukul punggungnya, tidak ada bagian perutnya," tuturnya.
Legislator: Guru Harus Hadir dan Mewakili Kaum Minoritas
Anggota Komisi X DPR Sabam Sinaga menyoroti kasus meninggalnya siswa SD tersebut. Ia mengatakan, dirinya mendengar korban sering mengalami perundungan karena berasal dari suku minoritas dan beda agama.
"Itu perlu penanganan secara khusus, ya. Dan yang kedua, bahwa isunya bully ini karena berkaitan dengan agama minoritas di sebuah sekolah," kata Sabam kepada wartawan, Sabtu (31/5).
Legislator yang menjabat sebagai Ketua Umum Perkumpulan Kerukunan Umat Pentakosta Indonesia (PERKUPI) ini juga menyoroti kurangnya guru yang mewakili agama minoritas di sekolah-sekolah.
"Mungkin saja karena keterbatasan pendidik yang berkaitan dengan agama minoritas, maka anak-anak ini tidak tertangani dengan baik, terutama ketika jam belajar agama," imbuhnya.
Ia mengusulkan agar sekolah-sekolah di seluruh Indonesia mengacu pada UUD 1945 Pasal 28 tentang ”Kebebasan Beragama” dengan menyediakan guru-guru dari agama minoritas. Dan hal ini perlu dituangkan dalam RUU Sisdiknas.
Sabam menilai kehadiran guru agama di setiap sekolah juga bisa membatasi perundungan karena anak-anak yang saling berbeda keyakinan dilindungi oleh guru.
"Maka perlu dalam usulan ke depan, bahwa sekolah-sekolah di mana pun di seluruh Indonesia ini merujuk kepada Pasal 28 Kebebasan Beragama, sebaiknya ada juga guru-guru yang minoritas itu ditempatkan," kata legislator dapil Sumatera Utara II ini.
Lebih lanjut, Sabam juga menekankan pentingnya peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam melakukan sosialisasi kepada anak-anak dan pendidik agar tidak terjadi lagi perundungan di sekolah.
Selain itu, ia menyoroti perlunya kehadiran guru-guru, pimpinan, dan konselor di sekolah untuk menangani anak-anak yang menjadi korban perundungan secara proaktif. Bukan hanya menerima laporan siswa atau orang tua, tetapi mereka harus melihat kondisi faktual sosial anak-anak di sekolah.
"Di sekolah itu perlu juga ada guru-guru, pimpinan, konseling untuk menangani anak-anak yang korban bully. Karena korban bully ini perlu ditangani, akan mengganggu mental mereka ke depan," tutur dia.
"Dengan hadirnya guru-guru minoritas, sekolah apa pun itu, ya kan? Itu menandakan hadirnya pemerintah, satu. Yang kedua, menandakan bahwa implementasi undang-undang itu terwujud," pungkasnya.
Mendapat Kawalan dari Menteri HAM RI
Kementerian Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenham RI) melalui Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenham Sumbar dan Wilayah Kerja (Wilker) Riau mengambil langkah dalam penanganan kasus meninggalnya siswa SD di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau tersebut.
KemenHAM ingin memastikan proses penanganan kasus ini berjalan dengan seadil-adilnya, memberi penguatan bagi keluarga korban dan mendorong evaluasi serius bagi pihak sekolah.
“Kami sampaikan dukacita mendalam atas musibah yang menimpa keluarga korban. Ini pukulan bagi kemanusiaan yang tidak bisa kita anggap remeh. Kami secara serius memantau kasus ini dan mendorong agar keadilan ditegakkan sebenar-benarnya dan tentu saja sekolah atau dunia pendidikan kita menjadi catatan amat serius sebagai evaluasi agar tidak terjadi lagi di kemudian hari,” ungkap Kakanwil Kemenham Sumbar Dewi Nofyenti kepada wartawan, Kamis (5/6).
Dewi mengatakan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Wilayah Riau, Polres Inhu dan sekolah agar penyelesaian kasus perundungan yang terjadi pada seorang siswa SD di daerah Buluh Rampai, Kecamatan Seberida, Kabupaten Inhu dilakukan untuk memenuhi keadilan bagi keluarga korban.
“Kami mendapat keterangan dari Wakapolres Inhu yang menyatakan pihaknya telah melakukan tahap Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap keluarga korban dan saksi, serta menunggu hasil otopsi yang akan disampaikan oleh Kapolres Inhu. Kita kawal ini bersama,” ucapnya.
Usai dari Polres Inhu, kata Dewi, jajaran Kanwil bersama LPAI dan Tim Polres Inhu menyambangi rumah korban yang berada di Desa Buluh Rampah. Orang tua korban menaruh harapan agar permasalahan ini dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya.
Selanjutnya pihak KemenHAM mendatangi langsung SD Negeri 02 Buluh Rampai tempat dimana korban dan terduga pelaku bersekolah.
“Tentu saja kami mendorong agar ini harus jadi evaluasi serius bagi sekolah. Ke depan jangan sampai terjadi lagi. Sekolah sebagai tempat pendidikan harus dipastikan rasa amannya. Ini jadi catatan penting kami. Artinya sekolah harus memperkuat pengawasan dan pendampingan terhadap anak-anak di sekolah,” katanya.
“Dan kami pastikan kasus ini akan kami kawal tuntas sesuai arahan Pa Menteri HAM,” pungkas Dewi. *