Daerah

Tolak Kebijakan Zero ODOL, Ribuan Sopir Truk di Jatim dan Jateng Gelar Demontrasi

Oleh : very - Kamis, 19/06/2025 15:32 WIB


Tampak para sopir truk dengan kendaraannya siap berdemo sambil membawa keranda (Foto: Dokumen Koordinator GSJT)

 

SURABAYA, INDONEWS.ID - Ribuan sopir truk dari berbagai wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah menggelar aksi pada Kamis (19/6/2025). Aksi dilakukan untuk menolak kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (ODOL) yang direncanakan berlaku mulai 2026.

Aksi ini tak sekadar mogok kerja, melainkan menjadi bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dirasakan para sopir angkutan barang.

Di sejumlah titik strategis seperti di Surabaya, Klaten, dan Trenggalek, sopir turun ke jalan membawa berbagai simbol perlawanan. Di Surabaya, long march dilakukan dari Bundaran Waru menuju Kantor Gubernur Jawa Timur.

Sementara di Klaten, aksi massa sopir memenuhi area Sub Terminal Delanggu. Di Trenggalek, jalur nasional Tulungagung-Trenggalek lumpuh akibat aksi mogok.

Di depan Kantor Dinas Perhubungan Jawa Timur, sekitar 785 truk dari 84 elemen sopir bergabung dalam Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT). Mereka membentangkan bendera merah putih sepanjang 1.000 meter dan membawa keranda mayat sebagai simbol “Kematian Keadilan bagi Sopir”.

“Semua yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 itu yang terdampak langsung adalah sopir. Sedangkan pengusaha tidak pernah tersentuh,” ujar Ketua GSJT, Angga Firdiansyah.

Angga menegaskan, ketidakkonsistenan penerapan ODOL membuat sopir jadi korban tunggal. Menurutnya, banyak pelanggaran justru terjadi atas permintaan perusahaan besar, bahkan proyek-proyek pemerintah pun masih menggunakan kendaraan tak sesuai regulasi.

"Selama ini, hukum hanya menjerat sopir. Padahal kami hanya menjalankan perintah kerja. Pemerintah juga secara tidak langsung membiarkan ini terjadi selama bertahun-tahun," tegasnya.

Rombongan sopir truk juga berencana melanjutkan konvoi ke Mapolda Jatim dan Kantor Gubernur Jawa Timur. Jika tidak mendapat respons dari pemerintah, para sopir mengancam akan tidur selama tiga hari di depan Kantor Gubernur sebagai bentuk protes lanjutan.

GSJT mendesak pemerintah menyusun regulasi logistik yang lebih adil dan realistis. Selain itu, mereka juga meminta adanya jaminan sosial dan perlindungan hukum bagi para sopir, yang selama ini dianggap sebagai pihak paling lemah dalam rantai distribusi logistik nasional.

"Pasar saat ini lebih memilih kendaraan besar karena dianggap efisien. Bahkan makanan ringan pun ditumpuk tinggi. Tapi kami yang selalu jadi sasaran saat aturan ditegakkan," ujar Angga.

Angga menyebut bahwa sejumlah tuntutan serupa sebenarnya telah disampaikan sejak 2022 dan 2024, namun hingga kini belum ada realisasi nyata. Salah satu poin krusial adalah soal revisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya Pasal 277, yang dinilai menjerat sopir truk dengan ancaman pidana hingga 1 tahun atau denda 24 juta rupiah.

"Selama ini masalah hukum selalu jadi beban sopir. Padahal yang kami lakukan karena tuntutan kerja. Kami ingin pemerintah beri perlindungan hukum, karena Indonesia belum siap menjalankan aturan ODOL secara utuh," tambah Angga.

Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran ODOL oleh sopir umumnya terjadi atas permintaan perusahaan besar, namun yang sering dijerat hukum justru sopir itu sendiri.

GSJT berharap pemerintah bersikap bijaksana, memberi jaminan sosial, serta menyusun regulasi angkutan logistik yang adil dan realistis bagi semua pihak di rantai distribusi.

"Banyak teman-teman sopir bahkan tidak punya jaminan sosial. Kalau pemerintah memang ingin jalan tidak rusak, mari kita atur bersama, jangan hanya menghukum yang paling bawah," ujarnya.

“Perusahaan besar yang muatannya lebih banyak itu dibiarkan berlalu lalang. Sementara sopir kecil langsung ditilang bahkan dipidana,” lanjut Angga.

Jika tuntutan tidak segera ditanggapi, massa sopir truk berencana melanjutkan aksi hingga Sabtu (21/6/2025) dan bermalam di depan Kantor Gubernur Jawa Timur.

Ribuan sopir dari Gresik, Lamongan, Tuban, hingga Madura disebut sudah bersiap merapat.

“Kalau tidak ada kesepakatan, kami akan bermalam. Ini perjuangan harga diri sopir,” tegas Angga.

Kasi Humas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty, mengatakan pihaknya juga melakukan rekayasa lalu lintas di sejumlah ruas jalan. Sejumlah ruas seperti Jalan Kebon Rojo dan simpang tiga Margomulyo ditutup dan dialihkan. “Kami juga siapkan lokasi parkir massal di kawasan Rajawali, Indrapura, dan Pasar Turi,” kata Rina.


Aksi Meluas ke Klaten hingga Trenggalek

Di Klaten, Jawa Tengah, ratusan sopir memarkir truknya di Sub Terminal Delanggu. Mereka berhenti operasi selama tiga hari ini sejak Kamis hingga Sabtu.

“Kita ini bukan penjahat. Tapi perlakuan hukum ke sopir seperti maling,” ujar Wahid Nagata, sopir asal Boyolali.

Di Trenggalek, protes juga menyebabkan gangguan lalu lintas karena truk dan pick up berhenti total. Para sopir membentangkan spanduk bertuliskan ‘Tolak RUU ODOL’ dan ‘Kami Sopir Bukan Maling’.

“Saya bawa lebih sedikit dari aturan saja bisa dipenjara. Padahal saya kerja cari makan,” kata Boiran, sopir asal Trenggalek.

Pihak kepolisian mengerahkan 1.458 personel gabungan dari Brimob, Dalmas, Satlantas, dan Reserse untuk mengawal jalannya aksi, terutama di wilayah Surabaya dan Sidoarjo.

 

Lima Tuntutan Utama Aksi Sopir Truk

Dalam orasinya, massa menyampaikan lima tuntutan utama kepada pemerintah:

1. Revisi Pasal 277 UU Nomor 22 Tahun 2009, agar mencakup tanggung jawab pengusaha, bukan hanya sopir dan modifikasi kendaraan.

2. Penetapan tarif minimal logistik, untuk mencegah tekanan dari pengusaha terkait tarif rendah dengan beban tinggi.

3. Penghentian kriminalisasi sopir, terutama dalam kasus pelanggaran ODOL yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik barang.

4. Pemberantasan premanisme dan pungli yang dilakukan oknum aparat di jalan raya.

5. Penerapan hukum yang setara, di mana perusahaan besar tidak boleh diistimewakan, sementara sopir kecil kerap ditindak tegas.

 

Kebijakan Zero ODOL

Kebijakan Zero ODOL adalah inisiatif pemerintah untuk menertibkan kendaraan angkutan barang agar sesuai dengan spesifikasi dimensi dan kapasitas resmi. Kebijakan itu mulai diberlakukan pada 2026 mendatang.

Data dari Kementerian PUPR menyebut praktik ODOL menyebabkan kerugian negara hingga Rp 41 triliun per tahun untuk perbaikan jalan. Sementara Bappenas mencatat bahwa 10,5 persen kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh kendaraan ODOL.

Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah tengah menyiapkan teknologi Weigh in Motion (WIM), sistem penimbangan otomatis di jalan tol dan nasional, serta penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai landasan hukum.

Meskipun pemerintah menekankan aspek keselamatan dan infrastruktur, para sopir truk menilai kebijakan ini menyasar pekerja lapangan, bukan pengusaha pemilik barang.

Mereka juga mempertanyakan insentif penggantian truk, tarif pengangkutan yang layak, dan ketimpangan penegakan hukum. *

Artikel Lainnya