Opini

Dampak Financial Distress Terhadap Kepailitan

Oleh : luska - Kamis, 26/06/2025 06:10 WIB


Oleh :.Dr. Wirawan B. Ilyas, Ak., CPA
Akuntan Forensik, Advokat, Senior Partner Times Law Firm, Dosen Program Studi Magister Akuntansi, Universitas Negeri Jakarta

Pengantar 
    Lingkungan ekonomi global dan situasi geopolitik yang tidak sedang baik-baik saja berdampak luas pada kondisi ekonomi Indonesia yang berujung pada potensial terjadinya financial distress, baik terhadap perekonomian maupun korporasi. Berbagai indikator perlu diwaspadai agar dapat diambil langkah-langkah mitigasi risiko. Apa yang terjadi sebagai faktor eksternal tidak dapat dijadikan sebagai kambing hitam. Mismanagement dalam mengelola ekonomi nasional sebagai kebijakan makro ekonomi turut berkontribusi, sedangkan pada tataran mikro ekonomi terjadinya berbagai kekeliruan kebijakan manajemen, khususnya dalam strategi pembiayaan (financing) maupun investasi. Berbagai penyimpangan dan occupational fraud yang terjadi pada berbagai korporasi, baik pada BUMN maupun pada perusahaan publik lainnya berkontribusi signifikan terhadap financial distress yang berujung pada risiko hukum berupa kepailitan. Pada kondisi financial distress akut, dimana pemegang saham tidak bersedia untuk melakukan penyertaan modal lagi, maka proses kepailitan tidak terelakkan, baik dikalangan perusahaan swasta maupun BUMN.
Financial Distress
Financial distress yang dialami korporasi sebagai kondisi tidak dapat menghasilkan pendapatan (laba) dan sekaligus arus kas yang memadai sehingga sulit memenuhi kewajiban keuangannya. Dalam teori manajemen modern perencanaan identik dengan hal yang uncertainty and unpredictable, asumsi citeris paribus yang dipakai masa lalu tidak berlaku lagi 
Boleh jadi, zona aman yang berlangsung lama terus melingkupi cara bekerja korporasi. Disisi lain persoalan hukum terus melilit dan tidak terselesaikan. Akibatnya publik tidak percaya pada manajemen, khususnya perusahaan publik. Karena berbagai masalah keuangan dan hukum sudah sejak lama melilit korporasi yang akhirnya beban berat mesti dipikul yang berujung pada financial distress.
Secara umum ada empat penyebab financial distress, pertama, kurangnya perencanaan keuangan; kedua, terlalu banyak pengeluaran; ketiga, banyak utang, dan keempat, kehilangan sumber pendapatan. Mengutip Stephen A. Ross, 2016, bankruptcy can be predicted with some degree of accuracy two years before the event using the Altman Z Score. Kalau begitu, Komisaris dan Direksi dituntut berfikir lebih keras dan bertindak efektif dan gerak cepat.
Secara teoritik, financial distress ditentukan oleh aspek profitabilitas, likuiditas dan financial structure perusahaan (Stephen A. Ross, 2016). Penyebab dan solusinya bisa diketahui dengan melakukan forensik keuangan, melalui dua gabungan disiplin ilmu, yakni hukum dan akuntansi keuangan, baik sisi aset, liabilitas maupun proses bisnis, struktur organisasi dan sumber daya manusia. Tekanan terhadap profitabilitas sangat dominan disebabkan oleh beban keuangan yang terlalu berat khususnya fixed cost yang dapat terjadi disebabkan mismanagement pada lima area tersebut yang bermuara pada inefficiency. Dengan penurunan pendapatan dalam situasi krisis dan fixed cost yang membengkak karena struktur organisasi yang gemuk berakibat fixed cost per unit semakin tinggi. Inilah yang mengakibatkan terjadinya berbagai kasus yang berujung proses pailit di Pengadilan Niaga. 
Dengan melakukan efisiensi disegala lini dan kaji ulang struktur aset, struktur organisasi, maka profitabilitas akan tertolong ditengah masa krisis yang berlangsung lama tanpa ada kepastian kapan berakhirnya. Disinilah Komisaris dan Direksi mesti berperan besar melakukan pembenahan dengan melakukan efisiensi termasuk mengawasi (dalam pengertian mengkaji ulang). Disisi lain memperbaiki tekanan likuiditas terhadap utang yang sangat besar dengan melalukan restrukturisasi yang sarat dengan implikasi hukumnya merupakan suatu keharusan dengan pengawasan yang ketat.
Efektifitas Internal Control System yang intinya menjamin reliability of financial reporting, efficiency and effectiveness of operation, compliance with laws and regulations merupakan komitmen dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris yang tidak dapat ditawar, karena disitulah umumnya sumber penyakitnya.
Implikasi Hukum
Secara prinsip timbulnya kewajiban karena dua hal yakni : pertama disebabkan adanya UU seperti kewajiban pajak. Ketika ada penghasilan dan beban perusahaan yang berbeda antara SAK dengan UU PPh, maka akibatnya timbul aset pajak tangguhan atau liabilitas (kewajiban) pajak tangguhan seperti diatur dalam PSAK 46.
    Begitu juga soal kewajiban kepada karyawan yang diatur dalam UU no. 13 tentang Ketenagakerjaan yang dijabarkan secara akuntansi dalam PSAK 24 yang menimbulkan liabilitas imbalan kerja. Kedua, timbulnya kewajiban disebabkan adanya perjanjian sesuai Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata. 
Dengan kata lain, pemahaman PSAK pada ranah akuntansi keuangan berbeda dengan ranah hukum perjanjian yang didalamnya terkandung soal kepailitan. Jika ada utang dinegosiasikan pada tahap PKPU, yang menjadi soal hanya utang beralaskan hukum, bukan beralaskan PSAK 46, PSAK 24 dan khususnya PSAK 73. 

Simpulan
    Kasus financial distress berbagai perusahaan seperti terjadi pada Asuransi Jiwasraya (BUMN) dan PT Sritex, Tbk (Swasta) merupakan pembelajaran mahal buat kita dan tidak tertutup juga terjadi pada BUMN dan perusahaan Tbk lainnya. Sejarah kelam dengan mismanagement harus ditutup rapat tanpa celah. Kata kuncinya profesionalisme termasuk didalamnya kompetensi, integritas menjadi taruhan sekaligus torehan sejarah baru bagi korporasi dalam level mikro dan perekonomian nasional dalam level makro menuju kebaikan bersama untuk kemajuan bangsa dan negara yang tercinta. #Semoga#

Artikel Lainnya