Opini

Ketika Negara Ikut Menyakiti: Reviktimisasi Korban Mei 1998

Oleh : very - Jum'at, 27/06/2025 19:51 WIB


Dr Ferlansius Pangalila Doktor Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI). (Foto: Ist)

 

Oleh: Ferlansius Pangalila*)

Jakarta, INDONEWS.ID - “Kekerasan itu terjadi dua kali: pertama di tubuh, kedua di ingatan. Yang kedua datang dari mereka yang seharusnya melindungi”

Kerusuhan Mei 1998 merupakan tragedi sosial yang menyisakan luka kolektif, terutama bagi perempuan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual berbasis etnis dan gender. Lebih dari dua dekade berlalu, luka itu belum benar-benar sembuh, bukan hanya karena kekerasannya amat brutal, tetapi karena negara belum sepenuhnya hadir dalam pengakuan, perlindungan, dan pemulihan korban.

Ketika suara publik kembali mempertanyakan keberadaan korban atau menyangkal kekerasan yang terjadi, hal itu tak bisa dibenarkan sebagai kebebasan berpendapat belaka. Dalam perspektif viktimologi, sikap semacam itu merupakan bentuk viktimisasi sekunder, yakni luka lanjutan yang dialami korban akibat respons sosial yang meragukan atau mengabaikan penderitaan mereka.

Lebih jauh, klarifikasi publik oleh Menteri Kebudayaan yang menyangsikan kembali kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 mengarah pada apa yang disebut sebagai reviktimisasi simbolik. Ini adalah bentuk kekerasan baru, bukan melalui tindakan fisik, tetapi lewat narasi yang disampaikan oleh mereka yang memiliki otoritas sosial dan politik. Terlebih ketika narasi pengingkaran itu muncul dari institusi yang semestinya menjadi garda terdepan penegakan hak asasi manusia.

Ini bukan lagi kelalaian, melainkan sebuah ironi tragis yang meruntuhkan kepercayaan publik pada mekanisme keadilan itu sendiri. Ketika narasi tersebut membentuk ulang ingatan kolektif dengan mengikis kebenaran pengalaman korban, maka keberanian untuk bersuara kembali terancam. Negara, dalam hal ini, tidak hanya alpa memberikan keadilan, tetapi secara struktural turut menciptakan ruang di mana penderitaan korban terus direproduksi melalui pengingkaran simbolik.

Penting untuk dipahami bahwa “absence of legal proof” bukan berarti “absence of truth”. Dalam kasus kekerasan seksual massal seperti yang terjadi pada Mei 1998, kerangka hukum positif sering kali gagal menangkap kompleksitas trauma dan ketakutan yang membungkam korban. Ketika negara menggantungkan pengakuan hanya pada bukti hukum formal, tanpa mempertimbangkan konteks kekerasan dan relasi kuasa yang melingkupinya, maka negara telah abai terhadap prinsip keadilan yang berpihak pada korban. Dalam perspektif viktimologi, ini mencerminkan kegagalan menerapkan victim-oriented justice, yakni keadilan yang mengutamakan kebutuhan, kerentanan, dan hak korban untuk didengar serta diakui kebenarannya.

Klarifikasi yang hanya bertumpu pada aspek formal-prosedural, tanpa memperhitungkan konteks trauma dan budaya diam yang menyelimuti korban kekerasan seksual, justru memperpanjang rantai ketidakadilan. Dalam studi viktimologi struktural, situasi ini disebut sebagai structural denial, yakni ketika negara atau institusi justru menjadi bagian dari mekanisme pengingkaran yang terstruktur, menyingkirkan pengalaman korban dari narasi resmi.

Ketika negara abai terhadap kenyataan ini, maka negara sedang berperan aktif dalam marginalisasi lanjutan terhadap korban, bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai penyangkal kebenaran. Dalam perspektif kriminologi, structural denial ini sering kali berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri dari negara (state-defense mechanism). Pengakuan atas kebenaran korban berarti pengakuan atas kegagalan atau bahkan keterlibatan negara dalam kejahatan tersebut. Dengan menyangkal pengalaman korban, negara sejatinya sedang berupaya menghapus jejak kejahatannya sendiri dari memori kolektif bangsa.

Perlindungan terhadap korban bukanlah sekadar sikap moral, melainkan kewajiban yuridis dan sosial dalam sistem negara hukum. Setiap narasi publik yang meragukan atau mengaburkan pengalaman korban merupakan bentuk kegagalan institusional. Dalam konteks keadilan restoratif, pemulihan tidak cukup hanya melalui pembuktian hukum, tetapi harus ditopang oleh pengakuan sosial dan pemulihan kolektif atas luka yang ditinggalkan dari kekerasan. Ini bisa berwujud permintaan maaf resmi dari negara, pembangunan memorial, hingga reformasi kurikulum sejarah yang jujur sebagai langkah-langkah simbolik yang menegaskan bahwa negara mengakui luka warganya dan berjanji tidak akan mengulanginya.

Jika negara dan masyarakat terus membiarkan kekaburan kebenaran ini berlangsung, maka sejarah akan menjadi ruang yang sarat luka tanpa upaya penyembuhan. Ketika suara korban terus dipinggirkan oleh ingatan selektif elit politik, keadilan hanya menjadi proyek wacana. Sudah saatnya publik, akademisi, dan pembuat kebijakan menempatkan pengalaman korban sebagai pusat narasi, bukan sebagai objek verifikasi dan penulisan sejarah ulang yang menyakitkan.

Di atas segalanya, tragedi Mei 1998 bukan semata soal catatan sejarah, melainkan tentang luka manusia yang belum dipulihkan. Mengingkari pengalaman korban adalah bentuk kekerasan baru yang tak kasatmata, melemahkan martabat dan menyumbat ruang pemulihan. Empati, dalam hal ini, bukan sekadar rasa iba, tetapi komitmen kolektif untuk mendengar, mengakui, dan menjamin bahwa penderitaan yang telah terjadi tidak kembali dihapus dari ingatan bangsa. Menghadirkan keadilan bagi korban adalah ujian moral dan tanggung jawab kemanusiaan kita bersama.

*) Ferlansius Pangalila, Doktor Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) 

Artikel Lainnya