INDONEWS.ID

  • Senin, 16/09/2019 10:30 WIB
  • Dianggap Musuh dan Bukan Mitra, ICW: DPR Sudah Lama Berniat Melemahkan KPK

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Dianggap Musuh dan Bukan Mitra, ICW: DPR Sudah Lama Berniat Melemahkan KPK
Presiden Republik Indonesia Dua Periode, Joko Widodo (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - KPK dan para pegiat antikorupsi kompak menilai telah terjadi pelemahan terhadap KPK. Mulai dari poin-poin dalam revisi, sampai terpilihnya Firli sebagai capim sekaligus Ketua KPK, dianggap memiliki agenda terselubung.

Presiden Joko Widodo sendiri telah secara resmi mengutus Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin mewakili pemerintah untuk menyampaikan sikap dan pandangan terkait substansi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR ini.

Baca juga : Ceritakan Kreativitas Nasabah PNM Mekaar, Jokowi Puji Kerupuk "Mama Muda"

Meski menyetujui pembahasan soal revisi UU KPK, pada prinsipnya Jokowi juga menolak sejumlah poin dalam draf yang sebelumnya telah disodorkan DPR.

Sejumlah poin yang ditolak oleh Jokowi antara lain soal izin pihak luar untuk penyadapan, penyidik dan penyelidik KPK hanya dari unsur kepolisian dan kejaksaan, koordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan, dan terakhir pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK.

Baca juga : Presiden Jokowi Bertemu Ribuan Nasabah Mekaar di Makassar

Sementara itu, Jokowi menyetujui keberadaan dewan pengawas, penyadapan seizin dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan menyetujui pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Indonesian Corruption Watch menilai lewat surpres dan penyetujuan poin-poin itu, Jokowi dinilai tak benar-benar tegas untuk memperkuat KPK. Sebaliknya, dia hanya mengurangi dosis berat dari gejala upaya melemahkan lembaga antikorupsi tersebut.

Baca juga : Presiden Jokowi Dorong Penguatan Integrasi Ekonomi, Percepatan Transisi Energi dan Transformasi Digital dalam KTT Khusus ASEAN-Australia

"Dosis berat pelemahan KPK oleh DPR dikurangi sedikit oleh Presiden, tidak ada penguatan," kata Kurniawan melalui pesan singkat dikutip dari CNNIndonesia.com, Minggu (15/9).

Menurut, Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan, pengurangan dosis pelemahan KPK ini salah satunya tergambar dari pemilihan Dewan Pengawas KPK. Jokowi hanya mengubah mekanisme pemilihan, padahal fungsi dan eksistensi pengawas ini tetap sama.

"Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis izin penyadapan KPK. Konsekuensi penyadapan KPK prosesnya lambat, dan bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap," kata dia.

Menurut Kurnia, upaya pembahasan revisi UU KPK ini memang sejak awal sangat terkesan diburu-buru oleh DPR. ICW pun mencatat ada sejumlah kejanggalan dari betapa terburu-burunya DPR ingin mengesahkan RUU KPK ini.

Dalam catatan ICW, sepanjang lima tahun terakhir setidaknya 23 anggota DPR 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sehingga, ada konflik kepentingan dalam pembahasan RUU KPK ini. Hal ini tak lepas dari banyaknya anggota dewan yang jadi pesakitan di KPK.

"Bahkan Ketua DPR RI, Setya Novanto, bersama Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniawan pun tak luput dari jerat hukum KPK," kata dia.

Tak hanya itu, hampir seluruh partai politik di DPR periode 2014-2019, kadernya juga sudah pernah terjaring KPK.

"Dari Partai Golkar ada delapan orang. PDIP ada tiga orang, PAN ada tiga orang, Demokrat ada tiga orang. Kemudian ada Hanura dua orang, PKB satu orang. PPP satu orang, Nasdem satu orang dan PKS satu orang," kata dia.

Berkaca dari data itu, Kurnia menduga bahwa KPK adalah musuh DPR, bukan mitra kerja. Niat melemahkan KPK bahkan telah dilakukan sejak lama oleh DPR.

Dalam catatan ICW, isu revisi UU KPK mulai bergulir sejak tahun 2010 silam. Dalam draf yang sekarang beredar secara praktis tidak banyak perubahan dengan draf-draf sebelumnya. Narasi penguatan KPK pun seakan hanya sebatas `tong kosong nyaring bunyinya`.

Kurnia pun meminta sebaiknya DPR dan pemerintah bisa segera menghentikan pembahasan RUU KPK ini. Sebab akan jauh lebih bijaksana apabila DPR memfokuskan kerja pada regulasi penguatan pemberantasan korupsi.

"Seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rancangan UU Perampasan Aset, dan rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai," katanya.

Namun jika memang DPR dan pemerintah tetap bersikukuh untuk membahas aturan yang sebenarnya mengebiri KPK ini, maka tak ada jalan lain selain pengawalan dari masyarakat demi pemberantasan korupsi terus terjamin di negeri ini.

"Tak ada jalan lain, selain seluruh masyarakat Indonesia yang mengawal isu revisi UU KPK dan melawan berbagai pelemahan pemberantasan korupsi," kata dia.*(Rikardo)

 

Artikel Terkait
Ceritakan Kreativitas Nasabah PNM Mekaar, Jokowi Puji Kerupuk "Mama Muda"
Presiden Jokowi Bertemu Ribuan Nasabah Mekaar di Makassar
Presiden Jokowi Dorong Penguatan Integrasi Ekonomi, Percepatan Transisi Energi dan Transformasi Digital dalam KTT Khusus ASEAN-Australia
Artikel Terkini
Kemenparekraf Kick Off Akselerasi Sertifikasi Halal Produk Makanan dan Minuman di 3.000 Desa Wisata
Pj Gubernur Agus Fatoni Buka Rakor Program Pemberantasan Korupsi Wilayah II, MCP KPK Tahun 2024
Mendagri Minta Pemerintah Daerah Jaga Stabilitas Laju Inflasi Usai Libur Lebaran
Kerja Sama dengan Koso Nippon, BSKDN Kemendagri Harap Daerah Terapkan Review Program
Kemendagri: Jadikan Musrenbang sebagai Wadah Pengentasan Kemiskinan Ekstrem
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas