INDONEWS.ID

  • Senin, 13/01/2020 14:30 WIB
  • Sejarah 70 Tahun Konflik Iran-AS: Dari Minyak, Nuklir hingga Qasem Soleimani

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Sejarah 70 Tahun Konflik Iran-AS: Dari Minyak, Nuklir hingga Qasem Soleimani
Ilustrasi Iran vs USA (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Hubungan antara Amerika Serikat dan Iran semakin meruncing setelah pemimpin militer Iran, Jenderal Qasem Soleimani, dibunuh tentara AS. Pemimpin tertinggi Iran Ali Khameini bersumpah `membalas dendam`, yang berujung pada pengeboman pangkalan militer AS di Irak.

Konflik Iran-AS yang rumit sudah berjalan selama 70 tahun, yakni sejak 1950, yang dipicu oleh perebutan hak pengelolaan tambang minyak bumi. Perdana Menteri Iran pada waktu itu, Mohammad Mossadeq, berniat menasionalisasi tambang minyak bumi, yang sebagian besar dikuasai perusahaan Inggris.

Baca juga : Kemenko Polhukam Kawal Pemilu Tetap Kondusif Hingga 20 Maret

Guna mencegah hal tersebut, intelijen Inggris dan AS berniat melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintahan Mossadeq. AS mendukung Mohammad Reza Shah sebagai pemimpin baru, menggantikan Mossadeq.

Rakyat yang tidak puas dengan rezim baru, memunculkan rival politik anyar, Ayatollah Khomeini. Gerakan yang dipimpin Khomeini dianggap sebagai pemberontakan dan sang ayatollah diasingkan.

Baca juga : Wujudkan Pemilu Berkualitas, Pemerintah Kawal Rekapitulasi Suara

Pada 1979, setelah Ayatollah Khomeini kembali ke Iran, revolusi pun pecah dan rezim Reza Shah digulingkan. Iran berubah jadi Negara Islam dan Reza Shah diasingkan.

Namun Reza memilih pergi ke AS dengan dalih menjalani pengobatan, keputusan yang semakin membuat rakyat Iran murka.

Baca juga : Kunjungi PNM, Wakil Presiden Iran Berikan Apresiasi Kinerja PNM Berdayakan Perempuan

Sentimen anti-AS pun semakin mengemuka. Perang sipil yang terjadi antara Irak dan Iran pada 1980 semakin memperkeruh suasana, karena AS memberikan dukungan militer pada Irak.

Pada 1981 terjadi konflik penyanderaan di mana mahasiswa pro-Khomeini menyerbu Kedutaan AS di Teheran dan menyandera 52 warga AS selama 444 hari.

Kemudian pada 1988, AS menembak jatuh pesawat penumpang milik maskapai nasional Iran dan menyebut itu sebagai sebuah kesalahan. AS tidak pernah meminta maaf atas insiden tersebut.

Pemerintah AS di bawah kepemimpinan George Bush bahkan menyebut Iran sebagai `poros kejahatan` bersama Irak dan Korea Utara.

Sejak saat itu, AS fokus pada program nuklir Iran yang memicu sanksi internasional.

Pada 2015, AS-Iran menandatangani kesepakatan nuklir. Iran setuju mengurangi aktivitas pengembangan nuklir sebagai ganti pengangkatan sanksi ekonomi. Namun, pada 2018, AS mundur dari kesepakatan tersebut dan kembali memberlakukan sanksi.

Di 2019, AS menyebut Pengawal Revolusi Iran sebagai kelompok teroris dan menyebut Jenderal Soleimani sebagai tokoh di balik penyerangan terhadap kedutaan AS. Hal itu menjadi landasan serbuan AS ke bandara Baghdad yang menewaskan Soleimani.

Artikel Terkait
Kemenko Polhukam Kawal Pemilu Tetap Kondusif Hingga 20 Maret
Wujudkan Pemilu Berkualitas, Pemerintah Kawal Rekapitulasi Suara
Kunjungi PNM, Wakil Presiden Iran Berikan Apresiasi Kinerja PNM Berdayakan Perempuan
Artikel Terkini
Pj Bupati Maybrat Jajaki Kerjasama dengan Asdep Pengembangan Logistik Nasional
Bupati Tanah Datar Temui Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR RI
Sidang Ketiga Gugatan 11 Triliun, Kemenkeu dan Bank Indonesia Hadir Tanpa Kelengkapan Administrasi
UU DKJ, Masa Depan Jakarta Sebagai Pusat Perdagangan Global
Kementerian PANRB Segera Gelar Pemantauan Keberlanjutan dan Replikasi Inovasi Pelayanan Publik
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas