Jakarta, INDONEWS.ID - Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa mantan Kepala BP Migas Raden Priyono korupsi Rp 37 triliun dalam kasus PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI). Lewat kuasa hukumnya, Tumpal Hutabarat, Raden Priyono berkicau bila dia hanya menjalankan perintah Wakil Presiden (Wapres) kala itu, Jusuf Kalla (JK).
Perintah yang dimaksud Raden Priyono yaitu bermula dari Rapat di Istana Wapres pada tanggal 21 Mei 2008. Agenda Pengembangan Pusat Industri Petrokimia Tuban, dengan tujuan khusus adalah tentang pemanfaatan kapasitas produksi dan optimalisasi peran TPPI dalam penyediaan suplai BBM untuk kawasan Jawa Timur.
Rapat dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla dan dihadiri antara lain oleh Menteri ESDM Dirjen Anggaran, Dirjen Kekayaan Negara mewakili Menteri Keuangan RI, Dirut Pertamina dan Kepala BPH Migas (bukan BP MIGAS). Tujuan dilaksanaannya rapat tersebut membahas tentang permasalahan mengenai sektor migas, khususnya industri Hilir Migas.
Hasil rapat adalah perlu dilakukan langkah penyelamatan TPPI. BP Migas, Pertamina dan PT TPPI agar menyelesaikan pembahasan mengenai skema bisnis yang saling menguntungkan bagi PT TPPI dan Pertamina termasuk harga jual minyak mentah/kondensat kepada PT TPPI.
Atas arahan itu, Kepala BP Migas Raden Priyono menindaklanjuti dengan menyuntik dana ke PT TPPI sebesar USD 2,7 miliar.
Nah, ternyata belakangan terjadi masalah. PT TPPI kemudian mengembalikan uang sebesar USD 2,5 miliar ke Kemenkeu sehingga masih ada selisih uang yang belum dikembalikan.
Kasus Perdata Bukan Pidana
Kasus di atas terus bergulir ke publik. JK akhirnya angkat suara. Pada 16 Juni 2015, ia menyatakan kasus PT TPPI adalah sengketa perdata, bukan pidana.
"Yang salah adalah kewajiban TPPI tidak dilunasi. Bukan prosesnya. Jadi ini bisa kalau dibayar segera ya bisa selesai, berarti tidak perlu dipidana. Kan utang piutang ini kan," ujar JK di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara.
Menurut JK, permasalahan antara BP Migas dan PT TPPI terdapat pada kontrak dagang kedua lembaga itu. JK menegaskan, 60 persen saham PT TPPI milik pemerintah.
"Jadi antara perusahan pemerintah dan pemerintah harus membantu. Tapi harus dipenuhi kewajibannya masing-masing. Nah pertamina memenuhi kewajibannyaa memberikan kondensat, tapi ini TPPI tidak punya kewajiban untuk menyerahkan hasil kondensat itu dalam bentuk bensin, minyak tanah tidak dilakukannya," imbuh JK.
Dua bulan setelahnya, JK menyatakan kilang PT TPPI tersebut tetap bisa beroperasi, tapi persoalan hukum masih berjalan. Hal itu diungkapkan oleh JK usai rapat koordinasi dengan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Kapolri Badrodin Haiti.
"TPPI itukan aset pemerintah, negara. Itu kita putuskan pokoknya harus kembali ke negara untuk dikelola oleh Pertamina karena kita butuh industri seperti itu untuk menambah kapasitas dalam negeri," tegas JK.
JK menambahkan, kepemilikan saham pemerintah pada TPPI adalah 60%. Sehingga seharusnya tidak ada kesulitan untuk pengambilan keputusan pengoperasioan kilang yang ditargetkan akhir tahun ini.
"Segera. Inikan siap operasi. Kalau di tangan pemerintah ya begitu selesai dan kondesatnya ada, langsung diproses," ujarnya.
Polri: JK Tidak Melanggar
Puncak sengketa kasus ini dibawa ke ranah pidana. Pada 2015, Mabes Polri menetapkan Raden Priyono dan Dirut PT TPPI Honggo Wendratno sebagai tersangka. Begitu juga dengan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono.
Bagaimana dengan JK? Mabes Polri menyatakan apa yang dilakukan JK menurut Polri sudah sesuai aturan dan tak salah.
"Nggak ada yang salah dari Wapres, kebijakannya benar tapi mereka yang menjual kondensat bagian negara itulah yang tidak melaksanakan (instruksi) Wapres," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Mabes Polri kala itu, Brigjen Victor Edy Simanjuntak.
Empat tahun kasus ini menghilang, Raden-Djoko tiba-tiba ditahan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung pada Januari 2020. Pertengahan Februari 2020, keduanya didakwa korupsi Rp 37 triliun.
Bagaimana dengan Honggo? Ia lenyap bak ditelan bumi. Mabes Polri menyebut ia sembunyi di Singapura. Namun Kementerian Luar Negeri Singapura membantah tegas.
"Menurut catatan imigrasi kami, Honggo Wendratno tidak ada di Singapura. Hal ini telah disampaikan kepada pihak berwenang Indonesia pada beberapa kesempatan sejak tahun 2017. Tidak ada catatan Honggo yang memegang permanen residen Singapura," kata Kemlu Singapura sebagaimana dilansir di akun resmi Facebooknya.
Di persidangan, Raden kembali menyebut apa yang dilakukannya atas arahan JK, bukan inisiatif pribadi. Raden mengaku tidak makan uang sepeser pun dari Rp 37 triliun itu.
"Dalam penunjukan PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tersebut Ir Raden Priyono dan Djoko Harsono sepeser pun tidak memperoleh keuntungan," cetus Tumpal.*(Rikardo).