INDONEWS.ID

  • Sabtu, 29/02/2020 22:01 WIB
  • Keroposnya `Daya Gigit` KPK

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Keroposnya `Daya Gigit` KPK
Rian Agung Mahasiswa Universitas Esa Unggul dan Pemohon Judicial Review UU KPK

Oleh: Rian Agung*)

Opini, INDONEWS.ID - Sukar sekali bagi publik untuk tidak mengatakan "daya gigit" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberangus labirin korupsi di negeri ini tidak keropos.

Sosok misterius Harun Masiku (HM), tersangka kasus korupsi terkait Pergantian Antar Waktu (PAW) DPR RI di internal PDIP yang sampai hari ini belum juga diketahui keberadaanya merupakan salah satu bukti paling telak kian melempemnya kinerja KPK.

Baca juga : Pemberantasan Korupsi Sebuah Orkestrasi

Dalam batas penalaran yang wajar, raibnya HM tidaklah berdiri sendiri--Kecuali kalau itu bisa dibuktikan dengan membuka akses informasi yang seluas-luasnya di mana HM berada.

Sekadar mengahadirkan kembali "kegusaran" publik karena cenderung didramatisirnya kasus ini - publik lantas bertanya-tanya, "siapa sih sosok HM itu dan kenapa untuk mengusutnya sesulit mencari jarum dalam sekam?

Baca juga : Manuver Politik Tiga "Pasien Rawat Jalan KPK"

Karena itu, hemat saya, kasus HM tidaklah berdiri berjauhan dengan fakta politik yang mengitarinya: ada tangan-tangan kekuasaan yang coba menyelamatkannya demi kepentingan politik pragmatis.

Kecurigaan-kecurigaan semacam ini cukup beralasan dan harus dimaknai sebagai kritik yang konstruktif untuk membangun peradapan politik dan ketahanan untuk menghindari perilaku-perilaku koruptif.

Baca juga : KPK Dijadikan Parmanen, Indonesia Menjadi Raya

Jika dibandingkan dengan kinerja KPK di periode yang lalu, kita menyaksikan dua pemandangan yang jauh berbeda. Dalam dan melalui kinerja KPK lama, kita merasakan kinerja KPK yang begitu membanggakan.

Ada begitu banyak pelaku korupsi diringkus ke dalam penjara dan tidak sedikit uang negara yang diselamatkan. Kalaupun ada pihak yang keberatan dengan perbandingan semacam itu karena persolan waktu dengan jargon khas mereka, "biarkan dulu pegawai KPK sekarang bekerja, toh waktu masih pagi" - Saya rasa itu tidak lebih sebagai bentuk pembelaan terhadap kebobrokan yang secara diterang-terangan dilakukan KPK hari ini.

Toh, kalau persoalan waktu menjadi batu uji keberhasilan, kenapa kasus HM dibiarkan terkatung-katung hingga hari ini. Lagi pula keberhasilan kerja pemberantasan korupsi itu tidak semata-mata ditentukan oleh intensitas waktu melainkan terutama sekali oleh komitmen dan kemauan politik yang kuat aparat penegak hukum.

Maka pertanyaan yang perlu dirunut sekarang adalah kenapa KPK sekarang menunjukan performa yang berbeda: lemah dan ketiadaan taji untuk mengusut tuntas setiap pelaku korupsi?

Buntut Revisi UU KPK

Saya termasuk yang percaya, hilangnya taji KPK hari-hari ini adalah buntut dari revisi UU KPK yang dilakukan tergesa-gesa, tanpa kajian akademik yang memadai dan minimnya partisipasi publik.

Sekurang-kurangnya, ada dua persolan utama dalam poin revisi UU KPK yang menurut saya menghambat proyek pemberantasan korupsi di KPK. Dua soal ini pulalah yang mendorong saya dan beberapa rekan Mahasiswa mengajukan Judicial Review (JR) UU KPK ke Mahkamah konstitusi yang pada Rabu (19/2) kemarin telah memasuki sidang pleno.

Pertama, soal Kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Ketentuan soal kewenangan dewas dalam UU no. 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua UU no 30 tahun 2002 tentang KPK diatur dalam pasal 13B yang salah satu poinnya berbunyi: "Dewas berhak memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan terhadap kerja pegawai KPK."

Pada prinspinya, kehadiran dewan pengawas dalam KPK tidak menjadi soal. Namun menjadi keberatan ketika dewas masuk dalam persoalan teknis penegakan hukum dengan kuasa pro justisia pada kelembagaan KPK.

Kewenangan dewas yang secara atribusi memberi izin penyadapan, penyitaan dan penggeledahan menjadi tidak relevan karena tidak tepat apabila dewas diberi kewenangan pro justisia. Hal ini menurut saya akan melanggar esensi dari pengawasan itu sendiri dan pontesial menimbulkan ketidakpastian hukum.

Namun untuk menutup celah ini, DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk UU sering berdalih bahwa posisi dewas KPK tidak bermaksud membawai KPK, dan dewas tetap menjadi satu-kesatuan dengan KPK.

Pernyataan kedua pihak di atas tentu saja senafas dengan ketentuan pasal 21 UU no 19 tahun 2019 yang menekankan, "Dewan pengawas memiliki kedudukan yang sama dengan (pimpinan) KPK sebagai fungsi tindakan pemerintah dalam rangka menciptakan sistem pemberantasan tindak pidana korupsi secara profesional dengan menjujung tinggi asas keterbukaan".

Namun, ketentuan di atas menurut saya justru bersinggungan takala Dewas KPK dilekatkan dengan kewenangan untuk memberikan izin penyadapan.

Sebab, jika kita mengacu pada pasal 1 angka 19 UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan, terdapat setidak-tidaknya empat karakteristik ketentuan izin yang bisa dijadikan pisau analisis terhadap kewenangan dewas untuk memberi dan tidak memberikan izin terhadap kerja pegawai KPK.
Keempat karakteristik tersebut antara lain:1). Hubungan hukum sepihak atau bersegi satu (eenzijdige rechtsbetrekjing) antara pemberi izin (vergunningsorgaan) dan penerima izin.

2). Kedudukan hukum (rechtspositie) pemberi izin lebih tinggi dari pada penerima izin, pemeberi izin sekaligus dilekati kewenangan menerapkan atau membuat peraturan (wetgevende bevoegdheid).

3). Pemberi izin selain dilekati kewenangan menerapkan atau membuat peraturan dan menegakkannya, juga dilekati kewenangan diskresi dalam bentuk (choice) antara memberikan atau tidak memberikan izin.

4). Izin diberikan dalam bentuk keputusan (beschikking) yaitu instrumen yuridis yang bersifat konkret, individual dan final. Dari empat poin di atas, kewenanngan dewas untuk memberikan izin sangat tidak tepat dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pertama. Soal Dewas yang memiliki kedudukan hukum yang sama dan sejajar dengan pimpinan KPK. Dalam hubungan organ yang sejajar, tidak logis menggunakan mekanisne perizinan, yang dimungkinkan adalah hubungan koordinasi atau kerja sama.
Secara teknis operasional, hubungan kerja sama antara organ yang sejajar, lazim menggunakan instrumen hukum yang berupa keputusan berasama atau peraturan bersama, bukan perizinan.

Kedua, sehubungan dengan kedudukan hukum yang sejajar antara dewas dan pimpinan KPK, tindakan hukum sepihak atau bersegi satu yang merupakan karakter izin, tidak dapat diterapkan.
Ketiga, dewas tidak dilekati kewenangan membuat peraturan perundang-undangan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat dan prosedur izin.

Sehubungan dengan ketiadaan kewenangan untuk menerapkan norma-norma, syarat-syarat, dan prosedur izin, bagaimana mungkin dewas menerbitkan izin, karena izin itu mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto.

Kedua, Soal independensi. Sebagaimana diketahui, dalam ketentuan pasal 3 UU KPK yang baru, kedudukan KPK berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

Saya menilai, hadirnya pasal tersebut di atas merupakan upaya nyata perusakan independensi KPK. Padahal, dalam perkembangan ketatanegaraan kontemporer, kedudukan lembaga negara independen (termasuk KPK) adalah sejajar dengan lembaga trias politica yang tetdiri dari eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Meminjam istilah Andrew Knapp, ia menempatkan lembaga negara independen sebagai cabang kekuasaan keempat atau The Fourth Branch Of Government.

Pendapat tersebut beresonansi dengan konsep The New Separation yang dibawa oleh Brucke Ackerman yang pada intinya menganggap bahwa lembaga independen itu kedudukannya sejajar dengan lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Atas dasar hal tersebut jelas bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif melainkan lembaga negara independen yang kedudukannya sejajar dengan lembaga trias politica.

Dua hal di atas menurut saya cukup beralasan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam tubuh KPK hari-hari ini. Pelemahan terjadi karena KPK didesain untuk mengamankan kepetingan pihak-pihak tertentu di negeri ini.

Atas dasar itu, reformasi KPK harus terus diperjuangkan. Harapan terakhir saat ini ada di tangan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang menangani uji materil UU KPK.
Karena itu, publik berharap penuh Yang Mulia hakim MK harus membuat putusan yang sejiwa dengan derita masyarakat yang telah dirugikan oleh praktek korupsi yang hakikatnya sebagai derita akibat demoralisasi UU KPK baru (UU no 19 tahun 2019).
Mengutip mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, putusan MK harus mencerminkan dialog moralitas konteks dengan teks konstitusialisme UUD 1945 yang protektif terhadap penguatan kembali KPK sebagai lembaga penegak hukum independen dan profesional.

 

*) Rian Agung Mahasiswa Universitas Esa Unggul dan Pemohon Judicial Review UU KPK

Artikel Terkait
Pemberantasan Korupsi Sebuah Orkestrasi
Manuver Politik Tiga "Pasien Rawat Jalan KPK"
KPK Dijadikan Parmanen, Indonesia Menjadi Raya
Artikel Terkini
Simak Ya! Kini Anda Bisa Dapatkan Samsung S23 Ultra di Marketplace Ini
Amicus Curiae & Keadilan Hakim
Tiga Warga Meninggal Imbas Longsor dan Lahar Dingin Gunung Semeru
Panglima TNI Hadiri Rapat Koordinasi di Kemenkopolhukam Bahas Situasi di Papua dan Permasalahan Tanah di Sumsel
Cegah Perang yang Lebih Besar, Hikmahanto Sarankan Menlu Retno untuk Telepon Menlu Iran Agar Tidak Serang Balik Israel
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas