Jakarta, INDONEWS.ID – Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner Emrus Sihombing mengatakan, disadari atau tidak, ruang publik sosial media masih terus diwarnai pilihan diksi dan atau kemasan pesan yang dapat menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat dan berpotensi mengancam disintegrasi bangsa.
Pilihan diksi dan pesan komunikasi yang dilontarkan, sudah memposisikan satu dengan yang lain seolah "berhadap-hadapan", sekaligus dapat "menjelaskan" identitas dan posisi kelompok serta kepentingan politiknya.
Pola komunikasi tersebut misalnya, masih terus mengemuka di ruang publik dengan melabelkan kelompok tertentu pada posisi sebagai memunculkan kembali ideologi komunis, menempatkan sosok tertentu sebagai anti suatu agama dan pro negara tertentu, kandrun, teroris, radikalis, adek-adek calon teroris dan lain sebagainya.
“Semua itu tidak lain bertujuan menggiring atau membentuk opini publik tidak produktif dalam rangka kebersamaan sebagai negara kebangsaan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (9/7).
Karena itu, Emrus mengingatkan semua pihak terutama pemerintah agar hati-hati terhadap diskusi-diskusi kelompok kecil di teritorial privat dan tindakan manipulasi persepsi. Kelompok tersebut misalnya mengemukakan antara lain, mana lebih dipercayai antara kitab suci (menyebut nama kitab) agama dengan ideologi bangsa.
“Pasti jawaban mereka, kitab suci tersebut. Atau membandingkan, mana lebih baik presiden (menyebut nama presiden tertentu) dengan Nabi yang sangat mulia. Pasti jawaban mereka, Nabi. Jelas, ini upaya penggiringan peta kognisi,” ujarnya.
Emrus mengatakan, perbandingan semacam ini sama sekali sudah sesat logika karena tidak setara satu dengan yang lain, seperti membandingkan antara benda padat dengan benda cair.
Efek lanjutan, katanya, mereka yang terkena manipulasi persepsi tersebut, turut berwacana sehingga ruang publik semakin tercemar.
Pola komunikasi politik di atas, kata Emrus, selain tidak edukatif, tetapi juga berpotensi menimbulkan darurat komunikasi ruang publik. Tentu ini sangat bertentangan komunikasi kebersamaan.
Oleh karena itu, potensi darurat komunikasi ruang publik tersebut harus segera ditangani dengan menciptakan suasana komunikasi kebersamaan yang asertif yang mampu membuat semua pihak nyaman dalam rumah kebangsaan.
“Lembaga yang bertanggungjawab menciptakan suasana komunikasi kebangsaan yang asertif, menurut hemat saya, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Badan Pembinan Ideologi Negara, Unit Komunikasi Istana, semua biro komunikasi kementerian dan instansi pemerintah dari pusat hingga daerah yang terkelola dengan baik dalam suatu unit kerja Koordinator Manajemen Komunikasi Pemerintah,” pungkasnya. (Very)