Jakarta, INDONEWS.ID - Maraknya fenomena para selebritas terjerat kasus narkoba akhir-akhir ini menunjukkan banyak hal yang kurang di masyarakat. Salah satunya adalah kurang memadaianya pengetahuan masyarakat terkait narkoba dan bahayanya serta strategi pencegahannya.
Hal itu dikatakan Pemimpin Redaksi Majalah Health News selaku Ketua Dewan Pendidikan DKI Jakarta periode 2015-2020, Komjen Pol (Purn) Drs. H.Ahwil Lutan, SH,MBA, MM
"Kita harus hidup cerdas tanpa narkoba. Pintar aja tak cukup. Jadi, better knowledge for better care itu penting," kata Dosen Parcasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia dalam Webinar yang digelar Selebriti Anti Narkoba Indonesia (SAN Indonesia), Selasa (8/9/2020).
Dalam diskusi online bertajuk "Strategi Pencegahan Narkoba di Masa Pandemi Covid-19" itu, Ahwil menjelaskan, narkoba adalah singkatan dari
Narkotika, Psikotropika dan bahan adiktif lainnya. Narkoba, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis.
Pengaruh dari penggunaan zat ini, kata Ahwil adalah, menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergatungan. Selain itu, juga dapat mengubah struktur dan cara kerja otak pada sistem saraf sehingga mengganggu daya pikir, daya ingat, konsentrasi, persepsi, perasaan dan perilaku.
Menanggapi fenomena maraknya para selebritas yang terjerat kasus narkoba belakangan ini, Ahwil mengatakan ada banyak faktor yang menjadi penyebab. Namun yang pasti, tambahnya, fenomena ini menunjukkan bahwa peredaran narkoba di masyarakat sangat masif.
"Selebriti itu adalah orang terkenal atau masyhur, setiap gerak langkahnya selalu disorot media massa. Ada sebagian selebritas menjadi popular karena prestasi dan kiprahnya, ada pula selebritas yang populer karena kontroversi kehidupannya," ungkap Ahwil.
Dengan kepopulerannya, Ahwil mengatakan para selebriti itu menjadi panutan bagi para milenial atau generasi muda dan masyarakat umum. Bahkan, mereka tak hanya sebagai simbol namun mereka juga dapat merubah suatu kebudayaan serta pola pikir di masyarakat.
Sebagai contoh, lanjut Ahwil, para selebriti melakukan kampanye pemakaian masker, cara mereka berpakaian, berbicara dan lain-lain yang dapat langsung diserap oleh berbagai kalangan. Ketokohan para selebriti ini, lanjut Ahwil dapat menjadi ujung tombak penyampaian suatu program, khususnya dalam penyalahgunaan narkoba.
"Yang mengkhawatirkan adalah para selebriti ini menjadi panutan berbagai kalangan, terutama generasi muda atau milenial. Kalo memberi contoh yang baik, ya bagus, tapi kalo pakai narkoba seperti ini kan berbahaya," tutur pria yang pernah mengikuti Kursus Narkotics Law Enforment School di Tokyo 1985 ini.
Lebih lanjut, pria yang pernah mengikuti training Drug Enforment (DEA) School Washington DC pada 1979 ini membeberkan beberapa strategi yang dinilai cukup jitu dalam pemberantasan penggunaan narkoba di lingkungan keluarga dan selebriti.
Pertama, pencegahan primer atau primary prevention yang meliputi pencegahan kepada orang yang belum mengenal narkoba serta komponan masyarakat yang berpotensi dapat melakukan penyalahgunaan narkoba.
Kedua, pencegahan sekunder atau secondary prevention yakni pencegahan yang dilakukan kepada orang yang sedang mencoba-coba menyalahgunakan narkoba serta komponen masyarakat yang berpontensi melakukan penyalahgunaan.
"Ketiga, pencegahan tertier atau tertiary prevention yakni pencegahan yang dilakukan kepada orang yang sedang menggunakan narkoba dan yang pernah atau mantan pengguna narkoba, serta membantu bekas korban narkoba agar dapat menghindari," tutup penerima Bintang Tanda Jasa Medali Kepeloporan ini.*(Rikard Djegadut).