Pengesahan UU Omnibus Law Rampas Wilayah Adat, UU Masyarakat Adat Ngambang
Jakarta, INDONEWS.ID - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU Ciptaker dalam rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020), menimbulkan gelombang protes, termasuk dari masyarakat adat. UU Omnibus law dinilai bakal semakin mengancam masyarakat adat.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi mengatakan UU ini menjadi ancaman serius yang membuat situasi masyarakat adat Indonesia semakin terancam.
"Karena berbagai UU yang ada, walau sudah ada berbicara tentang masyarakat adat, tapi hak konstitusinya belum secara utuh dipenuhi. Ada yang disebut hak kolektif (hak asal-usul), masyarakat adat yang sama sekali belum jadi landasan dalam pembentukan dan semangat UU ini," kata Rukka Selasa (6/10/2020).
Minus Legitimasi
Merujuk proses pembentukannya, Rukka menyebut legitimasi UU Ciptaker ini tak ada. Menurut dia, proses pembentukannya saja sudah minim atau negatif partisipasi masyarakat. Jadi dia meminta, tak usah terpengaruh dengan pengambilan keputusan yang tak mau melibatkan masyarakat.
"Kita harus ingat jika negara ini punya kita, keputusan apapun yang diambil DPR atau pemerintah yang akan berpengaruh ke kita, [nothing about us without us]. Tak pernah ada konsultasi dengan masyarakat adat, bahkan dengan sengaja UU ini memanfaatkan masa pandemik COVID-19, di mana masyarakat adat ini sedang melakukan lockdown sejak Maret 2020 dan itu membatasi kami tak melakukan kegiatan di publik," ujar Rukka.
Rukka menilai DPR justru memanfaatkan pandemi ini untuk mengerjakan, memproses, dan membahas UU Ciptaker secara diam-diam. Para wakil rakyat juga dianggap memanfaatkan keterbatasan masyarakat adat dan masyarakat lain pada umumnya untuk berpartisipasi.
Melanggar Standar Hukum
Selanjutnya, UU Ciptaker ini juga dianggap oleh Rukka, bertentangan dengan UUD 1945, hukum HAM, serta anti demokrasi. Sehingga dia menyebut jika UU ini bertentangan dengan penghormatan kepada hak-hak masyarakat adat yang sudah sesuai dengan UUD Pasal 28 i Ayat 3 dan Pasal 18 B Ayat 2, termasuk juga dalam standar hukum internasional.
"Ada yang penting untuk masyarakat adat dalam hukum internasional. Segala Penghapusan diskriminasi rasial, mengatakan dalam general polling masyarakat adat bahwa perampasan wilayah adat adalah salah satu diskriminasi rasial," bebernya.
Merampas Lahan Masyarakat Adat
Rukka juga bingung, karena sikap anti-demokrasi terlihat dalam UU baru ini, yakni dari dihapuskannya persetujuan DPR dalam melepaskan kawasan hutan. Padahal, DPR sendiri merupakan representasi dari masyarakat dan mewakili masyarakat Indonesia.
Dia merasa tergerusnya masyarakat adat semakin menjadi-jadi kala masalah soal perizinan dan AMDAL baru, karena partisipasi mereka untuk menyelesaikan masalah perizinan juga dilemahkan dalam klausul yang membahas masyarakat adat itu sendiri, atau dengan kata lain diformulasi ulang, sehingga maknanya tak bisa digunakan, atau dihapus, sampai dibentuk baru yang bertentangan dengan kondisi saat ini.
"Sehingga dengan demikian UU Ciptaker ini akan memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah masyarakat adat," tukas dia.
Selain permasalahan di atas, masih banyak beberapa persoalan lagi yang ditimbulkan oleh UU tersebut yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat.*