INDONEWS.ID

  • Minggu, 11/10/2020 11:07 WIB
  • Nobel Eijkman 1929 Sampai Covid 2024 (2029)

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Nobel Eijkman 1929 Sampai Covid 2024 (2029)
Presiden Jokowi dan Eijkman (Foto: Collage)

Oleh Christianto Wibisono

Opini, INDONEWS.ID - Sehari setelah demo berujung kekerasan Kamis 8 Oktober 2020, Hadiah Nobel Perdamaian 2020 diberikan kepada World Food Program PBB.

Kebetulan Presiden Jokowi sedang meresmikan program lumbung pangan di Kalteng yang merupakan wujud nyata rekonsiliasi damai antara dua capres RI.

Indonesia memang mempunyai hobby membuat trobosan unik narasi politik yang berbobot layak memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Tapi sering juga melakukan gol bunuh diri ketika penilaian dilakukan dan melayanglah hadiah Nobel yang sebetulnya “sudah deseeded” untuk RI ke tangan pihak lain.

Untuk hadiah Nobel Perdamaian ke 101 tahun 2020 ini, WFP mengalahkan 107 organisasi pesaing dan 211 tokoh individu memperoleh hadiah yang nilainya sekarang US$1,1 juta atau 10 juta Krona Swedia.

Ketika Bung Karno menyelesaikan sengketa Irian Barat tanpa perang, melalui perdamaian yang diperantarai Presiden John F. Kenney yang diteken di New York 17 Agustus 1962, sebetulnya itu layak memperoleh hadiah Nobel Perdamaian.

Sayang Presiden Sukarno langsung berkonfrontasi dengan Malaysia 1963 dan pada 1965 malah keluar dari PBB.

Pada tahun 1992 dan 1993, PM Yitzak Rabin sowan ke Cendana dari Halim untuk minta restu perdamaian denan Palestine kepada Presiden Soeharto selaku Ketua GNB.

Prakarsa damai itu sayang tidak dikukuhkan secara proaktif kreatif, padahal upaya perdamaian itu sukses di Oslo dan Rabin Perez dan Arafat memperoleh hadiah Nobel 1994 sedang Soeharto tidak dapat apa-apa.

2 tahun kemudian, yang mendapat Nobel Perdamaian adalah Uskup Bello dan Ramos Horta tepat 20 tahun RI mengakuisisi Timtim 1976-1996).

Ketika Presiden Habibie merestui referendum PBB di Timtim, ia layak dapat Nobel seandainya tidak terjadi penjarahan Dilli setelah plebisit, sehingga Dewan Keamanan PBB minta Australia mengirim pasukan pemulihan keamanan di Timtim.

Presiden Gus Dur tidak sempat memainkan kartu geopolitik unggulan dengan menjadi juru damai Israel Palestine meskipun secara pribadi sudah mondar mandir ke Israel sebagai anggota think tank Israel.

Presiden Megawati sebetulnya merupakan kepala negara pertama yang diterima Presiden George W Bush pasca tragedy terror Menara kembar WTC 11 September 2001.

Sayang tidak ada substansi pesan jurudamai Indonesia untuk konfrontasi Barat – Timteng mencegah perang penghukuman AlQaeda Taliban di Afghanistan oleh AS terhadap serang terror WTC oleh Osama bin Laden.

Perdamaian Helsinki antara pemerintah Indonesia dan GAM sebetulnya layak mendapat hadiah Nobel, tapi sayang bahwa tiga minggu sebelum pengumuman, terjadi eksekusi Tibo yang telah diprotes oleh Sri Paus dan Uni Eropa.

Seminggu sebelum pengumuman, kasus pembunuhan Munir malah membebaskan tersangka, maka Hadiah Nobel 2006 melayang ke Mohamad Junus dan Grameen Bank.

Sebetulnya rekonsiliasi Jokowi Prabowo merupakan narasi dan maneuver politik yang layak mendapat hadiah Nobel Perdamaian. Sebab koalisi Jokowi Prabowo itu telah menghindarkan pecahnya Indonesia seperti Yugoslavia atau bubar seperti Uni Soviet.

Maka koinsidensi, absennya Presiden dan Prabowo dari kerusuhan demo anti RUU Ciptakerja karena sedang meninjau lumbung pangan dan keberhasilan WFP memperoleh Nobel Perdamaian 2020 merupakan peringatan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesekian kalinya bahwa elite Indonesia itu secara “individual” punya caliber trobosan jurudamai setara Nobel Laureate.

Sayangnya, semua punya kelemahan pada prakarsa, proaktif, atau malah terjebak pada “gol bunuh diri”. Sudah berprestasi dan berkinerja bagus mencoptakan perdamaian ( Persetujuan New York tentang Irian) malah konfrontasi dengan Malaysia, maka Nobel melayang tidak jadi hinggap ke Bung Karno.

Soeharto sudah berani menerima Rabin sowan ke Cendana, tidak melangkah lebih maju proaktif mendamaikan maka Soeharto juga tidak dapat Nobel. Hanya dapat hadiah dari FAO swa sembada beras.

Habibie tidak berhasil mengendalikan militer pasca referendm Dilli maka Nobel melayang ke Medicins Sans Frontiers (Doktor Tanpa Batas) yang menyelamatkan Dilli dari huruhara pasca referendum.

Jusuf Kalla lincah mengelola Helsinki, dan Bersama SBY layak dapat Nobel 2006 sayang bikin goal bunuh diri mengeksekusi Tibo dan membebaskan terdakwa kasus Munir.

Pramudya Ananta Toer sebetulnya layak dapat Nobel Sastra tapi Komite Nobel telat memberi keburu almarhum dan hadiah Nobel memang tidak diberikan secara posthumous.

PDBI mengingatkan pada elite Indonesia agar berjiwa besar mengelola kontestasi politik agar dapat melakukan trobosan genial rekonsiliasi dan jurudamai.

Sayang bahwa Indonesia dan Pancasila tidak pernah mendapat kehormatan dan prestise menjadi pemenang Nobel Perdamaian atau Sastra. Malah selalu dikenal karena kerusuhan Mei 1998 dan genosida 1965 yang semuanya tak kunjung tuntas diselesaikan secara magnanimous berkualitas Nelson Mandela.

Tapi di zaman Hindia Belanda, Eijkman pernah memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran untuk obat beri beri di tahun 1929. Mudah mudahan penerus Eijkman, Bio Farma Bandung tepat se-abad nanti 2029 atau lebih cepat 2024 bisa memenangkan Nobel Kedokteran untuk vaksin Covid.*

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Kompolnas Pudji Hartanto: Atase Kepolisian Masih Bekerja dengan Model Manajemen "Tukang Bakso"
Tiga Penyuluh Agama Islam Tanahdatar Mewakili Provinsi Sumatera Barat ke Tingkat Nasional
Bertemu Menpan-RB, Pj Gubernur Sumut Komitmen Perbaiki Tata Kelola Pemerintahan
Perluas Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah & Optimalisasi Pengelolaan Keuangan Daerah, Pemerintah Laksanakan High Level Meeting (HLM) TP2DD se-Jawa Timur
Wakil Kanselir Jerman: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Salah Satu Tertinggi di Kawasan Asia Tenggara
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas