INDONEWS.ID

  • Selasa, 20/10/2020 15:30 WIB
  • Lima Puluh Juta Pertama Untuk Mama

  • Oleh :
    • luska
Lima Puluh Juta Pertama Untuk Mama

Penulis :  Eny Fahriati purna IPDN angkatan 19, bekerja di Pemkab Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan

“Ma, tekad aku udah bulat mau kuliah ke Jawa!”
Wanita separuh baya itu mengatupkan rahangnya. Seperti, segala rasa gemasnya ia salurkan dengan sibuk mengulek sambal untuk makan malam kami. Sambal, walau cuma lauk manday1dan iwak karing2
 sungguh menggugah selera. 

Bagi kami “urang banjar” manday ini luar biasa nikmatnya. Busuk, asam tapi enak. 
Aroma manday sudah menguar seisi dapur. Dapur kami sederhana, karena rumah yang kami tempati memang “hanya” warisan Kai3
. “Mama tetap nggak akan setuju!”sahutnya dingin. 
Kembali wajahku masam, tertekuk. Sedih rasanya, karena kuliah ke Jawa adalah impianku sejak lulus SD .
“Aku nggak akan kuliah di Banjarmasin!”
“Ya sudah, terserahmu. Kalau mau nggak kuliah pun terserahmu,” sahut wanita di hadapanku ini dingin, membuatku semakin “blingsatan” karena tahu begitu sulit membujuk pendiriannya.

Entah sebab apa, ada keinginan kuat untuk merantau dan meraup pengalaman baru, mereguk banyak ilmu, mengenal Jawa bukan cuma dari Atlas atau buku pintar RPUL pelajaran IPS. Makin menggebu dengan terasahnya naluri ingin tahu 
melalui informasi buku-buku yag dibaca, dan berbagai media.

“Keinginanmu harusnya sebanding sama kemampuan keluarga. Apa Mama bisa membiayai kuliah kakakmu, sekolah adikmu, sekaligus kuliahmu dalam satu waktu? Lalu gimana keperluan lain? Memangnya ke Jawa itu bisa naik klotok atau 
jukung?Pikirlah!”

Kali ini berusaha kuredam amarah agar tak bergejolak seperti biasa. Meskipun aku 
mudah lunak dengan nasehat, tapi ketika diberi penekanan dengan nada keras, serta keinginan yang tak disambut baik, aku gampang terluka.
Masih terasa goresan luka karena terpental dari motor akibat mengabaikan larangan Mama. Belum juga kering. Seharusnya itu memberi efek jera. Tapi ini kan beda, Ma? Ini menyangkut cita-cita!
“En, orangtua mana yang nggak mau penuhin keinginan anaknya selama itu baik? 
Nggak ada! Hanya saja benar kata Mama, ini masalah kemampuan,” terangnya, seorang guru yang sudah kuanggap kakak sendiri menasehati.
Sudah terlalu larut ‘perang dingin’-ku dengan Mama masalah kuliah ke Jawa ini. 

Baiklah. Kututup perlahan buku mimpiku, lebih baik fokus pada apa yang di depan mata. Sebulan lagi ujian nasional, momok terbesar kami.
Kujual handphone, kubeli buku-buku, kubentuk siklus belajar bersama seorang kawan. Aku akan bertahan melewati rintangan ujian dengan baik, tekadku. Akan kucari cara agar aku bisa meraih cita!
‘Sweet revenge’ atas kekecewaan dengan caraku sendiri adalah dengan menggeber habis kemampuan yang kubisa. Sebagian kawan akan gagal paham dengan caraku memboikot diri dari aktivitas dunia luar, aku juga semakin ketat pada diri sendiri. Uang saku tak seberapa lebih banyak kubelikan buku motivasi agar aku bisa tetap menyala. Rupa-rupanya, hatiku masih menolak pengabaian Mama atas ketidakmampuan membiayaiku ke Jawa.
“Jangan samakan dengan mereka yang masih punya Abah, di sini Mama berpikir sendirian, tanggung beban sendirian. Cobalah kamu sedikit lebih mengerti.” Nada suaranya mulai melunak.
 Tapi itu tidak membuka pikiranku, justru menikam rasa di sudut lain. 

“Lantas, kalau aku nggak punya Abah apa aku nggak berhak punya cita-cita sama kayak mereka?” Kali ini disertai nada sengit. Aku terhina. Bukan aku yang 
menentukan untuk besar tanpa sosok Abah.
“Ya Allah anakku bauntung batuah5…”

Sakit kulihat kedua matanya. Memang semarah apapun, Mama tak pernah mengucapkan kata buruk untukku. Kaset ini terulang kembali. Perdebatan yang menguras emosi. Dua jam berikutnya aku menghilang, menyibukkan diri dengan Ririn. Banyak waktu kuhabiskan di rumahnya di tepi sungai Padawangan, untuk belajar bersama. 

Rasa sederhana, senasib dan cita, membuat kami kembali bergelut saling membagi ilmu bersama. Orangtua kami, tak cukup dana untuk memasukkan les elit sekelas Prim*gama yang waktu itu sedang gencar-gencarnya dengan garansi LULUS. Kami hanya bisa belajar berdua dengan berbagi ilmu seadanya, bertukar informasi sembari men-copy beberapa bahan dari mereka yang suka rela berbagi.
“Ada kunci lain pencapaian yang harus kamu simpan Ding. Sempatkanlah tahajjud di dua pertiga malam terakhir. MINTA. Nggak usah risau masa depanmu. Dia pemilik kehidupan yang akan mengaturnya dalam keadaan TERBAIK!”
Begitu pelan ucapan Kak Yuseran, meski bukan kakak kandung namun ikatan batin dengan beliau melebihi kakakku sendiri. 

Aku mengunci pesannya dalam hati. Sebenarnya saat di Madrasah Tsanawiyah, keutamaan sholat tahajjud dan tata caranya juga diajarkan, namun sayang aku mulai sadar hanya saat aku butuh seperti ini. Semakin hari dengan belajar tahajjud hatiku justru menjadi semakin tentram 
tanpa tekanan. Waktu ujian yang semakin dekat justru tak membuahkan beban apapun bagiku. 
Tentu saja, rasa sakit hatiku akan penolakan Mama jua sudah menguap hilang. 

Berganti permohonan doa setiap hari, setiap aku bisa meminta. Meminta Ridho-Nya melalui Mama. Doa yang luar biasa mustajabnya ada padanya. Menembus langit, malaikat mengaminkannya. 
“Mama, aku minta maaf sama Mama..sekarang aku hanya minta doakan lulus,” ucapku sambil sesenggukan karena besok ujian nasional hari pertama.

Tak terbayangkan jika tulisan TIDAK LULUS itu terpampang di pengumuman. 
Berat untuk mentalku. Apalagi saat Uwa6 mengancam akan mengawinkan segera, alamak!
Wanita ringkih di depanku membalas pelukanku dalam diam. Terbiasa tanpa ekspresi yang begitu berarti, tapi aku tau tajamnya doa terkirim untukku.
Besoknya semua terasa ringan. Tak ada drama berarti saat ujian. Pikiranku lapang, kujawab semua soal dengan segenap KEYAKINAN.

Rasanya hari terakhir ujian itu jauh lebih lega daripada orang pecah bisul. Sore harinya, serasa akulah orang paling merdeka sedunia! Walaupun belum tahu akan nasib kelulusan, tapi sudah kulakukan yang terbaik! Sudah kutempuh cara 
maksimal.

Waktu-waktu kosong berikutnya adalah masa mempersiapkan amunisi masuk ke jenjang perguruan tinggi. Hilang sudah rasa sedih. Aku sudah berada pada tahap menerima. Kuliah di Banjarmasin pun sama, semua penuh perjuangan orang tua buatku. 

Sampai tiba hari pengumuman kelulusan. Sejak subuh mungkin sama yang dirasakan orangtua, tak menentu. Ketika detik membuka kertas terlipat dengan keterangan : LULUS!
Hanya sujud syukur yang bisa kulakukan dengan rasa lega yang membuncah luar biasa. Saat pulang dari sekolah berdua dengan Mama, kami mampir di tempat fotokopi, kulihat ada sebuah berkas pengumuman tertinggal. 
BERKAS PENERIMAAN PRAJA STPDN-IPDN.
“Bu, boleh saya numpang fotokopi berkas ini?”
Entah darimana ide itu muncul.

Seperti tak gentar dengan berbagai berita mendengar kampus yang terlalu santer 
dengan kekerasan itu. Ada rasa ingin tahu dan mencoba, mengingat sekolah kedinasan di bawah naungan KEMENDAGRI ini bebas biaya bahkan diberi gaji.

Berkas itu akhirnya ku bawa ke rumah, lalu aku ingin istirahat total. Terlalu banyak memporsir diri beberapa waktu ini. Berkas itu akhirnya kusimpan di 
kolong meja.
“Kalau IPDN itu ke Jawa, mama tetap sulit mengijinkan!”ucapnya kemudian kala 
kami bicara lagi berdua.

Aaarghh! Kenapa sih harus begini?
“Ma, dengar nggak sekarang IPDN itu ada di daerah, nanti bakalan buka di Banjarbaru?” sahutku asal menyebutkan selentingan kabar yang kudengar.
Akhirnya, dengan setengah pasrah wanita itu mengiyakan. Terlepas kabar itu benar atau tidak, yang pasti kalau aku lulus kuliah ikatan dinas ini, aku bisa menginjak tanah Jawa. Iya, sesimpel itu pikiranku.

Mama, aku hanya butuh IYA, selanjutnya biarkan derai keringat yang berusaha!
“Terima kasih, Ma.”
“Iya, Nak. Sebenarnya Mama punya sesuatu untuk kamu,” ucapnya seraya menyodorkan kotak kecil bertuliskan NOKIA.
Aku terkesiap. Ingin rasanya melompat saking girangnya. 
“Mama tahu kamu menjual handphone kemarin demi belajar, untuk buku-
bukumu. Mama ganti, pakai dengan baik dan semestinya,” pesannya. 
Kukecup dengan perasaan haru.
Aku tersenyum sampai akhirnya tertidur pulas.
 ***
“En, alhamdulillah selamat ya..Kamu dapat beasiswa.” 
Sebuah pesan singkat masuk. Dari Hery temanku. 
Mataku membulat. Lagi. Terlalu banyak surprise akhir –akhir ini.
“Maksudnya?”
Aku mengirim kembali pesan balasan.
“Udah liat daftar nilai kelulusan?”
“Belum, Ry,” balasku santai. Karena semenjak kabar LULUS aku tak begitu menghiraukan urusan nilai.
“Ternyata nilaimu tertinggi untuk jurusanmu se-provinsi. Jadi ada kabar dapat beasiswa lima puluh juta dari Gubernur Kalsel,” balasnya lagi.

AKU TERBELALAK. YA ALLAH, LIMA PULUH JUTA!!
“MAMAA..!”
Baru kali ini kulihat bibirnya begitu bergetar mengucap syukur Alhamdulillah. Aku masih begitu terkejut mencubiti tanganku sendiri. Baru kali ini pula kulihat raut haru yang terlampau besar itu.
Hari-hari selanjutnya bukan berpikir tentang untuk apa kugunakan uang itu nantinya, karena tentu saja aku masih menginjak gas untuk masa depan. Hari 
berikutnya adalah tentang latihan fisik karena tiba-tiba saja aku merasa tertantang untuk mengikuti tahapan tes IPDN ini. Kalau kuliahku bisa bebas biaya, kan lumayan uang itu untuk keperluan Mama setidaknya mendampingiku KE JAWA!

Mulai kukumpulkan berbagai soal psikotes, soal CPNS berspekulasi soal akademik nantinya akan setara dengan soal CPNS.
Allah tidak pernah tidur. Setiap rangkaian tes yang memiliki cerita perjuangan tersendiri itu akhirnya berhasil kutaklukkan. 

Sampai panggilan tes pantukhir (penentuan akhir) itu datang! Panggilan melalui seorang Kepala Bidang di Badan Kepegawaian Daerah kab. Hulu Sungai Tengah, hanya dalam satu malam yang sangat tergesa-gesa kucukupkan persyaratan perlengkapanku. 

Mulai sepatu pantofel, baju hitam putih, training, jilbab polos. Saat panggilan itu tiba posisiku sudah berada di Banjarmasin karena bersiap kuliah di Universitas Lambung Mangkurat. Start kuliah di IPDN memang waktunya lebih mundur sehingga sudah pupus harapan, kupikir aku memang gagal.
Bermodal dipinjamkan koper Muna temanku sejak sekolah (aku bahkan baru pernah pegang koper hari itu saja) Kubeli semua perlengkapan di “pasar tungging” Banjarmasin, sisanya nanti. 

Karena penerbanganku pagi bersama Pak Husni Kepala Bidang yang menangani, jadi harus kusisihkan tenagaku.
“Masih bisa membeli perlengkapan di mall terdekat, kita akan menuju Badan Diklat Jakarta besok. Tiket sudah saya belikan Bu,” ucap beliau hangat.
Lagi-lagi membuat kedua mata terkaget-kaget!
Allah mengabulkan doa-doaku melebihi permintaan.
Bukan karena aku anak taat yang begitu rajin beribadah. Semua ini karena Maha Pemurah-NYA Allah. Begitupun tahajjud pastilah hanya sebuah wasilah.
“Kak Yuseran, betapa Maha baik Allah, bahkan untuk anak keras kepala sepertiku!”
Aku tergugu.
 ***
Matahari sedang malu mengintip. Cuaca agak sedikit berkabut. Aku sudah duduk di pinggir jalan menuju bandara bersama wanita terhebat dalam hidupku.
Bagaimana mungkin, jika bukan karena ketulusan hatinya, kekuatan doanya, aku tak akan menginjak kaki dengan harapan membumbung tinggi seperti saat ini. 
Sebentar lagi aku memang akan membumbung, NAIK PESAWAT!
Ya Allah, first flight yang luar biasa bagi manusia kampungan sepertiku. Bahkan untuk memasang seatbealt saja aku harus celingak-celinguk akhirnya memanggil mbak berkaki jenjang dengan seragam batik berlogo singa ini.
Take off position.
Burung besi ini menguing di udara. Menukik tajam ke atas. Yang tersisa hanya gumpalan awan di kiri dan kanan.
Ada sesak yang terasa mencengkram kuat. Kutinggalkan ia, wanita terbaikku itu seorang diri di tepi akasia. Detik ini aku memejamkan mata.
“Ma, simpan ini. Sudah ada peraturannya nggak boleh bawa hape, akan dihancurkan ditempat!”
Benda kecil yang baru beberapa bulan dalam genggaman itu kuserahkan kebali dengan bergetar. Lebih pedih membayangkan nokia itu dihancurkan ketimbang menahan rasa rindu itu sendiri.
Tangan kurusnya mencatatkan sebuah nomer handphone pada secarik kertas.
“Simpan ini. Pasti kamu perlukan saatnya tiba.”
“Aku minta ridho mama.”
“Itu pasti, “ sahutnya lalu tenggelam dalam rasa sesak yang teramat.

Sebuah sapu tangan kecil kusimpan dalam saku. Harum molto yang dipakainya, pada sapu tangan ini akan membuat semua rasa rinduku nanti terbunuh dalam satu hirupan nafas.
Aku tak tahu bagaimana semuanya akan terjadi nanti. Aku tak bisa mengandai lagi bagaimana pedihnya saat aku tak bisa melihat tubuh ringkihnya. Aku hanya akan menjalani. Allah sudah memberi melebihi kehendak hati.
Bukan lima puluh juta dan pencapaian dunia yang akan selalu membuatnya bahagia akan putrinya, tentunya.

Mama, hingga saat ini aku masih belum apa-apa untuk balasan pengorbanannya. Takkan bisa. Hingga aku sadar, hidup bukanlah tentang meraih. Tapi sejauh mana kita memberi arti dan manfaat untuk orang lain, terutama mereka. Orang-orang 
terhebat hidupmu.

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Awarding Innovillage: Wujud Nyata Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Industri dalam Membangkitkan Talenta Digital Masa Depan
Siapkan Penyusunan Peraturan Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang, Delegasi Baleg DPR RI Berdiskusi dengan Pemerintah Kenya
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas