INDONEWS.ID

  • Selasa, 09/02/2021 13:30 WIB
  • Fenomena Intervensi Kekuasaan dalam Partai, Tanda Kemunduran Demokrasi?

  • Oleh :
    • very
Fenomena Intervensi Kekuasaan dalam Partai, Tanda Kemunduran Demokrasi?
Intervensi kekuasaan dalam partai politik. (Foto: Ilustrasi/Kompas.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Hilangnya oposisi sangat berbahaya bagi demokrasi. Kebijakan pemerintah bisa dilakukan dengan mudah tanpa perlawanan bahkan meskipun kebijakan itu diliputi banyak kritik.

Sebut saja revisi atas UU KPK, UU Minerba dan juga Omnibus Law. Pemerintah dengan kekuasaan mayoritas, terutama dalam legislatif, menunjukkan perangai dengan cenderung mengabaikan aspirasi publik. Tidak hanya dengan cara lembut dan tersirat, tetapi bahkan melalui upaya kekerasan.

Baca juga : Menko Airlangga Sampaikan Sukses Indonesia Jaga Pertumbuhan Ekonomi, Stabilitas Politik, dan Lanjutkan Upaya Transisi Energi

Demikian dikatakan Direktur for Media and Democracy, Wijayanto, dalam kata pengantar diskusi mingguan “Forum 100 Ilumuwan Sosial” yang digelar oleh LP3ES di Jakarta, Minggu (7/2).

Diskusi yang merespons isu konflik internal Partai Demokrat itu menghadirkan para pakar untuk melakukan telaah akademis terhadap tinjauan politik terkait dampak kejadian ini, maupun potensi terulangnya hal serupa di kemudian hari.

Baca juga : Kawal Musrenbang di Riau, Kemendagri Tekankan Pentingnya Pembangunan Berbasis Partisipatif

Hadir sebagai narasumber yaitu Made Supriatma, Suhardi Suryadi, Aisha Putri Budiarti, dan Tomi Satryatomo.

Wijayanto mengatakan, pelemahan lawan politik seperti yang coba dilakukan ke partai democrat, bukan baru pertama kali terjadi. Kronologis serupa juga dialami Partai Golkar dan PPP. Pada Pilpres 2014, Golkar mendukung Prabowo sebagai calon presiden di bawah Ketuanya Aburizal Bakrie.

Baca juga : Pertemuan Menko Airlangga Meminta dengan Menteri Iklim, Lingkungan dan Energi Inggris

Pada November 2014, Bakrie memenangkan kongres internal Partai Golkar di Bali dan terpilih kembali sebagai Ketua Umum. Namun, fraksi di dalam Partai Golkar dikuasai oleh kubu pendukung Jokowi. Mereka bermanuver dengan membentuk dewan tandingan di bawah kepemimpinan Agung Laksono.

“Dewan tandingan dibentuk melalui kongres tandingan di Jakarta pada Desember 2014. Konflik internal partai tersebut memang tidak diciptakan oleh Pemerintah karena faksionalisme di Parpol kita sangat sering terjadi, terutama di Partai Golkar. Namun, konflik tersebut memberi peluang kepada Jokowi untuk turun tangan dan melakukan intervensi. Bentuk intervensi ini terlihat ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan keputusan resmi Pemerintah yang memenangkan kubu Agung Laksono pada awal Maret 2015,” ujar Wijayanto.

Wijayanto mengatakan, bersamaan dengan tekanan politik yang memberi dukungan kepada kubu Agung Laksono, Jokowi juga memberikan tekanan ekonomi kepada Aburizal Bakrie. Pemerintah Jokowi tidak lagi memberi Bakrie hak istimewa dalam bentuk akses ke proyek-proyek Pemerintah.

Jokowi, katana, melalui Luhut Panjaitan memaksa Bakrie mundur dari politik jika ingin bisnisnya diselamatkan. Pemerintah menuntut Bakrie tidak melanjutkan posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan menggelar kongres lain yang mempertemukan dua fraksi yang bertikai: Bakrie dan Agung.

Sejalan dengan ketaatan Bakrie, Jokowi kemudian juga mencabut Peraturan Menteri yang mendukung Agung Laksono. Di sisi lain, Bakrie memang melayangkan gugatan dan memenangkan putusan MA di tahun yang sama yang juga memutuskan SK Menteri tersebut tidak berlaku.

“Selanjutnya, Jokowi memaksa Bakrie untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai ketua umum dan mendukung calon lain yang disetujui Jokowi. Kandidatnya adalah Setya Novanto, kader Golkar dengan reputasi buruk yang sengaja dipilih agar mudah dikendalikan dan tidak memiliki popularitas yang membahayakan Jokowi,” katanya. 

Hal serupa dilakukan pula oleh Jokowi dengan PPP. Partai tersebut juga mengalami konflik internal yang terjadi sebelum Pemilu 2014. Konflik ini terkait dengan dukungan terhadap Capres di mana Romahurmuziy, Sekjen Partai, mendukung Jokowi sedangkan ketuanya, Suryadharma Ali, mendukung Prabowo sebagai calon presiden.

Ketika Prabowo kalah, kubu Romi merasakan dukungan dan mengadakan kongres di Surabaya pada 15-17 Oktober 2014 yang memilihnya sebagai ketua umum partai yang baru. Pada akhir Oktober 2014, seperti kasus Golkar, Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Keputusan Menteri yang mendukung Romi.

Kubu Suryadharma tentu tidak bisa menerima ini. Mereka lantas menggelar kongres yang memenangkan Djan Faridz pada awal November 2014. Seperti yang terjadi di Partai Golkar, kedua kubu kemudian bertarung di pengadilan.

Pada Oktober 2015, MK memenangkan kubu Djan dan membatalkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Meski begitu, Pemerintah tetap tidak mengakui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan malah mengeluarkan SK yang mengembalikan pengurus kepada Suryadharma Ali seperti sebelum muktamar. Dalam hal ini, pada saat yang sama, ada proses hukum yang menempatkan Suryadharma sebagai tersangka dalam kasus korupsi.

Sebelum akhirnya masuk penjara, dia mengeluarkan keputusan untuk mengadakan kongres lagi. Pada kongres ini, yang diadakan pada tanggal 24 dan 25 Februari 2016, Romahurmuziy dengan suara bulat terpilih sebagai Ketua PPP yang baru. Jokowi membuka kongres, sementara Jusuf Kalla menutupnya—memberikan sinyal tegas bahwa Pemerintah hanya mengakui faksi pro-Jokowi yang sah. Protes Djan terhadap kongres diabaikan. Keyakinan Pemerintah sudah muncul ketika Luhut berhasil mendekati Maimun Zubair, tokoh PPP karismatik pada awal Februari 2016 yang memberikan legitimasi kepada Pemerintah dan ketua partai berkuasa: Romahurmuziy.

Wijayanto mengatakan, Partai Demokrat, PAN, dan PKS bersikap lunak kepada Pemerintah karena khawatir intervensi yang sama juga akan menimpa mereka. Dengan masuknya Partai Gerindra ke kubu incumbent, kekuatan oposisi di bidang legislatif semakin berkurang. Semua pimpinan DPR merupakan satu koalisi pemerintahan, sementara hanya dua dari sepuluh pimpinan MPR berada di luar koalisi incumbent. Komposisi seperti itu tentu akan memudahkan Pemerintah dalam melakukan manipulasi regulasi.

Pasca Pemilu 2019, Jokowi melemahkan satu-satunya oposisi yang tersisa yaitu Partai Gerindra melalui strategi lain: hegemoni. Hal itu dilakukan dengan memposisikan dua elite Gerindra sebagai menteri di kabinet. Hal itu patut diduga karena Gerindra dianggap terlalu kuat untuk diancam melalui cara yang serupa dengan parpol-parpol yang disebutkan di muka.

Terkait hal tersebut, Jokowi memberikan posisi dua menteri strategis kepada Gerindra: Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Dalam perspektif politik Jawa, hal ini dipandang sebagai strategi menenangkan lawan yaitu `dipangku` atau menempatkan seseorang di pangkuan.  Dengan masuknya Partai Gerindra ke kubu incumbent, kekuatan oposisi di lembaga legislatif semakin berkurang. Semua partai ada di kabinet, kecuali Partai Demokrat, PAN, dan PKS, sebuah kelompok oposisi yang tidak signifikan dibandingkan dengan koalisi Jokowi,” pungkas Wijayanto.

 

Sulit Menemukan Partai Oposisi

Dalam pemaparannya, Made Supriatma, mengutarakan bahwa kepartaian Indonesia sebenarnya adalah partai oligarch dengan struktur yang tidak begitu demokratis. Dengan sistem yang demikian, sulit sekali menemukan partai oposisi.

“Kita tidak pernah punya politik yang berakar pada masa, dengan kata lain massa yang saat ini ada berbentuk cair,” ujarnya.

Menurut Made, karakter politik Indonesia juga dapat dikatakan elitis yang selalu berubah sesuai dengan kepentingan. Misalnya, seperti yang terjadi pada partai Golkar. Hal itu sering sekali bercampur dengan demokrasi, sehingga acap kali dianggap wajar terjadi secara legal.

Dalam sistem politik elitis yang didasari kepentingan, kepentingan yang kuat menghantam yang lemah. Kepentingan tersebut akan mengerucut dan menjadi semakin jelas.

Demikian pun, dengan langkah berani dan cerdik, eksploitasi perpecahan dalam Demokrat melibatkan pula tokoh dalam kabinet yang sedang disorot dan ternyata memperoleh kepentingan kekuasaan sementara.

Sekali lagi, Made menegaskan bahwa sulit ada oposisi di Indonesia, karena beragamnya ideologi, kepentingan ekonomi. “Walaupun demikian, hampir semua neoliberal dan mengutamakan keuntungan tertentu (misalnya Golkar). Ada intervensi mediasi pemerintah di ruang digital di Indonesia, tetapi yang krusial adalah sejauh mana kebebasan masyarakat sipil di ruang maya dan juga ketatnya intervensi pemerintah,” ujarnya.

 

Pola Intervensi Partai di Era Reformasi

Suhardi Suryadi memandang isu terkait intervensi kekuasaan eksternal dalam konflik internal partai dari sisi etika politik. Masalah ini terkait dengan moral kekuasaan yang timbul dan seharusnya dilakukan.

Dalam politik, sebenarnya tidak memberikan ruang bagi politisi untuk berbuat menyimpang dalam kepribadian dan aktivitas sehari-hari. Hal tersebut perlu dijaga, walaupun secara sembunyi-sembunyi.

Menurutnya, ada tiga hal yang perlu dijaga. Pertama, ketika mencalonkan harus melakukan kampanye secara jujur. Kedua, menghilangkan inkonsistensi dan standard ganda ketika bertindak, orientasi kebijakan harus bermanfaat bagi masyarakat luas. Ketiga, terkait dengan korupsi dan aliran uang yang tidak jelas.

Etika politik menjadi faktor esensial dalam kualitas partai di Indonesia. “Karenanya itu pentingnya oposisi untuk mengontrol kekuasaan pemerintah agar tidak berubah menjadi otoriter. Tidak hanya bersumber dari partai politik, tetapi bisa pula lahir dari diskusi-diskusi di kalangan masyarakat sipil,” ujarnya.

Aisha Putri Budiarti memaparkan pula bahwa sebenarnya ada jaminan independensi partai secara legal. Tetapi secara praktik, masih ditemui adanya intervensi pemerintah seperti yang dialami oleh Golkar dan PPP.

Ia menemukan adanya pola intervensi partai di era reformasi. Pertama, selalu dimulai dengan kondisi partai yang mengalami konflik berkaitan dengan pencalonan presiden di Pemilu selanjutnya.

Kemudian, partai yang mengalami konflik pun terbelah, misalnya dengan dua kepengurusan partai yang berbeda dan saling mengklaim.

“Lalu, penyelesaian konflik dilakukan melalui Makhamah Partai dan Pengadilan. Kadang terbolak-balik prosesnya, karena penyelesaiannya dilakukan melalui dua jalur,” ujarnya.   

Aisha mengatakan, ketika konflik tersebut terjadi, maka intervensi akan masuk. Kemenkumham menerbitkan pengesahan SK pengurus dan juga ada pula lobi politik yang melibatkan pemerintah. Misalnya, Presiden dan Wakil Presiden.

Secara etika politik, itu tidak tepat karena mereka berada di luar partai sementara konflik yang terjadi adalah urusan rumah tangga partai. Alhasil, maka konflik pun berakhir dengan kondisi partai terkait pun mendukung pemerintah.

“Intervensi tersebut terjadi karena ikatan ideologi yang kuat, lalu akar pragmatisme partai dan bentuk partai yang elitis,” ujarnya.

Karena itu, sebagai rekomendasi, Aisha menekankan harus ada revisi UU Pemilu yang juga mengatur ulang partai politik, kontestasi politik dan sistem politik.

Tomi Satryatomo, yang mengulas dari perspektif Partai Demokrat, mengungkapkan bahwa dalam narasi sosial media terkait dengan konflik Partai Demokrat, ada polarisasi kluster (pro dan kontra).

Dia mengatakan, kelompok yang pro punya argumentasi dasar bahwa konflik yang terjadi merupakan upaya pengambilalihan paksa yang didalangi oleh pihak eksternal (Moeldoko). Kemudian, di sisi kontra ada argumen yang mengatakan bahwa konflik Partai Demokrat ini adalah konflik internal yang dieksternalisasi dan dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan.

Di media social, katanya, terasa adanya kontestasi dari pihak internal (pro) dan eksternal yang diklaim melakukan upaya pengambilalihan (kontra). Terjadi ketidakseimbangan, kelompok yang kontra justru melakukan doxing, penyebaran hoaks dan disinformasi. Akun-akun tersebut juga merupakan akun-akun yang selama ini mempromosikan kebijakan pemerintah.

“Eksistensi influencer dan buzzer pemerintah tersebut otomatis menjadi anti-tesis dari argumen Moeldoko yang mengklaim bahwa tidak ada keterlibatan pemerintah dalam konflik internal Partai Demokrat,” ujar Tomi.

Upaya menguatkan demokrasi menjadi suatu hal yang wajib bagi semua pihak. Salah satu hal untuk mencapai hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat partai politik menjadi lebih sehat dan independen.

Semua pihak harus meningkatkan kesadaran masyarakat terkait bahaya laten dari kemunduran demokrasi bagi Indonesia. Terlebih dengan adanya pengulangan intervensi kekuasaan melalui konflik internal partai oposisi yang terus terjadi. (Very)

Artikel Terkait
Menko Airlangga Sampaikan Sukses Indonesia Jaga Pertumbuhan Ekonomi, Stabilitas Politik, dan Lanjutkan Upaya Transisi Energi
Kawal Musrenbang di Riau, Kemendagri Tekankan Pentingnya Pembangunan Berbasis Partisipatif
Pertemuan Menko Airlangga Meminta dengan Menteri Iklim, Lingkungan dan Energi Inggris
Artikel Terkini
Menko Airlangga Sampaikan Sukses Indonesia Jaga Pertumbuhan Ekonomi, Stabilitas Politik, dan Lanjutkan Upaya Transisi Energi
UU DKJ Disahkan, Fahira Idris Soroti Pentingnya Dana Abadi Kebudayaan
Kawal Musrenbang di Riau, Kemendagri Tekankan Pentingnya Pembangunan Berbasis Partisipatif
Pataka 83 Gelar Halal bi Halal, Silaturahmi sekaligus Temu Kangen
Pertemuan Menko Airlangga Meminta dengan Menteri Iklim, Lingkungan dan Energi Inggris
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas