INDONEWS.ID

  • Selasa, 08/02/2022 02:01 WIB
  • Potret Otoritarianisme Kabinet Indonesia Maju

  • Oleh :
    • Mancik
Potret Otoritarianisme Kabinet Indonesia Maju
Wasekjen PB PMII Bidang Politik, Hukum dan HAM, Hasnu.(Foto:Ist)

INDONEWS.ID - Sejak dua tahun setelah #ReformasiDikorupsi ,dimulai, ruang gerak publik dan masyarakat sipil menjadi semakin susut dan pengap.

Hal ini memberikan signal kepaea publik bahwa demokratisasi bukan menghasilkan demokrasi, malah berhujung pada kriminalisasi. Itu lah fakta sosial dan fakta politik yang terjadi di rezim Indonesia Maju sekarang.

Baca juga : Menakar Posisi Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan

Mengapa hal tersebut terjadi di tengah negara ini bersemangat memperbaiki Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) agar memperbaiki catatan buruk peristiwa kelam masa lalu selama 32 tahun berkuasa yang penuh otoriter di bawah Orde Baru?

Ironis memang, pendekatan keamanan (security aproach) untuk menyelesaikan dinamika di ruang publik kerap dilakukan Negara, terutama untuk mengancam mereka yang memilih jalur kritis-konstruk pada status quo.

Baca juga : Periodisasi Jabatan Presiden

Artinya, kelompok-kelompok kritis ini sebetulnya begitu sayang terhadap ibu pertiwi, namun, kritikan publik dipandang sebagai sentimen bukan argumen ilmiah berbasis riset dan advokasi. Sebetulnya, kelompok-kelompok kritis konstruk ini diberikan piagam oleh Negara bukan malah menghukum mereka dengan UU ITE yang perlu dikoreksi itu.

Publik bertanya-tanya; apakah benar ini bagian dari sisa-sisa politik identitas pasca Pilpres 2019 yang membuat ruang publik menjadi semakin terpolarisasi dan hal ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk menggiring sentimen publik dengan cara-cara negatif, kasar dan kekanak-kanakan?

Baca juga : Mahasiswa dan Negara Membaca Perkembangan Global

Ketidakadilan itu kita sering melihat di tubuh kekuasaan misalkan, aksi pendengung alias buzzer leluasa menyebar agitasi dan fitnah menggunakan isu radikalisme, gerakan inskonstitusional dan makar terhadap kekuasaan polik yang sah berdasarkan mekanisme Pemilu 2019 lalu. Mengapa mereka dibiarkan begitu bebas? Apakah karena mereka ini adalah repsentasi rakyat yang melihat secara objektif atas prestasi negara? Ataukah mereka-mereka ini sebetulnya kerikil yang menghambat demokrasi Indonesia Maju?

Harus diakui, giringan opini para buzzer bukan saja menghasilkan demokrasi cacat, tapi pada gilirannya, penggiringan opini seperti ini menjadi ancaman; bukan saja karena membuat publik semakin tersesat dalam propaganda narasi, tetapi juga memberikan para elite kesempatan untuk mengklaim dukungan palsu itu sebagai legitimasi sebagaimana terjadi saat #IndonesiaButuhKerja  dan #MahasiswaMencariNadim  memenuhi linimasa media sosial sebelum UU Cipta Kerja disahkan DPR tanpa melibatkan partisipasi publik.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) melaporkan semakin lunturnya kualitas demokrasi Indonesia, yang diberi label “illiberal democracy”, seperti mendapatkan momentumnya di tahun 2021 sampai 2022 ini dengan merujuk ke pelbagai kasus kriminalisasi yang menimpa aktivis masyarakat sipil.

Sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita, bahwa pelaporan Koordinator Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti ke polisi lantaran mengutip temuan riset tentang konflik Papua. Dalam kasus ini, publik tentu kaget, sebab,  Pelapornya Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.

Update terkini, kasus Haris dan Fatia dijemput paksa oleh pihak Polda Metro Jaya atas nama kepentingan penyelidikan.

Fenomena lain misalkan, dua peneliti ICW juga dipolisikan oleh Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko atas penggunaan diksi ‘perburuan rente’ dalam riset ICW yang dianggap sebagai fitnah.

Bagaimana reaksi publik terhadap kedua kasus ini? 

Tentu publik menyayangkan pilihan pendekatan pidana yang dilakukan pelapor untuk dua kasus tersebut. Sebab, mereka adalah pejabat negara, bukan rakyat biasa. Apalagi Negara ini menganut sistem politik demokrasi.

Kedua aksi tersebut semakin memperkuat kesan kepada rakyat bahwa pejabat publik seolah-olah anti dialog dan menolak mendengar suara publik sehingga memperkuat kesan praktik otoriter yang terjadi di era Indonesia Maju.

Kendati demikian, watak otoriter yang selama ini selalu disangkal pun mulai menunjukkan wajahnya. Ia mulai tanpil kepermukaan.

Tidak berlebihan pendapat Levitsky dan Ziblatt (2018) menyebutkan adaempat gejala yang mencirikan matinya negara demokrasi;

(1) tidak adanya komitmen terhadap aturan main demokrasi; (2) pemberangusan oposisi; (3) pembiaran atas kekerasan yang menimpa masyarakat sipil, dan (4) pembatasan terhadap kebebasan sipil.

Apakah pendapat tentang matinya demokrasi di atas telah terjadi di rezim Indonesia Maju? Publik berkesimpulan hal itu telah terjadi dan sedang berlanjut.

Pasca Reformasi 98, inisiatif perubahan yang lahir dari gerakan masyarakat sipil dinilai gagal menyasar persoalan fundamental karena bergantung pada pendekatan monumental, pilihan aktor, regulasi serta desain kelembagaan belaka.

Berbagai tuntutan korektif ke otoritas dipandang seperti paradoks; mengingat aktor-aktor yang dimintai pertanggungjawaban itu sejak awal adalah bagian dari masalah.

Gagasan berupa terobosan seperti pembentukan kubu politik alternatif sebagai penyeimbang, merupakan
usulan yang tetap perlu diberi ruang; meski tak sedikit pula yang skeptis pada solusi tersebut.

Faktor struktur dan relasi ketatanegaraan membuat pendekatan analisis-aktor tidak akan berubah, siapapun pemegang kendali pemerintahan.

Pendekatan yang sama jugalah yang berhasil menelurkan beberapa perubahan pasca reformasi, seperti pemilu langsung, pengadopsian instrumen HAM ke dalam legislasi Indonesia, penghapusan dwi-fungsi militer, serta pelembagaan institusi baru memberikan ruang nafas baru bagi masyarakat sipil.

Harus diakui, kekurangan akan selalu hadir dalam desain regulasi atau reformasi kelembagaan yang menjadi tuntutan advokasi kebijakan.

Namun, yang perlu disadari bahwa tujuan akhir yang disasar bukanlah semata pembentukan lembaga atau aturan baru.

Padahal, pembenahan yang lebih sistemik baru akan hadir apabila ekosistem yang tersedia mampu menghadirkan kesadaran kolektif diantara publik sebagai pemangku kepentingan.

Kita semua belajar tentang konsep pembangunan politik (political development) yang intinya tidak ada permasalahan yang selesai dengan solusi tunggal, apalagi di tengah iklim demokrasi yang makin pengap dan upaya kritis dibalas dengan sengit oleh status quo.

Tolak ukur pendekatan ini, suatu rezim dinilai berhasil atau mengalami kemunduran apabila ada perubahansecara signifikan dalam beberapa sektor seperti Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai manifest dari kebijakan politik pro rakyat.

Sebab, dalam beberapa teori politik menyakan Negara demokrasi itu tunduk terhadap rakyat, sedangkan Negara otoriter tunduk terhadap kemauan kekuasaan.*

*)Penulis adalah Wasekjen PB PMII Bidang Politik, Hukum dan HAM

Artikel Terkait
Menakar Posisi Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan
Periodisasi Jabatan Presiden
Mahasiswa dan Negara Membaca Perkembangan Global
Artikel Terkini
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Apresiasi Farhan Rizky Romadon, Stafsus Kemenag: Kita Harus Menolak Tindak Kekerasan
Puspen Kemendagri Berharap Masyarakat Luas Paham Moderasi Beragama
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas