INDONEWS.ID

  • Rabu, 17/08/2022 06:15 WIB
  • Kumpulan Puisi Karya Ibnu Wahyudi

  • Oleh :
    • luska
Kumpulan Puisi Karya Ibnu Wahyudi

Jakarta, INDONEWS.ID - Ibnu Wahyudi, kelahiran Boyolali, 24 Juni 1958, adalah pengajar tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Tahun 1997—2000 ia menjadi pengajar tamu di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul. Selain mengajar di UI, ia juga menjadi pengajar tamu di Universitas Prasetiya Mulya (sejak tahun 2005), di Universitas Multimedia Nusantara (UMN; sejak tahun 2009), di Singapore University of Social Sciences (sejak tahun 2011), serta pernah pula di Jakarta International Korean School (2001-2010). 

Pendidikan sarjana dan pascasarjananya ditempuh di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (S.S. dan Dr.) serta di Center for Comparative Literature and Cultural Studies, Monash University, Melbourne, Australia (M.A.)
Beberapa karya sastra sudah ia publikasikan, antara lain adalah Masih Bersama Musim (puisi, 2005), Haikuku (puisi, 2009), Ketika Cinta (puisi, 2009), Nama yang Mendera (prosa, 2010), Perjalanan Tubuh (puisi, 2013), Haikuya (puisi, 2013), Sihir Syair (puisi, 2013), Gumam Gurindam (puisi, 2013), Pantun Ramadan (puisi, 2013), Kesetiaan yang Ia Titipkan (prosa, 2013), 100 Hari Puisi (puisi, 2016), Setengah Perjalanan (puisi, 2016), Dari Negeri Ironi (puisi, 2016), Jejak Jarak (puisi, 2017), Kata Mata (puisi, 2017), Gurindam Kekinian (puisi, 2017), Dalam Pesona Sijo (puisi, 2017), Aku Haiku Kau (puisi, bersama Fryda Lucyana, 2017), Pada Suatu Haru (puisi, 2020), Membeningkan Cipta (puisi, 2020), Tentang Rindu (puisi, 2021), dan Hujan Titik Titik (puisi, 2022).

Baca juga : Dua Buku Puisi Terbaru Ibnu Wahyudi

Buku-buku sastra, kajian sastra, dan buku umum yang pernah disusun atau disuntingnya antara lain adalah Lembar-lembar Sajak Lama (1982), Pahlawan dan Kucing (1984), Konstelasi Sastra (1990), Erotisme dalam Sastra (1994), Menyoal Sastra Marginal (2004), Toilet Lantai 13 (2008), dan Ode Kebangkitan (2008), Mengendarai Pandemi dengan Empati (2021), dan Canda Ria ala Asrama (2022).

Sejak awal 1980-an sudah menulis artikel kebudayaan dan karya sastra yang dimuat di sejumlah media massa cetak harian seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Karya, Pelita, Jurnal Nasional, Republika, Koran Tempo, dan Suara Merdeka, serta di sejumlah majalah atau jurnal nasional maupun internasional, seperti Tempo, Horison, Susastra, Jurnal Puisi, Optimis, Berita Buku, Cultural, Pendar Pena, Katajiwa, Semiotika, Laras, Syir’ah, Srinthil, Wacana, Semesta Seni, The Malay World, International Area Review, dan Dicapoem.

Baca juga : Dua Puisi Terbaru Karya Ibnu Wahyudi


Yang Mustahil Merdeka

yang mustahil merdeka
adalah hari penghabisan kita
di waktu sesingkat-singkatnya
saksama bersama nadi usia

Baca juga : Pembukaan Pameran Lukisan dan Puisi Ibnu Wahyudi Serta Peluncuran Buku Pulang Terbilang Sesaat

yang percaya akhirat atau tidak
tak ada yang mampu mengelak

saat masih bisa merasai cuaca
atau pahit-manisnya mayapada
mengapa tidak bagikan ceria
bagi kebersamaan bermakna?

17 Agustus 2020


Merdekaku

merdekaku itu
merdeka dari pikiran buntu
merdeka dari laku jemawa
merdeka dari gunjing sesama
merdeka dari bebal nalar
merdeka dari rasa paling pintar
merdeka dari rendah diri
merdeka dari sikap iri
merdeka dari dendam tak padam
merdeka dari cepat naik pitam
merdeka dari enggan berbagi
merdeka dari gegas bangun pagi
merdeka dari dusta disengaja
merdeka dari malas tiada tara
merdeka dari penjajahan dunia
sebab Engkau menunggu
di sana dengan janji-Mu

18 Agustus 2019


Belenggu Kita

ketika yang membahagiakan kita tepikan
atau yang menyenangkan kita abaikan
pun yang menggembirakan tak kita hiraukan
di mana kebersyukuran kita tanam?

termasuk kebebasan yang kini nyata ada
juga rasa takut yang tak lagi menggelayut
atau laku berekspresi tanpa batas lagi
namun semuanya tak juga kita syukuri
makhluk iri-pendengkikah kita
atau manusia terbuat dari amarah?

jangan bilang belum merdeka
sebab kita leluasa apa saja
jangan sinis dengan kata merdeka
karena kita ternyata bebas berkarya
jangan ejek yang sudah merasa merdeka
lantaran mungkin itu sikap jujurnya

: jangan-jangan belenggu yang ada
  kita sendiri pemasangnya

16 Agustus 2017


Tersesat di Rimba Kata

aku tersesat di rimba kata
begitu banyak tikungan tanpa tanda
rambunya penuh coretan berantakan
padahal aku harus segera bertemu ibu
bukan untuk menabung kekelaman
melainkan bermuara pada rindu

ibuku adalah bahasa
yang dulu engkau anggap sia-sia
sampai saat tak ada yang menyapamu
sehingga tersuruk dalam labirin berliku
maka engkau baru ingat diriku
dan rindu pula kepada ibu

14 Agustus 2016


Rasa Sakit Itu

rasa sakit itu
seolah menunggu waktu

dalam gairah ia diam rebah
di tengah semangat ia cuma lamat
di sela harapan ia mengada pelan
di celah hasrat ia tak ingin mencuat
di antara hidup ia hanya redup

tapi rasa sakit
tak mungkin berkelit

bahkan ia amat menyiksa
menyembilu di setiap masa
mengharu biru tanpa memaksa
menyadarkan diri sebagai manusia
dan baru terasa saat kita jeda

juga rasa sakit, sayangnya
biasa dijadikan kedok belaka

16 Agustus 2016

 

Kebenaran Dipermainkan

kebenaran
kenapa seperti mainan?

ungkapanlah penyebabnya
diksi miskin sumber bencananya

jika cuma hal biasa
sangat mungkin tak apa-apa

tapi jika fakta yang dilenyapkan
hati nurani dipinggirkan
kabar miring jadi santapan

apalagi kini
fitnah lebih lekas berembus kencang
benak orang dipecundangi
oleh pernyataan sungsang

sayangnya
si sumber prahara cuma ketawa
tak merasa salah bahkan seinci saja

26/8/16


Yang Belajar

yang belajar
bukan hanya murid
tapi terlebih guru
menyaring yang didengar
meramunya sebagai wirid
bagi elan baru

yang mengajar
teka-teki semesta
tersaji pada setiap misteri
akan tetap jauh dari denyar
jika masih serupa peta buta
dan kunci tak juga dicari

yang diajar
bisa tetap seperti kerbau
jauh dari kehendak cendekia
andai mereka tak diberi sinar
buat menerangi hati kacau
dan merengkuh hidup ceria

30 Agustus 2020


Suara yang Tak Terwakili Kata

suara yang tak terwakili kata
melata dalam diksi yang pongah
mendiami jutaan rasa luka
mengalir bukan laiknya darah
tapi hanya marah yang tersumbat
menjadi langkah yang terlambat

selalu saja terlambat
bahkan sering kali tak menangkap
isyarat yang sudah serupa tanda
maklumat yang mewacana
sayangnya cuma terus menunda
seperti berat meninggalkannya

padahal satu sikap harus diambil 
meski berserakan sekian kerikil

8 Agustus 2021


Di Stasiun Ini

di stasiun ini
kutoreh jejak remang
karena kereta segera tiba
mengantar fatamorgana
sekilas memerangkap
sejenak menyudahi sangsi
tapi risau yang membayang

risau terus mengacau
pun saat tak lagi aku ke situ
ketika satu jenjang hilang
sebab tangga lain mendera
dengan titian berliku
dengan harapan sarat jibaku
menetak kabut beku

27 Agustus 2021

Artikel Terkait
Dua Buku Puisi Terbaru Ibnu Wahyudi
Dua Puisi Terbaru Karya Ibnu Wahyudi
Pembukaan Pameran Lukisan dan Puisi Ibnu Wahyudi Serta Peluncuran Buku Pulang Terbilang Sesaat
Artikel Terkini
Tanggapi Tuduhan Ade Pencuri, Lawyer Gaul: gak Cocok sama Faktanya
Terus Bermanuver Menuju Pilkada NTT, Cagub Ardy Mbalembout dan Irjen Jonny Asadoma Gelar Pertemuan Tertutup di Jakarta
Tamini Square Gelar Festival Soto dan Masakan Nusantara
Dituduh Curi Iphone, Ade Laporkan AA ke Polres Jaksel
PNM Terus Bekali Nasabah dengan Teknologi Digital
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas