INDONEWS.ID

  • Kamis, 08/06/2023 13:58 WIB
  • Refleksi Bulan Pancasila: Etika Dalam Bisnis Pariwisata (Bagian 1 )

  • Oleh :
    • luska
Refleksi Bulan Pancasila: Etika Dalam Bisnis Pariwisata (Bagian 1 )

OLEH: PANDE K. TRIMAYUNI 

Official Representative-Kerjasama anggota SACCHAM (KADIN Amerika Selatan-Karibia) dengan Indonesia, Pengusaha dan Pegiat Kebangsaan, Ketua FOKAL UI.

Baca juga : BUMN, Apakah Sudah Melaksanakan Tanggung Jawab Terhadap Pasal 33 UUD

Tulisan ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama mengupas persoalan yang sering terjadi dalam bisnis Pariwisata, dengan memakai Pulau Bali sebagai contoh kasus utama. Tulisan kedua membahas rekomendasi dan solusi yang bisa diterapkan.

Minggu ini jagat virtual dihebohkan dgn dua video. Pertama, video turis asing yang bugil di tengah suatu perayaan Hindu di Bali. Belakangan diketahui,ternyata turis asing tersebut mengidap gangguan jiwa dan sudah dipulangkan ke negaranya di Jerman. Kasus kedua, video satu keluarga turis lokal yang mengambil photo anaknya sedang "duduk bertengger" di atas padmasana (tempat pemujaan Hindu). Tidak dijelaskan dimana video tersebut diambil. Sang Ibu, yang dari busananya dapat diketahui latar belakangnya, terlihat sedang bergaya mengambil gambar untuk anaknya. Beberapa waktu yang lalu juga beredar video turis asing dan juga orang Indonesia yang menolak ikut memperingati Hari Suci Nyepi. 

Baca juga : Refleksi Bulan Pancasila: Etika Dalam Bisnis Pariwisata (Bagian 2)

Fenomena apa ini? Apakah sudah begitu tergerus nilai-nilai etika universal dan juga nilai-nilai adilihung nusantara, sehingga etika yang bersifat dasar saja sulit dilakukan? 

Sebagai orang Bali, saya beruntung menjadi "saksi" dinamika wisatawan/turis yang berkunjung ke Bali, baik lokal maupun internasional. Dekade 80an yang saya ingat, kunjungan wisatawan ke tempat-tempat wisata, art shop, galeri atau museum biasanya tertib dalam rombongan. Wisatawan terlihat begitu takzim dan respectful menikmati pemandangan atau karya seni. Bertanya dan berdiskusi jika ada yang kurang jelas. Memang ada yang datang sendiri-sendiri, tetapi lebih banyak rombongan. Saat itu, kita bisa mengidentifikasi wisatawan darimana dan yang membawa siapa.

Baca juga : Mengapa Kita Harus Bangga Pada Pancasila

Karakter dan prilaku wisatawan pada masa kini sangat berbeda. 
Sekarang mereka lebih banyak datang dalam grup kecil atau sendirian, lone wolf. Mereka juga banyak yang tidak hanya bermaksud liburan tetapi juga untuk bekerja. Ink sejalan dengan perkembangan zaman dimana kini dikenal konsep WFH (Work From Home) dan WFA (Work From Anywhere).


Mereka juga tidak perlu menginap di hotel-hotel yang mapan karena dgn adanya Airb&b misalnya, mereka bisa mencari sendiri penginapan sesuai dengan isi kantong. Jika tidak ada uang untuk ikut paket tur, bepergian bisa sangat mudah dengan mobil atau motor sewaan. Turis pengendara motor terutama menjadi masalah saat ini di Bali. Meski tidak bisa mengendarai motor dari negara asalnya, mereka belajar dan langsung kemana- mana. Tidak ada regulasi yang ketat. Sehingga sering kita lihat prilaku wisatawan yg membahayakan pengendara lain. 

Jadi ada banyak kemudahan saat ini. Biaya penerbangan yang semakin terjangkau, kemudahan masuk negara Indonesia, gampangnya mencari  informasi dan akomodasi dan kemudahan-kemudahan lain yang disebabkan kemajuan teknologi dan sosial media. 

Berbagai kemudahan ini juga disertai dengan kerentanan. 


Bisnis pariwisata mudah naik dan juga bisa cepat turun. Bergantung kompleksitas internal dan ekternal faktor. Sangat dipengaruhi oleh image. Kemampuan untuk membentuk persepsi. Dan nilai sebuah persepsi sangat fluktuatif, bisa sangat tinggi namun kemudian tiba-tiba jadi zero.
Ada issue negatif sedikit bisa nyungsep. 

 Orang mau membayar ribuan dollar untuk sebuah "pengalaman" wisata. Sebaliknya, wisata yang sebelumnya booming bisa saja tiba-tiba ditinggalkan atau diboikot. Semua tergantung pembentukan persepsi.

Saya paling sering memperhatikan situasi di area bisnis kami di daerah Kuta-Bali. Kami sering membantu beragam kasus terkait wisatawan, kebanyakan memang turis asing. Mulai dari yang kecelakaan karena ngebut dan mabuk, bule depresi dan mengamuk, perkelahian, dan sebagainya. Sering juga mendengar bentuk kriminal lain seperti pemalsuan ID card (bikin KTP lokal), atau membuat laporan "seolah-olah" kehilangan barang selama di Bali agar dapat mengklaim asuransi yang mereka beli di negara asalnya. 

Turis-turis yang bikin masalah ini rata-rata yang masih berusia muda. Berbeda dengan bule-bule pensiunan yang lebih damai dan memang ingin menikmati suasana. 

Ada peluang namun juga disertai dengan masalah-masalah. Wisatawan asing dan dalam negeri, dua-duanya memiliki potensi untuk menimbulkan kericuhan jika tidak ditangani dengan baik dan ada pembenahan. 

 Apa yang bisa dilakukan? Bagian kedua tulisan ini akan membahas rekomendasi dan solusi yang mungkin untuk dilakukan. 

Pande K. Trimayuni, 3 Juni 2023

Artikel Terkait
BUMN, Apakah Sudah Melaksanakan Tanggung Jawab Terhadap Pasal 33 UUD
Refleksi Bulan Pancasila: Etika Dalam Bisnis Pariwisata (Bagian 2)
Mengapa Kita Harus Bangga Pada Pancasila
Artikel Terkini
Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel
Penutupan Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Bagian dari Strategi Bisnis untuk Fokus pada Lini Penjualan
Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat
Tumbuh Untuk Menginspirasi: PNM Berikan Pelatihan Literasi Keuangan Digital Serta Kegiatan Tanggung Jawab Sosial
Strategi Sukses dalam Mengimplementasikan HRIS di Perusahaan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas