Opini

BUMN, Apakah Sudah Melaksanakan Tanggung Jawab Terhadap Pasal 33 UUD

Oleh : luska - Selasa, 20/06/2023 10:31 WIB

(Bagian Pertama dari dua tulisan)

Oleh: PANDE K. TRIMAYUNI (Official Representative Kerjasama Kadin Amerika Selatan -Karibia/SACCHAM dengan Indonesia, alumni UI & LSE-Inggris, Ketua FOKAL UI)

Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan tentang BUMN Indonesia.

Sebagaimana diketahui,hari-hari ini publik mengikuti pemberitaan tentang BUMN Indonesia. Sorotan terhadap BUMN menyusul ditangkapnya Dirut Waskita Karya sebagai tersangka korupsi beberapa waktu yang lalu. Berita terbaru, muncul dugaan korupsi terkait dana pensiun BUMN. Satu persatu persoalan nampaknya mulai terkuak.

Apa yang sebenarnya terjadi di tubuh BUMN-BUMN kita? BUMN Karya yang sedang dipermasalahkan itu, deretan dugaan masalahnya mulai dari laporan keuangan yang "dipoles", kontrak-kontrak yang mencurigakan, dan akarnya sudah bisa ditebak, tata kelola yang salah. Dari pemberitaan kita lihat Kementerian BUMN cukup baik dan sigap agar kasus-kasus yang ada diproses secara hukum. Namun sebenarnya, masalah ini bisa sejak awal diantisipasi. 

Saya ingat percakapan guyonan (tetapi benar) dengan teman World Bank, kalo orang mau bikin proyek yang sulit diendus korupsinya, ya proyek infrastruktur. Kegiatan terkait infrastuktur rawan untuk dikorupsi, dimulai sejak proses perencanaan dan penganggaran proyek.
Saya tidak tahu bagaimana di dalam, tetapi hal-hal seperti ini sebenarnya bisa dicegah dengan proses due diligence yang ketat. 

Wajar kita prihatin terhadap BUMN. Ini mesti dilihat sebagai mekanisme kontrol masyarakat. Karena BUMN adalah perusahaan milik negara, milik rakyat. 

Jika kita zoom out dan kaji lebih jauh, pertanyaan esensial sesungguhnya adalah apakah BUMN kita sudah bisa dimaksimalkan untuk kesejahteraan rakyat (banyak). 
Lebih dalam ke akar, bagaimana BUMN mengemban tugas sesuai pasal 33 UUD. 

Memang selain BUMN, kita juga punya koperasi sebagai badan usaha rakyat. Namun eksistensi koperasi saat ini masih belum bisa diandalkan. Mesti dibahas secara tersendiri. Tetapi yang pasti, BUMN mestinya bisa menjadi mesin pewujud untuk mencapai kemakmuran rakyat, sebagai pengejawantahan pasal 33 UUD. Ini bukan sekedar wacana, tetapi karena negara lain sudah bisa melakukannya. Yang terdekat bisa kita ambil contoh Singapura dan China. BUMN mereka telah mampu menjadi tulang punggung untuk pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat, meskipun sistem yang mereka gunakan berbeda. Singapura lebih menjalankan bisnis negara secara profesional, kalau Cina dikontrol ketat negara. 

BUMN kita punya sistem sendiri yang berpedoman pada konstitusi. BUMN punya misi mulia dan penting untuk memperjuangkan perwujudan pasal 33 UUD. 

BUMN hendaknya meletakkan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat diatas segalanya. Daulat rakyat didahulukan dibanding daulat bisnis. Kepentingan dan kesejahteraan rakyat diatas kalkulasi market. Oleh karenanya sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak; bumi, air dan kekayaan di dalamnya harus dikelola oleh negara lewat BUMN. Tidak boleh swasta. Dan corak BUMN mesti tegas. Tidak boleh ada unsur privatisasi dalam BUMN dari hilir sampai hulu, apalagi jika menyangkut sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Ini mestinya menjadi  tugas dan perhatian serius BUMN. 

Saya ingat, dosen-dosen kami di LSE dulu. Mereka bilang, bicara tentang kebijakan dan program pada akhirnya Anda harus mengukur sejauh mana kebijakan atau program yang Anda buat berguna untuk orang banyak. Itu mesti jadi patokannya. Benefits for the people. LSE lewat akademisinya,  mungkin yang paling dikenal, Anthony Giddens, mengadvocate tentang The Third Way, Jalan Ketiga yang merupakan pemikiran alternatif diluar dikotomi kapitalisme dan sosialisme. 
Pemikir-pemikir hebat dunia, para pemenang Nobel dan kepala pemerintahan banyak yang menjadi profesor (tetap atau tamu) di LSE. Inilah salahsatu penyebab sehingga LSE diakui sebagai kampus terbaik di dunia untuk ekonomi politik. 

 Mereka menyimpulkan bahwa segala kerempongan sistem bernegara ini, pada akhirnya mesti diukur dari sejauh mana bisa berguna untuk rakyatnya. 

BUMN adalah mirip dari apa yang diungkapkan oleh para akademisi LSE tersebut. Perekonomian yang sektor-sektor vitalnya dikelola oleh negara adalah jalan tengah, jembatan penghubung kapitalisme dan sosialisme. 

Negara kita dengan sistem perekonomiannya, sesungguhnya sudah jauh lebih maju dari apa yang dikemukakan para ekonom dunia tersebut. Pendiri Bangsa Indonesia sudah secara sangat jenius memikirkan sistem ekonomi yang paling cocok untuk Indonesia, sebagaimana para pendiri bangsa tuangkan pada pasal 33 UUD 1945.
Dalam pelaksanaanya, BUMN adalah bentuk usaha yang dapat untuk mewujudkan social democracy ala Indonesia, dimana adanya satu konsepsi sosial, politik dan ekonomi nasional yang dapat mendukung tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Melihat kondisi BUMN kita saat ini, sudah saatnya untuk berbenah. Bagaimana BUMN bisa menjadi tulang punggung pencapaian pasal 33 UUD? Bagaimana tata kelola BUMN yang ideal? Apakah BUMN semestinya tidak diurus oleh sebuah Kementerian (Kementerian BUMN) namun lebih baik diurus oleh sebuah super holding seperti pernah disampaikan Ahok? Namun jika  ada super holding, sudahkah ada kesiapan perusahaan-perusahaan dibawahnya, holding, sub holding, dan seterusnya untuk mengikuti? Pun, jika Kementerian BUMN dibubarkan seperti masukan banyak ahli, pertanyaannya adalah apakah Kementerian BUMN hanya dianggap melakukan business as usual? Dimana kita mendudukkan peran kementerian ini sebagai lembaga  yang mestinya bisa memastikan sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara? Bagian kedua tulisan ini akan membahas lebih lanjut perihal ini. 

Pande K. Trimayuni (pande32@yahoo.com)

Artikel Terkait