Bisnis

Indonesia Harus Belajar Mengelola Gula dari Brazil

Oleh : very - Rabu, 25/04/2018 10:05 WIB

Rizal Ramli dengan Mas Ali Mahsun, Ketum Assosiasi Pedagang Kaki Lima, kawan-kawan Asosiasi Kaki lima mendukung RR agar segera membentuk Poros Rakyat (Petani, Buruh, Kaki Lima, Nelayan dll) utk mengubah Infonesia lebih adil & makmur. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Indonesia seharusnya belajar mengelola gula dari Brazil. Sebab, sudah terbukti bahwa negara yang dialiri oleh Sungai Amazon itu sukses mengelola produksi gulanya dengan baik.

Hal itu sebagaimana diutarakan ekonom senior, Rizal Ramli di kediamannya Kawasan Bangka, Jakarta Selatan (Senin, 23/4).

"Penghasilan terbesar itu bukan dengan jualan gula, tapi dari etanol buat bahan bakar, limbahnya buat listrik, baru terakhir dari jualan gula,” terang Rizal Ramli, yang biasa disapa RR ini.

Menko Ekuin di kabinet mendiang Presiden Abdurrahman Wahid ini merasa miris melihat nasib petani tebu di Indonesia akibat maraknya impor gula yang dilakukan pemerintah.

Data pemerintah menyebut, produksi gula oleh petani terus menurun. Seharusnya pemerintah bisa membuat 2 juta hektar lahan tebu di Sulawesi dan Papua.

Dengan belajar dari Brazil, menurut mantan penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini, petani tebu bisa sejahtera karena tidak bergantung dari penjualan gula saja.

"Kita bisa produksi etanol dari tebu, biar BBM kita nggak impor, 25 MW bisa dihasilkan dari limbahnya, baru terakhir jual gula,” jelas Rizal Ramli.

Dia menyebutkan bahwa dampak itu semua ialah akibat penerapan sistem neoliberalisme yang dominan dalam ekonomi Indonesia. Sehingga ketidakmajuan dan keterbelakangan serta kemiskinan tidak terus terjadi akibat salah sistem.

"Jadi otaknya itu jangan cuma impor-impor terus, dari dulu kok nggak belajar-belajar,” ujar RR.

Rizal Ramli mengatakan, dirinya paham betul permainan di kebun tebu dan pabrik gula.

Dikatakannya, produksi gula Indonesia terus menurun sejak diterapkan program Tebu Rakyat Intensifikasi pada akhir 1970an. Setiap musim panen, tebu ditebang rakyat pemilik kebun dan bonggolnya dibiarkan tetap tertanam karena dapat tumbuh tebu turunan tapi rendemennya menurun. 

Petani tebu rakyat membiarkan tebu tumbuh tanpa nengganti dengan bibit baru bahkan sampai 5 tahun. Musim tebang setahun sekali, sehingga rendemennya terus menurun.

Pada masa kolonial, dengan kebun milik pabrik gula, rendemen gula tebu dapat mencapai 13 persen. "Sekarang cuma 6-7 persen juga karena permainan merendahkan rendemen yang dilakukan pengurus KUD dan oknum pabrik gula. Yang dirugika petani tebu karena rendemennya direndahkan," ujarnya.

 

 
 

Artikel Terkait