Nasional

Selesaikan Kasus Papua, Jokowi Didorong Bentuk Utusan Khusus Presiden

Oleh : very - Rabu, 21/08/2019 18:35 WIB

Masyarakat Manokwari, Papua turun ke jalan melakukan protes terhadap rasialisme terhadap warga Papua di Jawa Timur. (Foto: Ant).

Jakarta, INDONEWS.ID -- Penyikapan pemerintah atas menguatnya rasisme terhadap warga Papua dan aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat, menggambarkan ketidakmampuan (unable) atau keengganan (unwilling) pemerintah untuk memahami Papua secara utuh dan mengatasi persoalan secara mendasar.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan, anjuran bersabar dan saling memaafkan serta seremoni pertemuan elit daerah bisa saja mendinginkan suasana dan membangun kondusivitas sementara di Papua.

“Tetapi, sepanjang persoalan mendasar Papua tidak di atasi, seperti ketidakadilan politik, ekonomi, sosial, dan klaritas sejarah integrasi Papua yang masih dipersoalkan sebagian warga Papua, maka potensi kekerasan, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan akan terus dialami warga Papua,” ujarnya di Jakarta, Rabu (21/8).

Seperti diketahui, Menkopulhukam, Wiranto (20/8) merencanakan untuk menambah pasukan TNI/Polri untuk mengatasi situasi di Papua. Menurut Ikhsa, rencana itu meruapakan gambaran kekeliruan dalam memahami Papua, yang justru berpotensi membuat kondisi semakin tidak kondusif. 

“Perspektif keamanan dan stabilitas negara yang dikedepankan pemerintah merupakan bentuk upaya pemantapan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan yang membatasi kebebasan warga. Pilihan melindungi obyek vital negara dibanding melindungi hak asasi warga Papua sama sekali tidak menunjukkan upaya pengutamaan keamanan manusia (human security),” ujarnya.

Rasisme dan stereotip pemberontak yang mengendap di kepala para pejabat Indonesia sangatlah destruktif, sehingga upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka pemulihan seharusnya berbasis pada keamanan manusia (human security), baik dari segi perspektif, pendekatan maupun praksis penyikapan.

Dalam human security, katanya, subjek atas keamanan bukan semata-mata negara (state oriented), melainkan manusia (human oriented), yang ditujukan untuk memastikan pemenuhan HAM, rasa aman dan keamanan warga Papua.

Karena itu, SETARA Institute mendorong Presiden Jokowi untuk meretas politik rekognisi kemanusiaan dan politik bagi warga Papua sebagai basis penanganan Papua secara holistik. Langkah ini bisa dimulai dengan membentuk dan mengutus Utusan Khusus Presiden (special envoy) ke Papua untuk membangun komunikasi konstruktif membangun sikap saling percaya dan memahami (mutual understanding) sebagai basis dialog Jakarta-Papua.

“Jalan dialog akan mengurangi konflik bersenjata antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) sekaligus meletakkan warga Papua sebagai subyek utama pengutamaan keadilan pembangunan berkelanjutan,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait