Daerah

Pemprov Jambi Sebut Karhutla Disebabkan oleh Pengelolaan Lahan Gambut yang Sulit Dikendalikan

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 24/09/2019 07:45 WIB

Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi Apani Saharudin (Foto: Tribunews.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Jambi sesungguhnya sesuatu yang rutin terjadi di setiap tahun. Bahkan, mulai dari tahun 1997 dan puncaknya pada 2015, sudah ada Karhutla di ribuan hektar lahan, tepatnya 19.005 ha dengan 521 titik hotspot.

Demikian disampaikan Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi Apani Saharudin di acara Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (Dismed FMB’9) dengan tema “Tanggap Bencana Karhutla” di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Senin (23/9/2019).

“Tren sesungguhnya kebakaran hutan di Jambi, pada tahun 2015 sangat luas lahan yang terbakar, tahun 2016 menurun, dan pada tahun 2017 lebih menurun lagi. Memang agak berbeda di tahun 2018 dan tahun 2019, agak lebih meningkat, bahkan sampai mencapai mencapai luas lahan 1972 ha,” ungkap Apani.

Menurut Apani, jika dilihat dari pantauan satelit NOA, hampir di seluruh wilayah Jambi ada titik spot api. Sedangkan dari pantauan satelit tera, kabupaten Muara Jambi yang memiliki banyak hotspot.

“Kabupaten Muara Jambi adalah wilayah yang terdekat dengan Kota Jambi sehinga dampaknya sangat terasa di Kota Jambi sebagai pusat pemerintahan dan aktivitas masyarakat,” jelas Apani.

Kemarin, Apani menjelaskan, penerbangan sempat terganggu oleh asap yang menutupi sejumlah wilayah di wilayah Jambi. “Namun hari ini sudah berjalan lancar lagi. Penerbangan sudah sesuai jadwal biasanya,” ujar Apani.

Untuk Kabupaten Tanjab Timur, Apani menjelaskan, juga memiliki banyak hotspot. Karena lahannya memang memiliki banyak lahan gambut. Pengelolaan lahan gambut sampai saat ini memang sulit untuk dikendalikan.

“Satu sisi kita butuh investasi di perkebunan, salah satunya di lahan dan hutan gambut. Namun di sisi lain, dengan adanya usaha perkebunan dengan membuat sekat-sekat kanal yang merupakan transportasi di perkebunan untuk mengangkut buah, ini yang menjadi simalakama yang kami hadapi,” jelas Apani.*(Rikardo)

Artikel Terkait