Nasional

Alumni Fakultas Ilmu Sosial UNJ Gelar Seminar Pemberantasan Korupsi Siang Ini

Oleh : very - Jum'at, 18/10/2019 12:29 WIB

Para pengurus Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (IKA FIS UNJ). (Foto: http://ika.unj.ac.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara tak luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon kepala negara untuk memberantas korupsi.

Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat. Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan para koruptor.

Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (IKA FIS UNJ), Rasminto mengatakan, komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.

“Pada tahun 1970, Presiden Soeharto pernah menyatakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Saat itu, Soeharto menyatakan hal tersebut bertepatan dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI dan menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi. Pemerintahan saat itu sempat menerbitkan Keppres No. 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (18/10).

Seiring dengan berjalannya waktu, tim tersebut tidak berhasil melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini justru mengundang berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya "Komisi 4". Komisi tersebut bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.

Pada tahun yang sama, mantan Wakil Presiden RI Bung Hatta memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim tersebut masih terbilang muda. Hatta juga merasakan bahwa cita-cita pendiri bangsa telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda.

Masa Orde baru dapat dibilang masa yang paling banyak mengeluarkan peraturan soal pemberantasan korupsi karena masa pemerintahannya juga panjang. Kendati banyak mengelurkan peraturan-peraturan, tidak banyak yang dapat berlaku efektif untuk memberantas korupsi.

Pada pidato di hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto juga mengeluarkan UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan tersebut menyatakan bahwa akan diterapkan pidana penjara maksimum seumur hidup dan denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang masuk kategori korupsi.

“Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Tetapi, pelaksanaan GBHN ini bocor lantaran pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali. Organ-organ negara seperti parlemen yang mempunyai fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tidak ada lagi,” ujarnya.

Setelah masa Orde Baru tumbang, muncullah pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid tersebut, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Gus Dur lalu membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Saat itu, Gus Dur mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret dalam penegakan hukum korupsi. Pada saat itu, banyak koruptor kelas kakap yang berhasil ditangkap untuk diperiksa dan dijadikan tersangka.

Pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, ada berbagai kasus korupsi yang muncul dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat.

Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pada pemerintahan saat itu lantaran banyak BUMN yang ditengarai banyak melakukan korupsi tetapi tidak dapat dituntaskan. Misalnya adalah korupsi di BULOG. Walupun kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang berwenang mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati lalu membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas buntunya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada saat itu. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kini, dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla dan massa bakti anggota parlemen DPR RI akan berakhir, terjadi sebuah polemik yang seakan-akan mengebut pengesahan RUU KPK. Sehingga tiba saatnya pada tanggal 19 September 2019, DPR RI dalam sidangnya mengetuk palu pengesahan RUU KPK menjadi UU KPK. Dari sanalah buntut permasalahan terjadi membuat keresahan bagi kelompok anti rasuah melakukan berbagai penolakan dengan berbagai cara, yang hingga kini membuat gelombang aksi demonstrasi dari elemen mahasiswa dalam penolakan UU KPK tersebut.

Oleh karena itu, perlu saluran-saluran dialogis kepada masyarakat terutama civitas akademika untuk dapat memahami secara komprehensif polemik revisi UU KPK itu secara substantif maupun politis.

“Karena itulah IKA FIS UNJ menginisiasi penyelenggaraan dialogis polemik KPK yang dilaksanakan di Fakultas Ilmu Sosial berupa kegiatan dialog publik sebagai upaya memberikan diseminasi publik terkait urgensi UU KPK dalam penguatan institusi KPK sebagai wadah pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujarnya.

Diskusi tersebut, katanya, digelar pada hari Jumat (18/10) di Aula Utama Gedung Dewi Sartika UNJ pada pukul 13.30, yang menghadirkan narasumber yaitu Prof. Dr. Romli Atmasasmita (Pendiri/ Tim Perumus UU KPK), Dr. Firman Wijaya, SH.,MH, Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Krsinadwipayana, Drs. Suhadi, M.Si, Dosen PPKN UNJ, Victor Santoso Tandiasa, SH.,MH, Lawyer Constitutional, dan moderator Dr. Rahmatullah, M.SI.

Diskusi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada civitas akademika UNJ tentang urgensi revisi UU KPK RI dan meningkatkan literasi pemberantasan korupsi kepada civitas akademika UNJ. “Juga untuk menanamkan nilai-nilai permusyawaratan dan dialogis dalam menyelesaikan permasalahan berbangsa dan bernegara,” pungkas Rasminta. (Very)

Artikel Terkait