Politik

Persoalan DPT Dapat "Melumpuhkan" Legitimasi Dan Kualitas Pemilu 2019

Oleh : very - Minggu, 31/03/2019 16:01 WIB

Girindra Sandino, Wasekjend KIPP Indonesia. (Foto: Ist)

Girindra Sandino *)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Daftar Pemilih Tetap (DPT) merupakan elemen paling dasar dari penyelenggaraan pemilu, sehingga jika tidak ada daftar pemilih, artinya tidak ada pemilu sebagai sarana pengejawantahan kedaulatan rakyat. DPT sebagai realisasi hak pilih warga negara dalam Pemilu merupakan hak politik yang dijamin oleh konstitusi, yakni UUD  1945. Hak pilih warga negara adalah sebuah penghormatan yang menjungjung tinggi hak asasi manusia. Pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau penjaminan terhadap HAM dan hak-hak-hak warga Negara (citizen’s rights) atau hak-hak konstitusional warga Negara (the citizen’s constitusional rights) dapat terlaksana. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Hak Politik warga Negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih, penjamin hak dipilih secara tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3). Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945.

Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR pada 28 Oktober 2005 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang disertai dengan Deklarasi terhadap Pasal 1 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Jika dijabarkan hak sipil dan politik itu meliputi:  1. Hak Hidup; 2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi; 3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa; 4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; 5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah; 6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum; 7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama; 8.Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi; 9. Hak untuk berkumpul dan berserikat; 10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.

Belum lagi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, menegaskan bahwa bahwa “Setiap warga negaraberhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.  Ketentuan pasal di atas jelas menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara Indonesia itu sendiri untuk melaksanakan hak memilihnya.

Oleh karena itu, jangan main-main dan menganggap sepele persoalan DPT. Laporan temuan Kubu Capres-Cawapres No Urut 02, tentang adanya ketidakberesan sekitar 17,5 juta DPT dalam Pemilu 2019 harus menjadi perhatian semua pihak. Hal ini bukan saja teriakan kubu 02 menguntungkan mereka sendiri, akan tetapi begitupun kubu 01, memiliki kepentingan yang sama terhadap masasalah temuan belasan juta penyimpangan DPT tersebut. Perlu diketahui dahulu bahwa tulisan ini, tidak berangkat dari keberpihakan ke salah satu kubu, akan tetapi pada persoalan yang jauh lebih besar, yakni kepentingan bangsa dan negara dalam berdemokrasi.

Dalam Temuan Laporannya, Tim 02, menemukan file tidak wajar dalam DPT soal bertanggal lahir, 01/07 sejumlah 9.817.003, bertanggal lahir 31/12 sejumlah 5.377.401, dan bertanggal lahir 01/01 sejumlah 2.359.304. sehingga totalnya sebesar 17.553.708.

Adapun kejanggalan pada usia 90 tahun ke atas sebanyak 304.782. Kejanggalan usia 17 tahun ke bawah sebanayak 20.475

Temuan lain lagi adalah manipulasi Kartu Keluarga (KK), seperti temuan di Banyuwangi, biasanya dalam satu KK berisi 2 sampai dengan  orang atau lebih, namun faktanya pada DPTHP2 Desember ditemukan da;am 1 KK 440 bhakan 1800 pemilih.

Kemudian data invalid di 5 Provinsi yakni Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat,  dan Banten dengan total dari 5 provinsi tersebut 18.831.149. Ada 12 kriteria pemilih invalid:

  1. KK/NIK <> 16 Digit
  2. KK/NIK di luar Provinsi
  3. KK/NIK di luar Kode kab/Kota
  4. KK/NIK di luar kode kecamatan
  5. KK Di luar Dapil Provinsi
  6. KK Di luar Dapil Kab/Kota
  7. KK Lintas Kecamatan
  8. Tanggal NIK tidak sesuai Format tanggal
  9. Tanggal lahir tidak sesuai NIK
  10. KK Manipulatif, Tanggal/Bulan Error
  11. KK Manipulatif, terbit setelah penetapan
  12. KK Sebeleum E-KTP

Temuan Rekap Pemilih Ganda di lima provinsi, yakni, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Banten dengan total ditemukan DPT ganda di 5 provinsi tersebut sebesar 6.169.895 (dengan 12 kriteria pemilih ganda).

Sebagai informasi, Nomor Induk Kependudukan  atau NIK adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk IINDONESIA. NIK berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh Pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah dilakukan pencatatan biodata. NIK pertama kali diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan ketika Institusi Pemerintah ini menerapkan sistem KTP nasional yang terkomputerisasi.

Sementara NIK terdiri dari 16 digit. Kode penyusun NIK terdiri dari 2 digit awal merupakan kode provinsi, 2 digit setelahnya merupakan kode kab/kota, 2 digit sesudahnya kode kecamatan, 6 digit selanjutnya merupakan tanggal lahir dalam format hhbbtt (untuk wanita tanggal ditambah 40), lalu 4 digit terakhir merupakan nomor urut yang dimulai dari 0001. Sebagai contoh, misalkan seorang perempuan lahir di Kota Bandung tanggal 17 Agustus 1990 maka NIK-nya adalah: 10 50 24 570890 0001. Apabila ada orang lain (perempuan) dengan domisili dan tanggal lahir yang sama mendaftar, maka NIK-nya adalah 10 50 24 570890 0002. Apabila ada orang lain (laki-laki) dengan domisili dan tanggal lahir yang sama mendaftar, maka NIK-nya adalah 10 50 24 170890 0001.

NIK dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan KTP, SIM, NPWP, dan penerbitan dokumen identitas lainnya.

Temuan-temuan mengenai amburadulnya DPT Pemilu 2019, bukan saja kepentingan satu pihak, akan tetapi kubu lain juga dirugikan, para peserta pemilu dan yang terpenting adalah jaminan hak konstitusional warga negara berupa hak pilih  dapat hilang, tidak dapat digunakan, jika tidak ada langkah-lanhkah serius yang konkret.

Berikut ini beberapa pandangan kami 7 (Seven) Strategic Studies tentang kasus DPT ini:

Pertama, hal ini bukan lagi soal keberpihakan terhadap kubu satu dan yang lainnya, ketika semua elemen – tidak semua – rata-rata “diam” untuk mengamplifikasi persoalan DPT yang sangat seius ini. Sebagai kaum demokratik yang mengaku memegang prinsip independensi maka sudah seharusnya ikut bahu-membahu dalam menyelesaikan permasalahan DPT temuan dari kubu 02 yang sudah diakui secara resmi oleh KPU sendiri, oleh karena ini sudah menyangkut permasalahan kehidupan demokrasi sebuah bangsa yang besar.

Kedua, KPU sendiri telah mengakui bahwa sulit untuk menyelesaikan persoalan DPT yang jumlahnya jutaan. Mengutip Republika.co.id, Rabu 27 Maret 2019, yang berjudul: KPU Sebut Pengecekan 17,5 Juta DPT Bermasalah Perlu Waktu. Yang jelas dalam Komisi Pemilihan Umum mempunyai tugas dan Kewajiban yang ditegaskan dalamPasal 12 dan Pasal 14 UU No. 7/2017 tentang Pemilu, yakni melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Secara yuridis, tidak ada instansi pemerintahan atau lembaga negara yang dapat dituntut bertanggungjawab atas penyusunan dan penetapan DPT selain KPU dengan segenap jajarannya.

Keempat, KPU harus dengan segera melakukan langkah-langkah cepat untuk mengatasi persoalan DPT ini, termasuk apakah Coklit dilakukan secara faktual atau tidak, , kemudian metode apa yang digunakan, jika menggunakan sampling, yang seperti apa. Hal-hal seperti ini harus disampaikan ke publik. Oleh karena pemenuhan hak rakyat atas informasi pemilu adalah bagian penting realisasi kedaulatan rakyat yang tidak dapat diabaikan dan merupakan parameter untuk mengukur tingkat keberhasilan penyelenggara pemilu.

Kelima, jika temuan-temuan semrautnya DPT ini merupakan data-data yang validitasnya tinggi, maka tidak tertutup kemungkinan persoalan DPT ini diduga ke depan sebagai penyumbang terbesar kecurangan pemilu, yakni penggelembungan suara. Oleh karena itu, bagi peserta pemilu yang emmpersiapkan saksi-saksinya untuk jeli dan cermat dalam mengawasi proses jalannya peemungutan dan penghitungan suara. Misal harus mengetahui secara rinci tugas PPS, dank e tujuh Anggota KPPS. Misal terus memperhatikan  KPPS keeempat rawan, karena tugasnya meminta pemillih menunjukkan e-KTP atau identitas lain sebagai syarat memilih, memeriksa kesesuaian pemilih dengan form C6, memeriksa kesesuaian nama pemilih (NIK harus diperhatikan untuk menghindari pemilih ganda), termasuk memeriksa jika terdapat pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb.

Keenam, di lapangan saat pemungutan dan penghitungan suara, baik saksi, pengawas TPS, pemantau, dan masyarakat untuk mnedokumentasikan C1 Plano, video atau foto. Mencermati sejumlah suara tidak sah, jumlah seluruh suara tidak sah, dan jumlah seluruh suarah sah dan suara tidak sah. Masih dalam Form C1 Plano, contoh, soal Data Pemilih (jumlah pemilih dalam DPT, DPTb dan DPK, yang kemudian dijumlah keseluruhan), Pengguna Hak Pilih (jumlah pengguna Hak pilih DPT/C7.DPT-KPU, pengguna hak pilih DPTb/C7 DPTb, jumlah pemilih DPK/C7. DPK-KPU). Kemudian mengecek data penggunaan surat syara pad C1 Plano. Selanjutnya jumlah seluruh suarah sah. Jumlah suara tidak sah dan jumlah suara sah dan suara tidak sah.

Ketujuh, Soal sanski pidana dalam Pasal 488 UU No 7/2017 tentang Pemilu, disebutkan:“setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian dafar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (sattr) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”

Dalam Pasal 510 UU Pemilu pun ditegaskan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.OOO.OOO,O0 (dua puluh empa.t juta rupiah).”

Selanjutnya Pasal 512 UU Pemilu, menyatakan bahwa, “setiap anggota KPU, KPU Provinsi, KPU lbbupaten/Kota, PPK, PPS, dan/atau PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Frovinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/ Desa, dan/ atau Panwaslu LN dalam melakukan pemutakhiran data Pemilih, penyusunan dan pengumunran daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, daftar pemilih khusus, dan/atau rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat l2l, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluhenam juta rupiah).”

Sehingga da;am hal ini jelas, jika ada kesengajaan atau pembiaran, maka selain pelanggaran  kode etik juga  sudah masuk ranah pidana.

Ke delapan, dalam perspektif hak asasi manusia, kesengajaan atau kelalaian yang mengakibatkan hak pilih warganegara tidak dapat diwujudkan, adalah pelanggaran hak sipil dan politik yang sudah diatur dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

UU HAM misalnya, dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, menegaskan bahwa bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kesepuluh, KPU harus dituntut bertanggungjawab secara kelembagaan atas kekisruhan DPT yang bukan sekadar ‘ketidakteraturan administratif’ (administrative irregularities) akan tetapi juga pelanggaran hak konstitusional warganegara untuk memilih, bahkan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, jika melakukan pembiaran dan upaya yang tidak maksimal.

Kesebelas, harus ada langkah konkret yang segera, sehingga tidak hanya mengandalkan tim tehnis saja. Mulai dirancang dengan memadukan manajemen elektoral dengan manajemen kependudukan.Tahap awal perlu dibentuk sebuah Badan untuk melakukan koordinasi pendataan kependudukan dan data pemilih yang terdiri dari 4 (empat) unsur yakni BPS, Dirjen Administrasi Kependudukan serta Sekretariat Jenderal KPU serta Bawaslu RI.

Keduabelas, pengakuan dan realisasi hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilu merupakan salah satu ciri pokok demokrasi yang secara nasional telah dijamin dalam UUD 1945 serta sejumlah perundang-undangan antara lain UU Hak Asasi Manusia serta UU tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Ketigabelas, proteksi konstitusional dan yuridis atas hak-hak strategis tersebut di atas harus menjadi komitmen dan pedoman bagi Pemerintah serta lembaga negara, penegak hukum, serta pranata-pranata demokrasi tanpa kecuali.Penegasian atas hak asasi manusia yang fundamental itu akan merusak sendi-sendi demokrasi yang sudah dibangun. Jangan sampai persoalan DPT ini menjadi sebuah pelecehan kedaulatan rakyat dalam bentuk pengabaian hak-hak fundamental pemilih, yang dapat “melumpuhkan” legitimasi dan kualitas Pemilu 2019.

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif 7 (Seven) Strategic Studies/Wakil Sekjend KIPP Indonesia

Artikel Terkait