Nasional

Membaca Pertikaian Pandangan Antara Menhan dengan Menkopolkam-Kapolri

Oleh : very - Sabtu, 01/06/2019 15:01 WIB

Membaca perbedaan pandangan di antara para Menteri. (Foto: Ilustrasi)

 

Jakarta, INDONEWS.ID – Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu meyakini senjata yang dikirim dari Aceh untuk mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) Mayor Jenderal Soenarko, bukan senjata selundupan. Hal itu, kata dia, tak terlepas dari jejak panjang Soenarko bertempur di lapangan.

"Saya rasa bukan penyeludupan ya. Senjata sudah ada dari dulu. Kan dia perang terus itu orang. Timor Timur, di Aceh, mungkin senjata rampasan di situ," kata Ryamizard saat ditemui di Komplek Istana Negara, Rabu, 29 Mei 2019.

Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto menyebut, penangkapan terhadap Soenarko disebabkan dua persoalan. Pertama karena dugaan melakukan provokasi dan mengadu domba prajurit TNI. Kedua, Soenarko diduga menyelundupkan senjata api dari Aceh.

"Ada juga keterkaitan dengan senjata gelap yang dari Aceh, yang kemudian diindikasikan diduga diminta oleh yang bersangkutan untuk sesuatu maksud tertentu yang kita tidak tahu. Tapi itu tentu melanggar hukum," ujar Wiranto.

Menyikapi polemik itu, pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam mengatakan, naga-naganya, Presiden Jokowi harus mengajari atau mengursuskan para Menteri-nya untuk belajar komunikasi publik. “Supaya mereka tak saling serang tentang masalah kebijakan strategis atau sensitif di muka umum,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (31/5).

Menurut Hikam, pertikaian pendapat antara Menhan, Ryamizard Ryacudu, di satu pihak, dengan Menkopolhukam, Wiranto dan Kapolri, M. Tito Karnavian, di pihak lain, terkait masalah pemilikan senjata illegal dan ancaman pembunuhan beberapa pejabat tinggi Negara, adalah contoh sebuah pameran disharmoni dalam komunikasi publik.

“Apapun alasan Menhan, hemat saya, tidak layak baginya untuk membantah hasil penyelidikan dan penyidikan aparat kepolisian hanya dengan alasan kenal lama dengan pihak yang menjadi tersangka. Seharusnya Menhan, jika tidak setuju dengan temuan pihak yang berwenang, bisa membawa masalah tersebut kepada sidang Kabinet. Di sana bisa diperdebatkan di depan Presiden Jokowi, yang merupakan boss dari para menteri dan Kapolri serta Panglima TNI,” ujarnya.

Membawa ketidaksetujuan pribadi ke ranah publik seperti ini, kata Hikam, bukan saja tidak membantu Presiden, tetapi juga mencederai trust beliau yang menugasi untuk bekerja sesuai dengan tupoksi. “Lebih jauh sikap Menhan, menurut saya, juga tidak memberikan pelajaran yang baik bagi publik, tentang bagaimana bekerja yang profesional, sinergis, dan prosedural,” ujarnya.

Mantan Menteri Negara Ristek pada era Presiden Gus Dur ini mengatakan, pemerintah Presiden Jokowi sedang menghadapi sebuah masalah stabilitas politik dan keamanan pasca-Pemilu 2019, yang diakibatkan oleh munculnya pihak-pihak yang tak puas dengan hasil Pilpres dan menolaknya dengan menggunakan cara-cara yang dapat membahayakan kamnas. Dalam situasi seperti ini Pemerintah mestinya solid menghadapinya dan bekerjasama secara sinergis bersama rakyat Indonesia yang menginginkan kedamaian dan keberlanjutan kehidupan demokrasi.

“Hal yang paling tidak diinginkan terjadi dalam kondisi seperti ini adalah pertikaian internal di dalam lingkaran terdalam di Istana hanya karena disebabkan adanya sentimen-sentimen pribadi dan kepentingan kelompok. Sangat menggiriskan!,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait