Nasional

Mahfud MD Minta Kapolri Lakukan Penegakan Hukum Terhadap Mafia Tanah di Batu Ampar

Oleh : very - Rabu, 25/10/2023 19:01 WIB

Menko Polhukam, Mahfud MD. (Foto: Ist)

 

JAKARTA, INDONEWS.ID - Perjuangan warga Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali mendapat titik terang. Pasalnya, surat pengaduan yang dilayangkan pada tanggal 18 Januari 2023 lalu kini telah direspon oleh Kelompok Kerja (Pokja) Intelijen Satgas Saber Pungli Pusat Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) pada Rabu (18/10/2023).

Surat yang ditandatangani oleh Menkopolhukam, Mahfud MD itu merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Lastyo Sigit Prabowo terkait dugaan pungli dan penyalahgunaan wewenang dalam sengketa tanah.

Dalam rekomendasinya, Mahfud meminta Mendagri agar memberikan pendapat hukum terkait produk-produk hukum yang berkaitan dengan pertanahan selama periode kewenangan urusan agraria menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri.

Sementara untuk Menteri ATR/BPN RI, Mahfud memberi dua rekomendasi. Antara lain, Mahfud meminta kepada ATR/BPN supaya mengadakan kajian secara komprehensif melibatkan praktisi pertanahan, akedemisi, stake holder, dan masyarakat terkait permasalahan di bidang agraria.

Hal tersebut kata Mahfud dalam rangka menghadirkan solusi strategis yang tepat guna dan berhasil guna dalam penyelesaian permasalahan pertanahan, sehingga semua bidang tanah di wilayah Indonesia dapat tersertifikasi.

"Melakukan investigasi menyeluruh terhadap semua pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap permasalahan sengketa tanah di Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, sehingga dapat dihadirkan solusi yang memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak," tegasnya.

Sedangkan kepada Kapolri, Mahfud merekomendasikan agar melakukan penegakan hukum terhadap para oknum pejabat dan mafia tanah yang bermain khususnya pada sengketa lahan di Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

"Serta di daerah-daerah lain pada umumnya, demi tercapainya kepastian hukum yang memenuhi rasa keadilan," bebernya.

"Kepada para pimpinan tinggi Kementerian/Lembaga sebagaimana disebutkan dalam butir- butir rekomendasi diatas, mohon kiranya dapat menginformasikan pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi kepada Menko Polhukam," tegasnya.

 

Terima Surat

Kementerian ATR/BPN pun mengaku telah menerima surat dari Mahfud. Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar Lembaga (PHAL) Biro Humas Kementerian ATR/BPN, Risdianto Prabowo Samodro pada Rabu (25/10/2023).

"Baru diterima hari ini. Suratnya baru masuk kemarin (Selasa, 24/10/2023-red)," kata Risdianto kepada wartawan melalui pesan whatsapp.

Menurut Risdianto, pihaknya masih menanti disposisi dari Menteri terkait tindak lanjut surat tersebut. Pihaknya akan terus memberikan Informasi apabila telah dilakukan pendalaman. "Menunggu disposisi Pak Menteri dulu. Nanti saya update kembali," tegasnya.

Warga Batu Ampar memberikan kuasa penuh kepada aktivis Nyoman Tirtawan untuk mengurus kasus tersebut. Nyoman yang pernah menyelamatkan dana Pilgub Bali 2018 berjumlah Rp98 miliar Itu kerap melakukan demonstrasi menuntut hak 54 warga Batu Ampar.

Terakhir Tirtawan bersama warga datang ke Jakarta dan berdemo di sekitaran Patung Kuda, Jakarta Pusat, pada tanggal 20 Desember 2022. Upaya tersebut pun kini mendapat atensi dari Menkopolhukam.

Berdasarkan kutipan dokumen dari Mahfud MD, tanah yang berlokasi di Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng, Prov. Bali adalah tanah negara yang pada awalnya telah dikuasai dan di garap oleh 55 orang warga Batu Ampar sejak Tahun 1959 secara terus menerus, terbuka dan dengan itikad baik.

Pada Tahun 1976 terbitlah HPL No. 1 Tahun 1976 Desa Pejarakan atas nama Pemkab Buleleng seluas 450.000 M² dengan lamanya hak selama digunakan untuk proyek pengapuran, dengan demikian HPL akan berakhir pada saat proyek pengapuran dihentikan.

Dalam hal penguasaan tanah tersebut masing-masing warga Batu Ampar memiliki bukti pembayaran pajak SPPT PBB atas bidang tanah yang dikuasai, meskipun SPPT PBB bukanlah bukti kepemilikan tanah. Namun hal tersebut dapat dijadikan dokumen pendukung dalam kelengkapan berkas tanah.

Setelah HPL No. 1 Tahun 1976 tidak dimanfaatkan lagi untuk proyek pengapuran, maka sejak tahun 1980 warga kembali memohon hak atas tanah yang sebelumnya telah mereka kuasai sejak Tahun 1959 kepada Bupati Buleleng, Gubernur Bali dan Menteri Dalam Negeri, sehingga terbit SHM di atas HPL No. 1 Tahun 1976 yaitu SHM No. 229 an. Ketut Salim tanggal 13 Maret 1982 (SK Gub. TK I Bali No. 129/HM/DA/BLL/1982), SHM No. 240 an. Marwiyah tanggal 13 Maret 1982 (SK Gub. TK I Bali No. 140/HM/DA/BLL/1982).

Dengan terbitnya sertifikat hak milik menunjukkan bahwa telah terjadi tumpang tindih hak atas tanah di atas cks HPL No. 1 Tahun 1976 yang diklaim oleh Pemkab Buleleng sebagai aset daerah dengan sertfikat pengganti HPL No. 1 Tahun 2020.

Diterbitkanya SK Bupati Buleleng Nomor 203.A Tahun 1989 tentang Penunjukan Perusahaan Daerah Swatantra Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng untuk mengurus dan mengelola kawasan Batu Ampar di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, terkesan mengesampingkan SK. Mendagri Nomor 171/HM/DA/82 tanggal 8 Desember 1982.

Kemudian Putusan PN Singaraja Nomor 59/PDT.G/2010/PN.SGR tanggal 12 Juli 2010 yang menyatakan bahwa "Tanah sengketa adalah sah sebagai tanah Negara bebas, yang telah dikuasi dan dikerjakan oleh para penggugat yang dipergunakan untuk tanah pertanian sejak dari sebelum tahun 1960 dan/atau telah dikuasi selama 20 (dua puluh) tahun lebih secara berturut-turut dengan terbuka dan dengan itikad baik. Sehingga patut diduga terjadi pelanggaran hukum berupa penyerobotan lahan milik warga Batu Ampar, yang dampaknya terjadi pengusiran paksa kepada warga Batu Ampar.

Pencatatan aset tanah oleh Pemkab Buleleng yang menjadi obyek sengketa pada Tahun 2015 dengan nilai pembelian nol (0) rupiah yang menggunakan alas hak sertifikat HPL No.1 Tahun 1976 yang kemudian diganti dengan HPL No. 1 Tahun 2020 terdapat adanya kejanggalan.

Mengingat bahwa lamanya pemberian HPL adalah selama peruntukkanya digunakan sebagai proyek pengapuran, dan faktanya proyek pengapuran berakhir sekitar tahun 1980, oleh karena itu terbitlah sertifikat SHM a.n. warga dan SK Mendagri Nomor 171/HM/DA/82. ***

Artikel Terkait