Politik

Pembentukan Grand Coalition Harus Disertai Disiplin Fraksi di Parlemen

Oleh : very - Minggu, 28/07/2019 18:10 WIB

Direktur Eksekutif Indonesian Democratic Center fort Strategic Studies (Indenis), Girindra Sandino (tengah). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID -- Menarik untuk disimak pertemuan-pertemuan para elit politik di tengah pembahasan anggota kabinet, Ketua MPR dan DPR akhir-akhi ini.

Direktur Eksekutif Indonesian Democratic Center fort Strategic Studies (Indenis), Girindra Sandino mengatakan, ada beberapa alasan yang perlu dicermati dari pertemuan tersebut.

Pertama, pertemuan antara Jokowi dan Prabowo, serta Megawati dan Prabowo membawa angin segar politik tanah air yang sebelumnya berlawanan keras di Pilpres 2019 bahkan sempat memecah belah masyarakat Indonesia. Di samping sebagai upaya rekonsiliasi, pertemuan tersebut juga tidak dapat dipungkiri memiliki kepentingan politik jangka panjang demi stabilitas jalannya roda pemerintahan.

“Pertemuan tersebut merupakan langkah awal membentuk pemerintahan kuat. Khususnya Indonesia saat ini yang menganut sistem presidensial-multipartai. Pembentukan grand coalition dalam istilah literatur ilmu politik yang digagas Arend Lipjhart perlu dijajaki oleh elit politik parpol. Yakni koalisi yang dibentuk dengan melibatkan banyak partai di Parlemen. Ini yang terbaca dari manuver elit politik saat ini, walau banyak penentangan di internal koalisi,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (28/7). 

Kedua, dalam perjalanan pembentukan koalisi partai-partai besar dengan grand coalition akan diikuti minimal connected coalition atau kesamaan dalam preferensi kebijakan artinya terdiri dari partai-partai yang sama dalam skala kebijakan dan meniadakan partner yang tidak penting. Asumsi koalisi partai, memiliki tujuan "policy seeking” atau memaksimalkan kebijakan sesuai kepentingan partai.

“Maka grand coalition yang akan berproses menuju minimal connected coalition jika terbentuk, akan memperkuat loyalitas peserta koalisi partai karena diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan. Partai-partai seperti Golkar, PKB, Nasdem, PAN, Demokrat, PPP akan mengikuti grand coalition tersebut,” ujarnya.

Ketiga, dalam sistem presidensialisme di Indonesia yang berlegitimasikan ganda (Presiden dan Legislatif masing-masing dipilih langsung), Presiden dapat berfungsi ganda yaitu membuat multipartai sederhana di parlemen dan sekaligus menyebabkan sistem kepartaian berfragmentasi luas.

Keempat, Presiden sebagai pemicu multipartai sederhana dalam parlemenPengalaman Uruguay, Bolivia dan Chile misalnya bisa dijadikan rujukan dimana bahwa multipartai sederhana bisa juga membuat pemerintahan tidak efektif dan kuat.

Girindra mengatakan, untuk itu manuver elit parpol besar pemenang mengarah untuk mengkooptasi parlemen dengan tujuan tertentu. Oleh karena dapat menekan parpol atau koalisinya sendiri supaya tidak menjadi ganjalan di parlemen kelak. Pun dengan mengkooptasi non—parlemen.

Hal ini, katanya, dapat dilakukan Presiden dengan mengangkat tokoh-tokoh masyarakat non-parlemen (misal menteri dari kalangan profesional) demi simpati masyarakat menjadi anggota kabinet, atau membentuk anggota tim-tim efektif agar bisa menekan parpolnya atau koalisinya sendiri agar pemerintahan tidak mendapat hambatan yang kerap dilakukan oleh orang atau koalisinya sendiri.

“Oleh karena presiden yang punya hak untuk mengangkat anggota kabinet tanpa persetujuan parlemen. Dengan begitu pembentukan Grand coalition untuk menstabilkan roda pemerintahan yang didukung disiplin fraksi di parlemen merupakan langkah strategis demi terciptanya pemerintahan yang kuat sesuai komposisi perolehan kursi parpol-parpol,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait