Bisnis

Rifky Effendi Hardijanto: Indonesia Darurat Energi

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 28/11/2019 16:30 WIB

Staf Ahli Direktur Logistic Supply Chain & Insfrastructur Pertamina Rifky Effendi Hardijanto (Foto: Rikard Djegadut/Indonews.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Staf Ahli Direktur Logistic Supply Chain & Insfrastructur Pertamina Rifky Effendi Hardijanto mengatakan Indonesia saat ini darurat energi. Ia menilai, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, Indonesia harus mengimpor karena stok BBM dalam negeri hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri selama 12 hari. 

Kondisi ini, Rifky menambahkan berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia pada dekade 1970an dan 1980an. Pada dekade itu, lanjutnya, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak dan sebagian besar APBN bersumber dari minyak. Indonesia pun menjadi negara eksportir minyak.

Saat ini, Rifki mengungkapkan kondisi ketahanan energi Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan hanya cukup untuk 12 hari. Padahal idealnya, menurut International Energy Agency (IEA), stok BBM sebuah negara harus bisa mencukupi kebutuhan selama 90 hari.

"Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang bahkan memiliki stok BBM lebih dari 90 hari. Sekarang Thailand dan Vietnam menuju ke sana,” ujar Rifky saat menjadi pembicara dalam diskusi publik yang digelar Indonews.id di Balai Sarwono, Kemang Jakarta Selatan, Rabu (27/11/19).

Risky menilai, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kondisi energi Indonesia saat ini memang sangat darurat mulai dari sisi hulu (upstream) hingga sisi hilir (downstream) dan makin ke sini, level stok atau yang dikenal dengan sebutan coverage day (CD) trennya selalu terus menurun.

Risky mengatakan, padahal sebelum Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998, stok BBM di Pertamina cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 35 hari.

Maka dari itu, Rifky menyarankan agar pemerintah segera melakukan peningkatkan level stok BBM ini, dengan cara meningkatkan kapasitas kilang di dalam negeri agar tidak lagi impor BBM.

Namun persoalannya, kapasitas kilang di Indonesia hanya mampu memproduksi 1,1 juta barel per hari. Sementara kebutuhan BBM kita lebih tinggi yaitu sekitar 1,6 juta barel per hari.

“Memang satu per satu presiden sebetulnya sudah mengambil kebijakan. Presiden tahun 2015 sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 176 yang intinya adalah mendorong pembangunan kilang di Indonesia,” ujarnya.

Pertamina pun sudah memiliki program Refinery Development Master Plan (RDMP) untuk meningkatkan (upgrade) kapasitas kilang yang ada dari 1,1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari.

“Meskipun sudah ada Perpres, ternyata progress dari percepetaan ekseksui ini yang lamban,” ujarnya.

Saat ini, menurutnya progress pengembangan kilang Balikpapan baru mencapai 9%. Sedangkan, pengembangan kilang Cilacap yang bekerja sama dengan perusahaan migas Arab Saudi, Aramco hingga kini belum jadi-jadi.

Bila program RDMP Pertamina ini berhasil, maka tahun 2023 kapasitas kilang di Indonesia meningkat menjadi 1,23 juta barel per hari. Meski Itu pun belum bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri yang saat ini saja sudah mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari. Apalagi pada tahun 2050 kebutuhan BBM Indonesia diprediksi mencapai 4 juta barel per hari.

Selain meningkatkan kapasitas kilang yang ada, menurut Rifky opsi jangka pendek yang bisa dilakukan adalah dengan mengakuisisi kilang yang sudah beroperasi di luar negeri. Baru-baru ini, menurutnya kilang Shell di Malaysia berkapasitas 150.000 barel per hari diakuisisi oleh investor asal China.

“Itu kira-kira segede kilang Balikpapan. Ada investor dari China yang membayar US$ 66,3 juta dapat share 50%. Itu juga sebuah solusi yang bisa dengan cepat kita bisa lakukan,” ujarnya.

Turut hadir menjadi narasumber dalam diskusi publik tersebut di antaranya mantan Menteri Perikanan dan Kelautan RI Periode Jokowi-JK Susi Pudjiastuti dan Analist Ekonomi Politik Christianto Wibisono.*(Rikardo). 

Artikel Terkait