Daerah

Kepala BNPB Kenakan Rompi Peresmian Keluarga Tangguh Bencana Aceh Besar

Oleh : Mancik - Minggu, 08/12/2019 20:01 WIB

Kepala BNPB Doni Monardo usai menyematkan rompi Juragan pertama kepada tiga individu pada malam jelang peluncuran Keluarga Tangguh Bencana di Pasie Jantang, Aceh Besar.(Foto:Istimewa)

Aceh Besar,INDONEWS.ID - Kepala BNPB Doni Monardo menyematkan rompi Juragan pertama kepada tiga individu pada malam jelang peluncuran Keluarga Tangguh Bencana di Pasie Jantang, Aceh Besar, Aceh, pada Sabtu malam,(7/12/2019).

Penerima rompi Juragan tersebut yaitu Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Bupati Aceh Besar Mawardi Ali dan Wali Nanggroe Aceh, yang diwakili oleh Teuku Kamaruzzaman. Penyematan rompi menjadi simbol pencanangan penggiat atau juru keluarga tangguh bencana, disingkat `Juragan.Para penerima rompi merepresentasikan pihak-pihak yang dapat berperan untuk mengantarkan keluarga di Indonesia menjadi keluarga tangguh bencana.

Doni menegaskan bahwa membumikan keluarga tangguh bencana atau katana merupakan tugas bersama. Penta helix, pemerintah, pakar-akademisi, dunia usaha, masyarakat dan media massa memiliki masing-masing peran untuk mengakselerasi terwujudnya keluarga tangguh.

"Urusan bencana tidak bisa dibebankan pada satu unsur saja karena bencana adalah urusan bersama," ujar Doni yang menginap bersama peserta Katana di Pasie Jantang pada malam itu (7/12).

Doni juga menambahkan bahwa selama lima tahun ke depan, dirinya berharap program ini bisa menyentuh seluruh keluarga di Indonesia.

"Ke depan, program penanggulangan bencana juga akan menjadi kurikulum baru di dunia pendidikan di Indonesia, sehingga nanti penanggulangan bencana bisa paralel dari keluarga dan bangku sekolah," kata Doni.

Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati berpesan Indonesia terus berproses dalam meningkatkan sistem peringatan dini gempa dan tsunami.

"Dahulu kita hanya mempunyai 2 sensor di wilayah Aceh dan setelah belajar dari peristiwa tsunami Aceh, kita menambah menjadi 13 sensor," ujar Dwikorita yang pernah mengemban amanat sebagai Rektor UGM.

Dwikorita mengilustrasikan saat itu pihaknya hanya memiliki 2 sensor untuk mendeteksi gempa di 6 juta km wilayah Indonesia. Kemudian, para petugas masih menggunakan alat yang sangat sederhana seperti penggaris dan jangkar untuk membuat perhitungan titik episenter gempa.

"Betapa `primitifnya` kita melindungi masyarakat," kenang Dwikorita.

Empat tahun setelah peristiwa tsunami Aceh 2004, BMKG berbenah untuk meningkatkan dan membangun sistem peringatan dini gempa dan tsunami. Dwikorita menyampaikan bahwa sebanyak 170 sensor terpasang untuk memantau seluruh wilayah Indonesia.

Sehubungan dengan katana, Dwikorita berpesan untuk pentingnya membangun kesiapsiagaan bencana. Menurutnya gempa tidak hanya dipicu oleh pergerakan lempeng tetapi juga pergerakan sesar di darat.

"Katana penting bagaimana kita menyiapkan sebelum kejadian gempa, apa yang harus disiapkan. Cek bangunan rumah kita apakah cukup kuat," pesan Dwikorita.

Dalam beberapa kajian paleotsunami, Dwikorita mengutip Prof. Ron Harris dari Universitas Brigham Young terkait jargon 20-20-20. Jargon tersebut sangat spesifik seperti untuk wilayah Pacitan, namun Dwikorita berpesan untuk keluarga tetap bersiaga. Apabila sudah terasa goncangan gempa selama 10 detik, ini pun bisa menjadi peringatan untuk segera mengevakuasi keluarga.

Dwikorita mencontohkan tsunami `milineal` dengan karakter yang di luar perhitungan manusia. Belajar dari gempa dan tsunami Palu, ia mengatakan bahwa dalam 2 menit tsunami telah tiba.

Dalam acara Jelang Peluncuran Program Katana, BNPB menghadirkan dua keluarga yang memiliki pengalaman yang berbeda saat tsunami Aceh 2004 menerjang negeri rencong ini.

Yang membedakan dari pengalaman dua keluarga tersebut, satu keluarga tidak memiliki pengetahuan mengenai apa itu tsunami, sedangkan keluarga lain telah memiliki pengetahuan dan memahami bagaimana merespon apabila terjadi gempa dan tsunami.

Katana ini merupakan bagian dari Desa Tangguh Bencana (Destana) dengan sasaran prioritas masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.

Program yang akan diimplementasikan pada tahun 2020 ini diharapkan mampu untuk meningkatkan keselamatan dan ketangguhan keluarga dalam menghadapi kemungkinan atau potensi bahaya.

Sementara itu, kunci Katana adalah keterlibatan multi pihak atau kemitraan lintas sektor. Katana bukan milik BNPB tetapi program bersama baik di pemerintahan maupun pemangku kepentingan lain.

Komponen untuk membangun keluarga yang tangguh menyasar pada tahapan kesadaran risiko bencana, pengetahuan serta keberdayaan. Keberdayaan memiliki makna setiap individu maupun kita sebagai anggota keluarga mampu menyelamatkan diri sendiri, keluarga dan warga sekitar.*

Artikel Terkait