Nasional

Hantu Otoritarianisme Masih Bergelayut

Oleh : indonews - Rabu, 19/02/2020 10:59 WIB

Ekonom Senior, DR Rizal Ramli, memberikan kuliah twitter tentang demokrasi. (Foto: ist)

Oleh: Rizal Ramli*)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Pada awal tahun 1970-an, semasa saya  mahasiswa di kota Bandung, teman-teman seangkatan saya menyadari  perlunya bertindak demi  membebaskan diri dari segala peraturan pemerintah yang otoriter. Saat itulah bermulanya kiprah saya sebagai aktivis politik.

Presiden Suharto, yang mengendalikan roda kekuasaan sejak 1967, menunjukkan ciri-ciri pemimpin otoriter yang mulai digoyang para mahasiswa saat insiden Lima Belas Januari (Malari) yang meletupkan gelombang demonstrasi mahasiwa  serta kerusuhan pada tahun 1974 setelah kunjungan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta.

Momentum ini adalah awal dari akhir kebebasan yang sebelumnya dinikmati masyarakat Indonesia. Pers diberangus, serikat buruh menjadi instrumen kepanjangan tangan pemerintah, partai-partai oposisi dikebiri, dan para pengeritik Pemerintah dijebloskan ke penjara, termasuk saya.

Tidak seperti yang lain, saya termasuk beruntung. Pada 1979 saya dibebaskan dari penjara setelah satu tahun ditahan.

Seorang pengacara HAM terkenal, Adnan Buyung Nasution, menyelamatkan saya. Tapi impian saya tentang masa depan Indonesia yang demokratis harus menunggu hampir dua dekade sebelum terwujud.

Memasuki 1998, Presiden Suharto telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun, begitu lama sehingga sulit membayangkan pemerintahannya akan tumbang.

Saya  kembali ke Indonesia pada 1988 setelah menempuh studi doktoral saya di Amerika Serikat. Kemudian saya sibuk mengelola think tank ekonomi saya ketika krisis  finansial melanda Asia pada 1997. Baht Thailand ambyar, dikuti oleh depresiasi dramatis Rupiah Indonesia. Rasa frustrasi dan amarah yang terpendam terhadap Soeharto, keluarganya dan para kroni korupnya dengan cepat meletup pada saat perekonomian  kita berantakan. Demonstrasi mahasiswa merebak di seluruh Indonesia menuntut Suharto mundur. Lalu pada Mei 1998 Suharto akhirnya menyerah dan lengser. Para mahasiswa adalah pahlawan  yang mempertaruhkan jiwanya untuk membawa perubahan. Indonesia tidak akan pernah bebas dari rezim otoriter tanpa perjuangan mereka.

Seiring berjalannya waktu, kami yakin akan masa depan demokrasi. Ketika saya pertama kali masuk ke kabinet Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 1999, saya memerhatikan nasib banyak rekan saya yang  juga dipenjara semasa Suharto. Kami memiliki pengalaman buruk yang serupa, dan sekarang kami berbagi alasan yang sama untuk mengantar Indonesia ke era demokrasi.

Namun, kami melupakan sesuatu. Meskipun Suharto adalah sejarah kelam, tapi bayangan hantu otoriternya masih menggelayuti kita. Banyak politisi yang pernah menjabat di bawah Soeharto masih ada di dalam pemerintahan. Kami telah terjebak dalam demokrasi - pemilihan terbuka, kebebasan berbicara dan media yang hidup - tetapi yang bersembunyi di balik  orang-orang yang otoriter. Hanya masalah waktu sebelum hantu otoriter kembali.

Muncul kemudian, yang dimulai pada tahun-tahun awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, saat saya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kelautan. Presiden, yang bermaksud baik dan ingin menjadikan dirinya sebagai seorang reformis, dihormati oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tetapi Presiden Joko Widodo, yang tidak punya partai politik sendiri malah terikat pada keinginan dan kepentingan koalisi yang berkuasa, yang akhirnya mengurung Presiden.

Mulai tahun 2017, saya menemukan banyak  institusi dan norma demokrasi  secara sistematis dirusak. Terlihat DPR sedang mempersiapkan revisi kejam  KUHP. Dewan juga melakukan kudeta terhadap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang mengakhiri independensinya dan yang memborgolnya sehingga hampir mustahil untuk menyelidiki politikus yang korup.

Singkatnya, para politikus ingin memberi tahu kepada konstituennya silakan tutup mulut saat maling mencuri, kalau tidak mau masuk penjara.

Perilaku yang keterlaluan, memang. Saya tidak terkejut ketika para mahasiswa akhirnya kembali berdemo beberapa pekan pada September dan Oktober 2019. Puluhan ribu mahasiswa dari pelbagai universitas di seluruh Nusantara berduyun-duyun turun ke jalan-jalan memprotes pengesahan undang-undang baru KPK, serta menuntut Presiden  mengeluarkan Keppres untuk membatalkan pembonsaian KPK. Aparat keamanan menyemprotkan meriam air, gas air mata, peluru karet. Para mahasiwa juga menuntut Presiden untuk mencari cara agar membalikkan arah undang-undang hukum pidana. Pun telah meminta DPR menunda pengesahan hukum pidana sampai DPR yang baru.

Setelah dilantik untuk periode kedua, Presiden Jokowi berjanji mempertimbangkan mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengembalikan kewenangan hukum KPK.

Saya memberi saran kepada Pak Jokowi agar mendengarkan suara mahasiswa dan bukan politikus yang mementingkan diri sendiri sembari berharap mendapat manfaat dari pengembalian marwah demokrasi Indonesia.

*) Rizal Ramli, ekonom senior, mantan Menteri Koordinator Bidang Kelautan era Presiden Jokowi

Artikel Terkait