Nasional

Nilai Religiusitas dalam Kode Etik KPK Dihapus, Pengamat: Sangat Disayangkan

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 06/03/2020 18:30 WIB

Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad (Foto: Kiblat.net).

Jakarta, INDONEWS.ID - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi sudah merampungkan penyusunan kode etik bagi pimpinan KPK baru. Revisi kode etik itu juga mengubah nilai dasar yang ada di KPK yakni menghapus nilai religiusitas dengan sinergi. 

Diketahui, dalam nilai dasar KPK sebelumnya memuat Religiusitas, integritas, keadilan, profesionalisme dan kepemimpinan yang disingkat RI-KPK. Namun, dalam kode etik baru, religiusitas dihapus dan digantikan dengan sinergi.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia Supardji Achmad menyayangkan keputusan tersebut. Namun, Ia menilai itu sudah menjadi keputusan politik dalam undang-undang yang harus diterima oleh semua pihak. 

"Itu sudah menjadi keputusan politik meski sangat disayangkan. Melihat kinerja KPK yang terus menurun, hasilnya kerjanya tidak tampak," ungkap Supardji kepada  media usai menjadi narasumber dalam diskusi publik berjudul "Memburu Buron KPK" di Jakarta, Jum`at (6/3/2020). 

Supardji menjelaskan penggantian nilai "religiusitas" dengan "sinergi" dalam kode etik KPK merupakan bukti pelemahan KPK yang diinginkan oleh DPR dan lembaga-lembaga politik lainnya. 

"Sekarang yang terjadi justru melemahkan. DPR tidak berdaya.  KPK juga tidak berdaya, kinerjanya tidak sesuai dengan harapan," tegas Supardji.

KPK, kata Supardji, sekarang lebih banyak berorientasi pada pencegahan. Namun, dalam hal pencegahan pun, tambahnya, kinerja dan progresivitas KPK juga tidak  menunjukkan hasil yang memuaskan.

Lebih jauh Supardji menambahkan, faktanya adalah siapa yang berkuasa, dialah yang mengontrol dan mengendalikan KPK. Melihat kinerja KPK yang sekarang, Ia menambahkan, lembaga antirasuh itu dinilai sangat paradoks. Hal itu, lantaran ada kasus yang dihentikan, pada saat yang sama tidak ada perkara atau kasus yang diproses dan diselesaikan. 

"Semua lembaga politik menginginkan itu, dan bisa kita lihat, setelah beberapa bulan berjalan banyak kasus mengendap, tidak ada perkara yang berhasil diselesaikan oleh KPK. Ada perkara yang ditutup, lalu tidak ada yang diselesaikan," tutur Supardji bingung. 

Sehingga, Supardji menegaskan, penghapusan nilai religiusitas lalu diganti dengan nilai sinergi, kata Supardi, jelas-jelas menjadi salah satu cara lain untuk melemahkan KPK.

"Atas dasar sinergi, faktanya kemudian KPK menjadi tidak berani mengambil sebuah sikap dan tindakan-tindakan yang jelas, begitu," tutup Supardi.*(Rikardo)

Artikel Terkait