Nasional

MenkumHAM Yasona Ingin Bebaskan Napi Korupsi, Apa Sikap KPK?

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 04/04/2020 15:01 WIB

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyiapkan rencana pencegahan penyebaran COVID-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Salah satunya dengan membebaskan sekitar 35 ribu narapidana, termasuk narapidana kasus korupsi.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, sepakat dengan Menteri Yasonna Laoly, yang akan membebaskan 300 lebih narapida korupsi dan narkotika dari dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Menurut Ghufron, langkah yang diambil Menteri Yasonna adalah hal positif. Ini sebagai upaya pencegahan penyebaran virus korona atau Covid-19 di dalam lapas. Peningkatan kasus sangat mungkin terjadi karena kepasitas yang ada di lapas sudah lebih dari 300 persen.

"Kami menanggapi positif ide Pak Yasonna sebagai respons yang adaptif terhadap wabah Covid-19 mengingat kapasitas pemasyaratan kita telah lebih dari 300 persen. Sehingga penerapan social distance untuk warga binaan dalam kondisi saat ini tidak memungkinkan, mereka sangat padat sehingga jaraknya tidak memenuhi syarat pencegahan penularan Covid-19," kata Ghufron Kamis, 2 April 2020.

Ghufron menilai, wacana pembebasan 300 narapidana korupsi merupakan pertimbangan kemanusiaan. Namun begitu, apa yang diwacakan Menteri Yasonna harusnya diawali dengan adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

"Itu semua harus dengan perubahan PP 99/2012 tersebut yang berperspektif epidemi. Namun juga tidak mengabaikan keadilan bagi warga binaan lainnya dan aspek tujuan pemidanaan," ujarnya.

Ghufron menjelaskan bahwa bukan berarti dirinya mendukung napi korupsi dibebaskan. Namun, hal ini adalah bentuk waspada terhadap penularan virus korona atau Covid-19. Namun, harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan, sehingga diperlukan upaya untuk menekan penyebaran Covid-19.

"Mekanismenya bagaimana adalah ranah kemenkumham itu, yang penting tidak mengenyampingkan tujuan pemidanaan dan adil," kata Ghufron.

Karena itu, Ghufron memandang wacana itu sebagai bentuk empati kemanusiaan terhadap narapidana. Langkah itu dinilai tepat agar warga binaan ini bisa terhindar dari wabah corona.

"Saya garis bawahi asal tetap memperhatikan aspek tujuan pemidanaan dan berkeadilan. Ini kan bukan remisi kondisi normal, ini respons kemanusiaan, sehingga kacamata kemanusiaan itu yang dikedepankan," katanya.

Sebelumnya Kemenkumham berencana membebeskan banyak narapidana guna menekan angka penyebaran covid-19. Termasuk napi korupsi dan narkotika. Namun terganjal dengan PP 99/12, karena itu akan direvisi.

Dengan revisi tersebut, akan ada narapidana dengan sejumlah kriteria yang akan dikeluarkan, antara lain narapidana kasus narkotika yang dihukum 5-10 tahun penjara dan telah menjalani 2/3 masa hukumannya.

Kemenkumham juga akan membebaskan narapidana kasus korupsi yang telah berusia lebih dari 60 tahun yang telah menjalani 2/3 masa tahanannya. Diperkirakan ada 300 orang yang akan dibebaskan dari dua perkara itu.

Benarkah karena Kemanusian atau Akal Bulus Semata?

Yasonna mengatakan untuk dapat membebaskan koruptor dari jeruji besi, ia harus merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya bahkan menyebut Yasonna sudah empat kali mencoba membebaskan napi korupsi melalui PP yang ada.

Peneliti ICW Donal Fariz menyatakan revisi PP tersebut merupakan agenda lama yang terus diupayakan Yasonna guna memberikan keringanan terhadap narapidana korupsi.

"Karena kalau corona alasannya, wacana yang disampaikan oleh Yasonna untuk merevisi ini adalah wacana lama," kata Donal dalam video teleconference, Kamis (2/4).

Berdasarkan catatan ICW, Donal menuturkan bahwa sejak 2015-2019 Yasonna telah berupaya melakukan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 sebanyak empat kali.

"Jadi, kalau kita melihat ini adalah kerjaan atau agenda lama yang tertunda. Sehingga, corona hanya justifikasi atau alasan saja," simpul Donal.

Donal mengatakan PP 99/2012 adalah aturan yang cukup progresif. Memperlemah regulasi ini sama dengan tidak mendukung pemberantasan korupsi.

Donal juga menegaskan pembebasan napi korupsi tidak relevan dengan tujuan besar menghambat penyebaran COVID-19 di lapas/rutan karena angkanya sangat kecil dibanding kejahatan lain.

Merujuk data Kemenkumham tahun 2018, dari 248.690 narapidana, yang tersangkut korupsi `hanya` 4.552 atau sekitar 1,8 persen.

Berdasarkan hal di atas, Donal meminta agar Presiden Joko Widodo menolak usul Yasonna karena pembebasan narapidana korupsi tidak memiliki hubungan dengan wabah virus corona (Covid-19).

Lagi pula, lanjut dia, jika ingin mengantisipasi penularan virus corona di Lapas atau Rutan, lebih baik Yasonna fokus terhadap tindak pidana lain seperti narkoba yang tahanannya jauh lebih banyak daripada tindak pidana korupsi.

"Kami mendesak Presiden Jokowi dan termasuk Menko Polhukam Prof Mahfud MD untuk menolak wacana revisi PP 99/ 2012 ini," tandasnya.*(Rikardo).

 

Artikel Terkait