Nasional

Jaga Pemilu Nihil Korupsi, Para Mantan Pimpinan KPK Tolak PKPU Eks Napi Korupsi Nyaleg

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 13/06/2023 20:57 WIB

Mantan wakil ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang mewakili koalisi masyarakat sipil kawal pemilu bersih mengajukan uji materi peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor 10 dan 11 ke Mahkamah Agung, Jakarta, Senin, 12 Juni 2023. Dalam keterangannya ICW menilai dalam peraturan tersebut KPU memberikan celah kepada para koruptor untuk maju dalam kontestasi pemilu legislatif. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Jakarta, INDONEWS.ID - Sepuluh mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan menolak pengesahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang mengatur tentang pencalonan anggota DPR, DPRD dan DPD. PKPU tersebut dianggap memberikan karpet merah bagi mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri menjadi calon legislatif dalam Pemilu 2024.

“PKPU harus dibatalkan untuk menjaga Pemilu yang antikorupsi,” kata pimpinan KPK periode 2007-2011 Haryono Umar dalam keterangan pers Indonesia Corruption Watch, Selasa, 13 Juni 2023.

Selain Haryono Umar, ada sembilan mantan pimpinan KPK yang juga menyuarakan hal serupa. Mereka adalah Erry Riyana Hardjapamekas, Moch. Jasin, Mas Achmad Santosa, Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang. 

KPU sebelumnya membatasi mantan terpidana korupsi untuk dipilih maupun memilih. PKPU Nomor 20 Tahun 2018 misalnya, melarang bekas narapidana untuk mencalonkan diri sebagai legislator. Aturan ini sempat digugat ke Mahkamah Agung oleh seorang caleg mantan koruptor, Jumanto. MA mengabulkan gugatan tersebut.

Di lain sisi, Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Putusan Nomor 12/PUU-XXI/2023. Kedua putusan itu membatasi hak bekas terpidana korupsi dengan menerapkan jeda lima tahun sejak terpidana itu selesai menjalani hukuman.

Sementara dalam PKPU Nomor 10 dan 11, KPU dianggap menabrak putusan MK tersebut. KPU menyatakan syarat jeda 5 tahun itu tidak berlaku apabila ada putusan pengadilan ihwal adanya penambahan pidana berupa pencabutan hak politik. Artinya, semisal ada terpidana yang divonis pencabutan hak politik selama 3 tahun, maka masa jeda 5 tahun itu tidak berlaku.

 
 

Komisioner KPK 2003-2007 Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan PKPU nomor 10 dan 11 itu jelas bertentangan dengan 2 putusan MK. Dia mengatakan demi kapatuhan pada aturan yang berlaku dan menjaga integritas Pemilu, kedua PKPU itu harus direvisi. “Masa jeda waktu bagi mantan terpidana sudah diputuskan 5 tahun,” kata dia.

Komisioner KPK 2011-2015 Abraham Samad mengatakan orang yang pernah terlibat kasus korupsi seharusnya tidak boleh lagi menjabat jabatan publik, seperti wakil rakyat. Dia mengatakan perbuatan yang mereka lakukan bukanlah kekhilafan.

“Itulah sebabnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang hanya memberi jeda waktu 5 tahun bagi koruptor bagi saya bukan sesuatu menggembirakan. Seolah kita ingin berdamai dengan koruptor,” kata dia.

Eks Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mempertanyakan keberpihakan KPU dalam pemberantasan korupsi. Menurut dia, KPU tidak akan kekurangan pendaftar hanya karena melarang mantan napi koruptor mencalonkan diri. “Indonesia tidak kekurangan orang baik untuk menjadi anggota DPR atau DPRD,” ujar dia. 

Artikel Terkait