Nasional

Kosmologi Dinasti Menteng

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 21/05/2020 09:01 WIB

Soekarno dan Soeharto (Foto:ist)

Oleh: Christianto Wibisono*)

Opini, INDONEWS.ID - Kosmologi karma politik Indonesia, setiap hari, tanggal, bulan,  tahun ternyata punya makna dan keterkaitan secara kebetulan "ko-insidensi". Atau at random seperti teori chaos, butterfly effect.  Terus validitas the Golden Rule of Karma you reap what you sow;  tit fot tat, quid pro  quo. 

Hari Senin 18 Mei 2020, bisa sama dengan Senin 18 Mei 1998 ketika Ketua MPR Harmoko minta pak Harto mundur. Ia ingat palu yang memutuskan pelantikan presiden Soeharto jadi presiden ke-7 kalinya, patah pada 11 Maret 1998. Jadi pelantikan itu hanya untuk 71 hari sampai lengser 21 Mei 1998.

Soeharto naik jadi presiden dengan menahan 15 menteri pada 18 Maret 1966.  Setelah di-ultimatum oleh Ketua MPR/DPR Harmoko 18 Mei 1998, Soeharto ditinggalkan oleh 15 menteri sehingga ia harus lengser 21 Mei 1998. Sekarang, persis 22 tahun siklus sejarah berputar tanggal, hari, bulan, tahun dan peringatan yang sama 21 Mei Kemis 1998 identik sama dengan Kamis 21 Mei 2020 hari Kenaikan Isa Almasih.

Sejarah politik Indonesia tidak berbeda dari sejarah Revolusi Prancis yang sering dikutip oleh Bung Karno bahwa revolusi kadang-kadang menelan anaknya sendiri. Memang Revolusi Prancis setelah menjatuhkan raja Louis XVI akan mengalami periode teror saling bunuh antara  tokoh seperti Marat Danton dan Robespierre dipenggal oleh guilotine yang sama.

Indonesia juga mengalami tragedi saling bunuh antar elite yang berlangsung sekitar 20 tahun.
Presiden pertama Bung Karno menjadi PM kabinet presidensial hanya 87 hari 19 Agustus - - 14 Nov 1945. Ia diganti PM kabinet parlementer Sutan Syahrir yang sempat mengalami penculikan oleh kelompok Tan Malaka pada kudeta gerakan 3 Juli 1946. Pelaku penculikan dijatuhi hukuman penjara oleh Ketua Mahkamah Agung Kusumah Atmaja yang menolak intervensi Presiden Sukarno. 

Nasib PM ke-3 Amir Syarifudin tragis karena ikut terlibat pemberontakan PKI Madiun 18 Sep 1948, maka dieksekusi di masa Kabinet Hatta 19 Desember 1948. Tan Malaka yang dibebaskan dari penjara malah tertembak oleh militer dalam prahara penumpasan PKI Madiun. Setelah itu terjadi beberapa pembrontakan lokal sporadis serta pergolakan daerah   sebagai reaksi terhadap polarisasi politik nasional di Jakarta. 

Ada proklamasi DITIINII oleh Kartosuwiryo 7 Januari 1949. Pemberontakan RMS di Ambon Maluku yang memakan korban  Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Ada peristiwa Westerling di Bandung, di Makassar ada peristiwa Andi Azis dan munculnya Kahar Muzakkar menjadi panglima DITII Kartosuwiryo di Sulawesi Selatan yang juga didukung Teuku Daud Beureuh di Aceh.

Pada 17 Oktober 1952, tentara menggerakkan demo menuntut pembubaran parlemen sementara. Tapi kharisma Bung Karno luarbiasa, menenteramkan massa di halaman Istana Merdeka yang malah berteriak Hidup Bung Karno. Padahal mereka dibayar untuk berteriak bubarkan DPR. Jabatan KSAP Simatupang dihapuskan dan KSAD Mayjen A H Nasution diberhentikan dan diganti Mayjen Bambang Sugeng pada era kabinet Wilopo PNI. 

Menjelang pemilu, kabinet Ali Sastroamijoyo I yang sukses menyelenggarakan KAA Bandung April 1955 malah jatuh gara-gara konflik elite AD. KSAD Bambang Sugeng diganti Bambang Utoyo diboikot Wakasad Kol Zuklifli Lubis. Kabinet Ali jatuh diganti kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi) yang menyelenggarakan pemilu terbersih jujur dalam sejarah RI. Tapi kabinet Ali II hanya akan berusia setahun. 

Pergolakan daerah memuncak jadi pemberontakan PRRI/Permesta pada 15 Februari 1958. Tahun  1962 berakhir seluruh pemberontakan di Indonesia dan Irian Barat juga sudah kembali ketangan RI. Tapi diluar dugaan, justru ketika sedang berkonfrontasi dengan Malaysia meletuslah kudeta penculikan dan pembunuhan jendral TNI AD oleh oknum PKI. 

Maka kudeta penculikan biadab itu menjadi perang saudara yang tidak tertuntaskan karena dendam angkara murka. Dalam pelbagai pemberontakan sebelum G30S termasuk pergolakan PRRI Permesta, selalu ada amnesti abolisi, grasi dan pembebasan karena elite YBS masih hidup.

Tapi memang harus tetap dicatat nasib mereka yang mengalami perlakuan buruk sebagai tapol, mulai dari presiden pertama Bung Karno hingga PM Syahrir yang juga mengalami nasib jadi tapol pada era terakhir Bung Karno dan wafat di RS Zurich dalam status tapol baru,lalu menjadi pahlawan nasional setelah wafat pada 9 April 1966. 

Beberapa mantan PM juga pernah jadi tapol seperti Mohamad Natsir dan Burhanudin Harahap. Ironisnya, bahwa Burhanudin Harahap ada PM yang mengangkat Nasution kembali jadi KSAD pada 1955 tapi justru Nasution juga yang menahan BH. Kelak Nasution akan mengalami nasib dikucilkan oleh Soeharto sebelum akhirnya masih bisa rujuk karena masih hidup berbarengan dengan Nasution dan Ali Sadikin.  

Soeharto sempat marah karena Ali Sadikin aktif dalam oposisi Petisi 50 sejak 1980. Ironisnya lagi, justru Jendral Soeharto sangat marah dan tidak memaafkan Ketua MPR Harmoko yang mengangkat Soeharto 11 Maret 1998 jadi Presiden ke-7 kalinya, tapi akan menikam dari belakang pada 18 Mei 1998. 

Ia juga menjotake (tidak mau bicara) dengan wapres dan menko yang memimpin eksodus 14 +1 menteri. Tapi Soeharto malah sempat menjenguk LB Murdani  yang sakit keras dan menyatakan menyesal memecat  LBM dari jabatan Pangab 1988.

Setelah menelusuri sejarah elite dan revolusi Indonesia dengan tragedi saling culik, kita bersyukur bahwa elite kita sudah kapok dan sudah membatasi masa jabatan presiden dan mengakhiri saling menapolkan secara kurang beradab. 

Sudah cukup 2 presiden dijatuhkan lewat demo berdarah, sudah cukup elite saling bui, saling cekal, saling menapolkan. Semoga Covid-19 ini, bisa menyadarkan elite Indonesia (dan dunia) bahwa segala macam konflik antar manusia tidak perlu diledakkan jadi perang saudara atau perang antar bangsa. 

Perang dan saling bunuh sesama manusia menurunkan harkat martabat manusia dari Homo Sapiens tidak lebih manusiawi dari virus.  

Semoga fakta sejarah elite politik kita di atas tidak terulang di masa depan dan sudah cukup revolusi memakan anak sendiri dijagad politik Indonesia. Politik tidak perlu lagi pakai demo aksi massa. Cukup pakai virtual on line saja, kampanye maupun coblosannya. 

Tidak ada lagi demo pengerahan massa yang memancing kerusuhan dan korban jiwa manusia seperti 1966  1998 dan juga masih dialami di iplres 2019. Semoga kiamat Covid-19 ini, bisa  mengubah manusia untuk berdamai dengan diri kita sendiri dalam Pax Covidica.

*)Christianto Wibisono adalah Ketua Pendiri PDBI penulis buku Kencan Dinasti Menteng.

Artikel Terkait