Opini

Covid-19 dan Ujian Kemanusiaan

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 28/05/2020 18:01 WIB

Lukisan "Once Upon a Time There was a Procession” merupakan salah satu karya perupa seni lukis Indonesia, Ivan Sagito.

Oleh: Djanuar Lj*)

Opini, INDONEWS.ID - Coronavirus atau covid-19 telah menyisahkan penderitaan di banyak aspek baik secara psikis, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya. Penderitaan tersebut melahirkan ketakutan atau kecemasan akut. Darinya pula, tumbuh sikap waspada terhadap problem yang tengah dihadapi oleh masyarakat global.

Pada Sabtu (25/05/2020), di Desa Hikong, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka terjadi pemblokiran akses jalan antara Kabupaten Flores Timur dan Sikka oleh kepala desa Hikong sebagai wujud balas dendam terhadap warga Larantuka yang sebelunya menolak warganya. 

Aksi ini menimbulkan duka mendalam bagi Yohanes Diaz, warga Larantuka yang akan merujuk isterinya Marselina Muda yang sedang mengalami pendarahan hendak melahirkan anak ke-empatnya di RSUD TC Hillers Maumere. 

Kedua pasangan ini harus kehilangan anaknya setelah tertahan satu jam akibat aksi pemblokiran. Bayi malang itu tidak bisa diselamatkan akibat terlambat mendapatkan pertolongan medis. (Sumber, Bentara-Net, 25 Mei 2020).

Merujuk pada peraturan Menteri Perhubungan No. 25 tahun 2020 tentang Penegakan Transportasi, ada pengecualian-pengecualian dalam tindakan pemblokiran transportasi yakni kendaraan keamanan, ambulance dan logistik. 

Sedangkan berdasarkan aturan internasional angkutan ambulance ketika membawa pasien dapat memacu kecepatan melebihi kecepatan rata-rata dan bagi siapa saja melihat atau mendahului harus memprioritaskan kendaraan tersebut lewat.
    
Berangkat dari  peraturan pemerintah maupun peraturan international tentang angkutan ambulance, Kepala Desa Hikong dan aparat yang berjaga pada pos penjagaan, mestinya tidak menghalang-halangi kendaraan ambulance yang merujuk pasien ke rumah sakit yang dituju. 

Tindakan menghalang-halangi mobil pengangkut pasien atau ambulance tersebut dapat melanggar peraturan menteri perhubungan dan juga peraturan international. 

Dari pelanggaran yang menyebabkan hilangnya nyawa tersebut mesti diberikan sanksi sesuai dengan aturan berlaku. Kepala desa Hikong sejatinya mempertanggung jawabkan tindakannya tersebut secara moril dan hukum.
    
Masalah Kemanusian

Kebijakan dan langkah yang diambil Kepala Desa Hikong mencerminkan sebuah ketakutan dan kecemasan yang sulit terkendalikan rasional atau akal sehat yang jernih terhadap situasi atau peristiwa. 

Dalam kebijakan pemblokiran yang menyebabkan melayangnya nyawa manusia tak berdosa, jelas bahwa Kades Hikong mengutamakan emosi bekerja dan mengesampingkan rasionalitas kesadaran.

Emosi menjadi situasi gelap yang datang tiba-tiba pada diri dan lenyab bersamanya. Emosi dilihat sebagai cara pandang tertentu terhadap sesuatu di luar dirinya untuk menghadapi dunia.

Berangkat dari peristiwa Kades Hikong dan Pasangan asal Larantuka yang kehilangan bayi mereka, kita boleh merenungkan dampak psikis yang diakibatkan oleh covid-19 ini.

Dalam situasi kecemasan ini, kita senantiasa mengalami suasana hati yang berubah-ubah. Suasana hati pada pandemi ini memaksa orang untuk selalu waspada terhadap situasi di luar dirinya termasuk pemblokiran akses jalan sebagai suatu cara penanggulangan pandemi covid 19, misalnya. 

Pemblokiran jalan, yang dianggap efektif sebagai penanggulangan penyebaran covid 19 ternyata meninggalkan problem baru di tengah masayarakat. 

Tindakan Kepada Desa Hikong merupakan suatu respon cepat terhadap situasi di sekitarnya. Dia melakukan suatu tindakan tertentu sebagai hasil dari pemahamannya terhadap dunia sekitarnya. 

Namun, tindakannya ini merupakan sesuatu yang berlebihan karena didasarkan pada emosi dan bukan pada kesadaran kritisnya. Pada situasi semacam ini, orang bertindak cepat dengan alasan tertentu tanpa didasarkan pada rasionalitas.
    
Tindakan berlebihan ini oleh Jean Paul Sartre adalah cara tertentu seseorang dalam menggumuli dunia sekaligus sebagai cara mengadanya di dunia. 

Cara menggumuli dunia ini terjadi saat seserorang berupaya merespon situasi dunia di mana ia tengah berada, lalu ia melakukan suatu tindakan tertentu sebagai hasil dari pemahamannya terhadap dunia. Cara ini merupakan cara yang eksistensial dan terejahwatakan dalam bermacam-macam rupa.
    
Lebih lanjut oleh Janet, tindakan emosional kepala desa Hikong tersebut dilihat sebagai suatu tingkah laku yang tidak dapat beradaptasi dengan tepat saat seseorang dituntut perannya dalam situasi tertentu. 

Ada semacam pergolakan jiwa di dalam diri seseorang, lalu ia melakukan tindakan yang tidak selaras dengan tuntutan dan beralih pada tindakan lain yang menyimpang. (A. Setyo Wibowo, Filsafat Eksistensialisme J. P. Sartre, 2015).
    
Peristiwa di atas menunjukan tindakan yang yang yang diambil belum mencapai taraf kesadaran penuh. Artinya bahwa kesadaran tersebut belum direfleksikan untuk dirinya sendiri. Kesadaran ini masih pada kesadaran akan sesuatu. Tindakan penolakan oleh Kades Hikong ini berdasarkan ketakutan terhadap penyebaran covid 19. 

Seseorang mengalami ketakutan sesungguhnya ia sendiri tidak sadar bahwa ia sedang takut dan menyadari akan ketakutannya, tetapi ia hanya sadar akan objek yang ditakutinya.
 
Menurut Sartre, kesadaran pra-reflektif semacam ini masih bersifat intuitif dan spontan. Intutif karena terarah pada sesuatu yang dirasakan dengan pikiran dan keadaannya masih bersifat sementara. Sedangkan spontan merujuk pada sesuatu gerakan yang amat cepat dan mendadak sehingga mengagetkan. 

Kesadaran yang masih bersifat intuitif dan spontan adalah kesadaran yang berada dalam kesegeraan dalam merespon sesuatu. Tidak terlebih dahulu ditimbang apakah nantinya memberikan kenyamanan atau penderitaan bagi dirinya dan orang lain. Struktur kesadaran semacam itu mempengaruhi cara bertindak seseorang yang berujung pada penidakan/penegasian kemanusiaan manusia.

Pandemi ini telah melahirkan pemahaman baru tetang relasi antar manusia. Senada dengan Sartre, relasi manusia dewasa ini tidak lebih dari neraka. “Neraka adalah orang lain” (K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 2006). 

Sebab setiap perjumpaan antar manusia mempertahankan subjektivitasnya. Perjumpaan antar manusia tidak lebih daripada suatu dialektika subjek-objek dimana satu berusaha mengalahkan yang lain menjadi objek bagi dia. Ini yang sedang terjadi saat ini di seluruh Indonesia. 

Sejatinya, dalam situasi terdesak semacam ini, manusia mesti menampilkan diri sebagai animale rational atau hewan yang berakal budi. Dengan kesadaran akal budinya, manusia dapat membangun peradaban yang lebih manusiawi dengan tidak menolak sesamanya. 

Dengan demikian, manusia mesti melihat wajah sesamanya sebagai  penampakan Wajah Allah yang hadir. Penampakan semacam ini merobohkan egoisme seseorang. Menolak sesama berarti menolak Allah. Penampakan wajah sesama merupakan suatu kejadian etis. Ketika wajah menyapa saya dan saya tidak boleh tinggal diam, melainkan mewajibkan saya untuk membuka hati dan pintu rumah saya. Wajah mengimbau saya untuk mempraktekan keadilan dan kebaikan.
 
Kita mesti memiliki kewajiban etis saling melindungi terhadap alteritas atau yang lain dan bertanggung jawab terhadapnya. Dalam situasi terdesak yang diakibatkan oleh pandemi ini, kita mesti saling bertanggung jawab atas sesama. Menanggalkan segala macam ego sektoral demi mambangun peradaban yang lebih manusiawi. 

Kita semua berharap semoga aksi pemblokiran jalan yang berujung pada kematian tidak terulang lagi. Semua kita mestinya saling menghargai dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Sebagai satu bangsa kita tidak semestinya mengorbankan sesama kita yang lain yang berbeda.*

*Djanuar Lj adalah aktivist di Komunitas Filsafat Awam

Artikel Terkait