Nasional

Eks Pemimpin KPK Sebut Peradilan Novel Banyak Kejanggalan

Oleh : Ronald - Jum'at, 19/06/2020 17:30 WIB

Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqodas (Foto : istimewa)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqodas mengatakan terdapat banyak kejanggalan dalam proses peradilan kasus teror penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

Nusyro menilai, dua terdakwa adalah anggota Polri, disidik oleh anggota Polri, dan dibela serta dicarikan pengacara oleh tim Polri.

“Ada kejanggalan dalam peradilan sekarang, terdakwa anggota aktif Polri, disidik Polri, dibela, dicarikan pembela dan unsur pembela dari Polri, nalar hukum seperti apa apakah ini nalar hukum Pancasila? Polri yang proses, Polri yang sediakan pengacara,” ujarnya dalam sebuah diskusi, Jumat (19/6/2020).

Dia juga mengatakan ada kejanggalan besar dalam peradilan di Jakarta Utara, yaitu barang bukti yang berubah yakni dari air keras menjadi air aki, lalu saksi kunci yang tidak diperiksa, hingga ada pembuktian yang dipaksakan.

“Hasil Komnas HAM dicampakan dan berujung pada tuntutan JPU hanya 1 tahun dengan catatan jaksa ini wakil negara dibawah jagung dan jagung di bawah Presiden," sebutya.

Untuk itu, Busyro menyimpulkan dari kejanggalan tersebut, teror KPK dan Novel Naswedan adalah indikator dominannya oligarki bisnis dan politik.

“Berdasarkan fakta, maka saya teruskan bahwa teror terhadap KPK maupun Novel Baswedan merupakan indikator meruoakan tanda semakin jelas semakin dominannya para dominator oligarki bisnis dan politik,” pungkas Busyro.

Tidak berhenti sampai disitu, Busyro juga menyebutkan sikap Presiden Joko Widodo diskriminatif dalam menyikapi kasus teror penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Di rezim Jokowi ada indikator ultradiskriminatif atau sikap Presiden yang diskriminatif dalam kasus teror terhadap Novel Baswedan,” tegasnya.

Pasalnya, hingga saat ini, Jokowi tidak merespon permintaan masyarakat sipil untuk membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen yang terdiri dari unsur Polri, KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan unsur masyarakat sipil.

“Isi pernyataan itu adalah memohon kepada jokowi untuk bentuk TGPF independen terdiri dari polri KPK Komnas HAM dan unsur masyarakat sipil atas desakan kami unsur masyarakat sipil apa sikap Presiden sampai saat ini nihil besar,” kata Busyro.

Dalam kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan, JPU menuntut kedua terdakwa penyerang, yakni Rahmat Kadir Mahulettu dan Ronny Bugis, dengan hukuman satu tahun penjara.

Dalam persidangan yang digelar Kamis (11/6/2020), dua orang anggota Polri aktif dari Satuan Gegana Korps Brimob Kelapa Dua Depok yaitu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara untuk dihukum penjara selama 1 tahun penjara. (rnl)

 

Artikel Terkait