Opini

Hagia Sophia, Haruskah Diubah Kembali Menjadi Mesjid ?

Oleh : luska - Senin, 27/07/2020 12:01 WIB

Eks Dubes RI di Belgia Yuri Thamrin

Hagia Sophia, Haruskah Diubah Kembalj Menjadi Mesjid ?

Oleh: Yuri Thamrin

Tindakan presiden Turki baru-baru ini telah memicu kegemparan. Menyusul putusan Pengadilan Administrasi Turki pada 10 Juli 2020 maka presiden Recep Tayyip Erdogan pada hari yang sama langsung menandatangani dekrit untuk memfungsikan museum Hagia Sophia kembali sebagai Mesjid. Dunia gempar dibuatnya. Presiden Erdogan kemudian hadir bersama kaum muslimin Turki dalam shalat Jum'at perdana di sana (24 Juli 2020), walaupun kecaman muncul di banyak negara.

Hagia Sophia bermakna "Holy Wisdom" dalam bahasa Yunani. Ia adalah gereja indah dan megah kebanggaan umat Kristen Ortodox sedunia. Sesuai laporan Pew Research Center, ada sekitar 270 juta umat Kristen Ortodox di dunia pada 2017. Kristen Ortodox adalah cabang ketiga terbesar setelah Katolik dan Protestan.

Gereja  Hagia Sophia selesai dibangun oleh Kaisar Romawi Justinian 1 pada tahun 537. Gereja itu menjadi simbol kebanggaan kota Konstantinopel yang kala itu merupakan ibu kota Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine).

Pada tahun 1453, Kota Konstantinopel direbut oleh pasukan Turki Ottoman di bawah Sultan Muhammad Al-Fatih "Sang Penakluk" (Sultan Mehmet II). Sultan Al Fatih adalah seorang negarawan ulung dan visioner. Beliau juga pemimpin perang yang jenius. Kota Konstantinopel diubahnya menjadi kota Istanbul, sebuah metropolitan masyhur yang berfungsi sebagai ibu kota kekaisaran Turki Ottoman. Pada masa pemerintahannya, gereja Hagia Sophia diubah menjadi mesjid agung kota Istanbul.

Pada perkembangannya, Hagia Sophia kembali berubah ---  kali ini dari Mesjid menjadi museum. Hal ini terjadi pada tahun 1934 ketika Turki diperintah oleh diktator Mustafa Kemal Ataturk. Keputusan Ataturk inilah yang 86 tahun kemudian dinyatakan tidak sah dan dibatalkan oleh Pengadilan administratif Turki pada 10 Juli 2020 yang lalu.

Dalam sejarah Turki modern, Ataturk dikenal sebagai tokoh modernisasi Turki  via jalur sekularisasi dan westernisasi. Program-program sekularisasi Ataturk praktis telah menghilangkan peran dan pengaruh Islam dalam masyarakat Turki. Sementara itu, program-program westernisasinya pun ditengarai merusak moral dan budaya Turki. Karenanya, kelompok-kelompok Islamis di negara itu  berupaya menghapuskan jejak-jejak warisan Ataturk tersebut.

Dengan latar belakang ini, tulisan ini akan membahas kontroversi, motivasi politik, justifikasi, dan implikasi strategis dari keputusan kontroversial yg diambil oleh presiden Erdogan itu. 

REAKSI DUNIA

Keputusan Erdogan memantik reaksi marah, sedih dan kecewa dari berbagai negara, pemimpin dunia dan organisasi internasional.

Mewakili "suasana kebatinan" Dunia Kristen Ortodox, Presiden Putin menelpon Erdogan dan menyampaikan kemarahan rakyat Rusia (yang mayoritas Kristen Ortodox) atas keputusan Turki. Putin minta agar akses ke Hagia Sophia tetap terbuka untuk semua orang dan agar objek-objek sakral Kristen Ortodox di dalamnya dilindungi. Yunani menyatakan bahwa tindakan Erdogan merupakan provokasi terbuka pada dunia beradab dan membawa Turki mundur 600 tahun. 

Patriakh Bartolomew --- uskup agung konstantinopel dan pimpinan spiritual Kristen Ortodox sedunia --- menyatakan keputusan Erdogan menimbulkan kekecewaan umat Kristen, membawa keretakan Timur-Barat serta berpotensi mendorong jutaan umat Kristen di seluruh dunia memusuhi Islam. Paus Fransiskus merasa sedih dan pilu atas keputusan Erdogan. Amerika Serikat dan Uni Eropa serta UNESCO juga menyampaikan kekecewaan atas putusan itu. 

Akan halnya di dunia Islam, umumnya negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bersikap netral terhadap keputusan Turki, kecuali Iran yang mendukung keputusan Erdogan. Sedangkan Mesir, Saudi Arabia dan beberapa negara Teluk yang berseteru dengan Turki justru bersikap negatif. 

Sementara itu, Ketua Partai Jamaat-e-Islami (Pakistan) dan Hamas (Palestina) mendukung keputusan Turki tersebut. Diberitakan pula, 2 organisasi Islam terbesar di Indonesia -- NU dan Muhammadiyah -- serta beberapa anggota parlemen Indonesia dan Malaysia juga mendukung keputusan Erdogan tersebut.

MOTIVASI POLITIK

Apa yang melandasi keputusan Erdogan itu? Majalah the Economist (11 Juli 2020) menyebut bahwa langkah itu diperlukan Erdogan untuk mendongkrak popularitasnya yang turun drastis belakangan ini. 

Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan mengalami kemunduran pada pemilu lokal 2019. Bahkan di 5 kota besar Turki --- termasuk Ankara dan Istanbul yang merupakan basis politik Erdogan --- AKP menderita kekalahan. 

Banyak pengamat memperkirakan kekalahan AKP pada pemilu lokal 2019 ini merupakan awal dari "tumbangnya" kekuasaan Erdogan. 

Selain itu, Erdogan pun terancam oleh tokoh-tokoh  "kharismatis"  dari AKP yang menyempal dan membentuk partai baru seperti mantan PM Ahmet Devutoglu yang  mendirikan Partai GELECEK (Masa Depan) dan mantan Menteri Keuangan Ali Babacan yang mendirikan Partai DEVA (Perbaikan). 

Kedua partai baru ini berpotensi memecah dukungan pemilih sayap kanan (right wing voters) yang menjadi basis dukungan AKP. Melalui koalisi dengan partai-partai oposisi lainnya, bukan tidak mungkin kekuatan Tengah-Kanan (center-right bloc) mampu menjegal ambisi Erdogan melanjutkan kekuasaannya yang sudah berlangsung selama 18 tahun terakhir. 

Selain itu, langkah Erdogan pun adalah suatu taktik untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kesulitan ekonomi saat ini. Dalam 18 bulan terakhir Turki mengalami resesi ekonomi akibat krisis hutang luar negeri dan melemahnya nilai tukar Lira. Sementara itu, pandemi covid-19 telah mempersulit upaya-upaya pemulihan ekonomi oleh pemerintah. Ada kemungkinan AKP akan meminta percepatan penyelenggaraan pemilu (snap election) pada Mei 2021 untuk memilih presiden maupun anggota parlemen.

PERINTAH AGAMA DAN BEBERAPA EPISODE  INSPIRATIF DALAM SEJARAH ISLAM

Sejatinya Al Qur'an mengajarkan bahwa umat Islam wajib menghormati tempat ibadah setiap agama dan memelihara identitas berbagai rumah ibadah tersebut. 
Dalam Al Qur'an, firman Allah SWT sebagai berikut: ".... Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (QS. Al-Hajj: 40)

Tafsir dari ayat ini sungguh terang benderang bahwa Islam menghormati keragaman agama dan bahwa Allah SWT melindungi  “biara, gereja, sinagog dan mesjid" dimana banyak disebut nama Tuhan (vide Mustafa Akyol dalam International New York Times, 20 Juli 2020). Lebih jauh, Al Qur'an pun menyebut kata "gereja" dengan nada yang santun (a reverential tone).

Rasulullah SAW juga sangat menghargai keragaman dan toleransi antar agama. Nabi misalnya pernah mengijinkan rombongan 60 orang Kristen dari Kota Najran untuk melakukan kebaktian di Mesjid Nabawi ketika saat ibadah mereka tiba.  

Konteks dari peristiwa ini adalah kunjungan delegasi Kristen Najran ke Madinah pada tahun ke-10 Hijriah untuk bertemu dan berdialog dengan Nabi. Dalam pertemuan itu, terdapat perjanjian yang disepakati kedua belah pihak yakni "tidak ada seorang pun uskup, rahib, atau pendeta yang diganti, dan juga tidak ada satu pun hak dan kekuasaan mereka yang akan diganti, dan tidak juga yang sudah menjadi kebiasaan mereka. Perlindungan Allah dan rasul-Nya selamanya, apabila mereka berdamai, jujur dan tidak berlaku zalim".

Episode lain yang juga inspiratif adalah penaklukan Kota Yerusalem (tahun 638 M) oleh pasukan muslim di bawah Khalifah Umar bin Khattab. Ketika memasuki Kota Yerusalem pada waktu Ashar, kalifah Umar bin Khattab ditawari Patriach Jerusalem Sophronius untuk melakukan shalat di Gereja Makam Kudus (the Church of the Holy Sepulcher). Namun, Umar dengan sopan menolaknya dan mengatakan bahwa umat Islam akan menganggap hal ini sebagai alasan untuk mengubah gereja itu menjadi masjid. 

Sesungguhnya, jaminan keamanan yang diberikan Khalifah Umar terhadap seluruh penduduk Jerusalem meliputi keselamatan diri, harta benda, gereja dan salib yang mereka miliki. Oleh karena itulah, Jerusalem tetap bercorak dan bernuansa Kristen walaupun selama 4 abad berada di bawah kekuasaan Islam. 

PRESEDEN "HAK PEDANG"

Dalam pernyataannya menjawab berbagai kritikan asing terhadapnya, Presiden Erdogan menyatakan bahwa keputusannya menjadikan kembali Hagia Sophia sebagai Mesjid diambil dengan memperhatikan kehendak rakyat Turki dan juga prinsip kedaulatan Turki.

Apa yang disampaikan Erdogan benar adanya karena 70 persen rakyat Turki mendukung keputusan itu (Arab News, 24 July 2020). Namun demikian, mengatakan bahwa Turki mempunyai hak berdaulat untuk mengubah Hagia Sophia menjadi Mesjid sama saja dengan memberi pengakuan pada "hak pedang".

Dalam kaitan ini, "hak Pedang" dapat dimaknai sebagai hak yang dimiliki Turki untuk mengubah gereja menjadi mesjid karena hasil penaklukan. Tapi, jika logika ini diikuti maka akan tercipta pula preseden yg berbahaya bagi umat Islam, khususnya tehadap kompleks Al Aqsa yang saat ini di bawah kekuasaan Israel. 
Bagaimana jika Israel melakukan sesuatu terhadap Al Aqsa? Apakah itu juga akan menjadi hak pedang? 

IMPLIKASI STRATEGIS

Masalah konversi Hagia Sophia memang merupakan persoalan dalam negeri Turki dan tidak ada niatan kita untuk mencampurinya. Keputusan Erdogan itu sejatinya lebih bernuansa pertarungan domestik untuk mempertahankan kekuasaannya, namun kini telah sukses memantik "api", dengan potensi menggangu harmoni antar agama dan peradaban, khususnya Islam vs Kristen. 

Tetapi, banyak pengamat tetap meragukan apakah langkah Erdogan mengonversi Hagia Sophia cukup efektif untuk mempertahankan kekuasaannya. Sejatinya, tanpa kemampuan memulihkan ekonomi yang tengah diterpa resesi berkepanjangan,  Erdogan kemungkinan akan tetap sulit untuk mendongkrak popularitasnya di mata rakyat Turki. 

Pada akhirnya, upaya menghidupkan kejayaan Islam seyogyanya bukan dengan sikap gagah-gagahan terhadap agama lain. Namun, kebesaran Islam justru terletak pada keimanan, toleransi, pemerintahan yang baik, kemakmuran serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

                       ***********

Penulis adalah pengamat isu-isu internasional dan tulisan ini merupakan pandangan pribadinya

TAGS : Hagia sophia

Artikel Terkait