Opini

Refleksi Kemerdekaan: Kapan Kita Merdeka Dari Virus Intoleransi?

Oleh : Mancik - Senin, 17/08/2020 15:28 WIB

Pengamat Sosial dan Politik, Rudi S Kamri (Foto: Istimewa)

Oleh:Rudi S Kamri*)

INDONEWS.ID - Hari ini tepat 75 tahun Kemerdekaan RI. Negara dan bangsa yang didesain oleh Bapak-Ibu Bangsa dengan corak dan mozaik keberagaman dalam Persatuan Indonesia. Beragam dalam aneka suku bangsa, bahasa, agama dan keyakinan serta keberagaman dalam pemikiran yang merdeka dalam bingkai dan koridor Bhineka Tunggal Ika.

Namun sudahkah kita menikmati nuasa kemerdekaan secara hakiki?

Dalam kenyataanya sampai saat ini sebagian dari kita masih terbelenggu ketakutan dalam penjajahan gerakan intoleransi yang dilakukan sekelompok orang, khususnya dalam menjalani ibadah keagamaan dan radikalisme pada etnis tertentu. Penjajahan intoleransi keagamaan ini bukan secara formal dilakukan oleh kelompok mayoritas tapi sekelompok orang dari kelompok mayoritas yang mempunyai kepentingan tertentu. Baik kepentingan politik maupun kepentingan sosial.

Berbagai kejadian intoleransi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tidak bisa dilihat sebagai kejadian sporadis semata, tapi sudah membentuk gerakan masif dan by design. Kepentingan pragmatisme politik dan sosial ini sengaja dibuat oleh sekelompok elite untuk menciptakan suasana chaos di masyarakat. Tujuannya untuk menciptakan dominasi dan arogansi semu di benak sekelompok orang bodoh dan berwawasan sempit.

Para mastermind ini menggunakan pendakwah agama untuk menggarap sekelompok masyarakat. Mereka dengan semena-mena memotong dan memenggal dalil-dalil dalam kitab suci yang digunakan untuk mencuci otak sekelompok masyarakat. Akhirnya terbukti sebuah pernyataan bahwa cara yang paling efektif menyesatkan orang bodoh adalah dengan menggunakan dalil-dalil agama. Hasilnya tercipta sekelompok orang seperti robot tanpa akal sehat dan tanpa empati sosial. Mereka merasa paling benar, paling hebat dan paling berkuasa. Mereka tidak sadar, bahwa kenyataanya mereka hanya sekelompok manusia yang lemah dan terpedaya.

Sebetulnya pada saat sekelompok orang pandir tersebut melakukan aksi intoleransinya, disamping mereka merenggut kemerdekaan orang lain, mereka sendiri juga merupakan manusia terjajah oleh kepentingan tertentu yang tidak mereka sadari. Ceritanya orang terjajah yang sedang berusaha menjajah orang lain. Lucu.

Gerakan intoleransi ini seolah mendapat angin surga karena Pemerintah dan Negara terlihat gagap dalam menghadapi kelompok ini. Instrumen dan infrastruktur hukum tidak digunakan sebagaimana mestinya. Atas nama untuk menjaga situasi sosial masyarakat yang kondusif, kejadian intoleransi sering berakhir dengan meterai Rp 6000,-. Suatu perdamaian semu yang tidak berpihak pada korban. Pemimpin negara lebih sering hanya melakukan himbauan normatif dan mengedepankan simbol-simbol yang terkesan hanya pencitraan semu tanpa aksi penegakan hukum yang semestinya.

Ini PR besar bangsa ini. Diperlukan gerakan masif dari semua elemen bangsa untuk melawan kelompok intolerans. Pada saat kita tidak bisa terlalu berharap kepada Negara dan partai-partai yang pragmatis, "civil society" harus bergerak untuk membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan kaum intoleransi. Salah satu caranya adalah lewat edukasi informasi literatif secara masif ke masyarakat akar rumput. Pada saat masyarakat terbebas dari kebodohan, insyaallah secara bertahap akan menjadi manusia tolerans yang mempunyai naluri empati sosial.

Kalau ibaratnya intoleransi itu adalah virus, kita harus segera menangkalnya dengan memberikan vaksin yang tepat. Vaksin yang tepat adalah taraf pendidikan dan kesehatan yang memadai dan ujungnya adalah kesejahteraan yang berkeadilan. Kalau Negara dan tokoh bangsa abai melakukan hal itu, kita harus bergerak sendiri, dalam lingkungan terkecil di sekitar kita. Kita harus segera melakukan hal itu. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi ?

Dirgahayu Indonesia

Salam SATU Indonesia
17082020

Penulis adalah Pengamat Sosial dan tinggal di Jakarta.

 

 

 

Artikel Terkait