Opini

BNN Mengalami Turbulensi Dalam Pemberantasan Narkoba

Oleh : luska - Selasa, 15/09/2020 12:05 WIB

Oleh :  SS Budi Rahardjo (ketua AMDI)

Jakarta, INDONEWS.ID - Gaduh ini tak hanya menggangu kinerja internal. Telegram Kapolri dengan nomer ST/2557/IX/KEP./2020 menimbulkan polemik. Pasalnya, telegram tersebut menyebutkan bahwa Irjen Arman Depari dimutasi dari posisi Deputi Pemberantasan di BNN kembali ke Polri.

Juga muncul Keputusan Presiden (Keppres) 116/2020 yang dikeluarkan bulan Juli 2020 yang memuat tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan BNN, Arman akan dilantik kembali kembali sebagai Deputi Pemberantasan.

Keppres pengangkatan kembali Arman Depari diterbitkan pada Juli 2020 menurut info yang didapat, karena administrasi Sekneg tak memiliki nama lain, saat akan diketik SK itu. Arman dianggap sosok yang paling mengerti situasi dan permasalahan narkoba, juga berintegritas.
Dalam rilisnya, RIDMA Foundation menyayangkan situasi ini. Bukan saja, tak lazim terjadi, perwira tinggi Polisi yang memasuki masa pensiun diangkat kembali melalui Keppres untuk menempati posisi yang sama.

“Tak sekedar membingungkan, tapi keterlaluanlah. Kapan kesempatan buat junior dan ASN,” masih 
pendapat aktivis anti narkoba yang juga seorang jurnalis itu. Ketua Forum Pimpinan Media Digital itu 
mengkritisi kebijakan pimpinan BNN atau Mabes Polri, termasuk admin Kepres itu.

Pasalnya, pria yang aktif menjadi aktivis anti narkoba sejak Bakolak Inpres itu menyebut “gaduh” 
internal akan menimbulkan "turbulenci". Pihak Sekretariat Negara yang mengeluarkan Kepres, mengaku belum mendapat nama yang layak untuk menduduki posisi Deputi Berantas BNN.

Baru kali ini, jabatan Deputi Pemberantasan akan diisi sosok polisi yang memasuki masa pensiun. “Setiap jaman ada orangnya, setiap orang ada jamannya,” ujar S.S Budi Raharjo MM, ketua LSM Ridma Foundation mengkritisi yang sedang terjadi di BNN.

Posisi Deputi Pemberantasan demikian strategis, karena di bidang inilah BNN membongkar mafia dalam negeri dan luar negeri. Sang kumendan Deputi Pemberantasan punya otoritas luar bias. Dapat memanfaatkan "alat sadap" untuk mendeteksi orang-orang yang dicurigai.

Sejatinya, nama deputi Pemberantasan sudah ada. Hanya saja, terjadi "tarik menarik" kepentingan. 
Seakan tak menemukan kandidat yang memiliki pengalaman di lingkungan reserse, dengan syarat 
sedikitnya selama lima tahun dan khusus di narkoba sedikitnya selama dua tahun.

"Kami punya data, untuk orang-orang yang punya pengalaman khusus dalam pemberantasan narkotika, yang mendapat julukan pengalaman sebagai salah satu dari extra ordinary crime," ujar S.S Budi Raharjo.

Ketum RIDMA Foundation, sangat menyayangkan Kepala BNN Heru Winarko dengan kejadian itu.
“Kalau soal layak, saya lihat di BNN banyak yang layak untuk posisi itu,” ujar aktivis anti narkoba yang 
aktif sebelum BNN lahir, bahkan sejak Bakolak Inpres 71. Budi Jojo menyebut Deputi Cegah malah 
sejatinya cocok, dengan track record-nya ditaruh di Pemberantasan.

Jika ada info, internal pemberantasan kurang clear. “Kalau soal intergritas atau pernah main mata 
dengan bandar narkoba. Kami juga punya datanya, bagaimana oknum BNN menjual barang bukti,” ujar 
Budi Jojo. Dan itu, “Kasusnya juga sudah diproses kepolisian. Ada juga figure di Pemberantasan BNN 
yang bersih dan berintegritas.”

Karena memang, posisi Deputi Pemberantasan adalah posisi strategis yang membutuhkan integritas dan otoritas yang kuat. BNN harus dipegang oleh “pilot” yang “ngerti” permasalahan narkoba atau punya latar belakang hal itu.

Jangan kejadian “darurat Covid-19” dan “darurat narkoba” malah Keputusan Presiden dan Telegram 
Polri menimbulkan “gaduh”. BNN sampai harus bergantung pada satu figur, yang memang dikenal 
berintegritas di dalam pemberantasan.

Jika pada pesawat turbulensi biasanya disebabkan oleh faktor dari eksernal. Untuk BNN, ibaratnya 
turbulensi pesawat dari goncangan dalam itu sendiri. Jika di BNN terjadi turbulensi.

Yang sedang terbahak-bahak, ya pengedar. Karena masalah internal, kini “meloncat” ke publik. 
Masyarakat jadi tercelik kembali, kenapa kemarin anggota DPR ingin “membubarkan” dipergunjingkan di kalangan penggiat anti narkoba, BNN yang baru saja mengajukan anggaran tambahan anggaran Rp 234 Miliar, masalah internal kini “meloncat” ke publik. Agenda untuk membubarkan BNN, kembali diangkat oleh "tangan-tangan tak kelihatan".

Kemarin, sempat ramai DPR Komisi III mengkritik BNN karena dinilai sampai saat ini BNN "miskin 
terobosan, padahal Narkoba di Indonesia ini telah memasuki tahap yang serius. Anggaran besar BNN tak sebanding dengan kinerja.

BNN dianggap tidak memiliki dampak yang signifikan maka BNN bisa saja dievaluasi dan dibubarkan sehingga kewenangan penanganan narkotika diserahkan ke Polri saja.

"Masak negara kalah dengan bandar narkoba. Kalau BNN tidak mampu menjadi alat memerangi 
narkoba, nyatakan saja tidak mampu. Biar kita bubarkan saja, kita cari alat yang lain," ujar para anggota DPR, seperti paduan suara koor, kemarin.
Karena BNN saat ini dianggap institusi yang dipegang oleh “pilot” enggak “ngerti” permasalahan narkoba atau tak punya latar belakang hal itu.

Artikel Terkait