Opini

Pilkada Desember 2020 dan Pertaruhan Terbesar Presiden Jokowi

Oleh : Mancik - Kamis, 24/09/2020 10:10 WIB

Pengamat Sosial dan Politik, Rudi S Kamri (Foto: Istimewa)

Oleh:Rudi S Kamri*)

INDONEWS.ID - Angin kuat yang terpancar dari Istana Negara adalah kepastian pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember 2020. Setelah mempertimbangkan segala masukan dan saran dari delapan penjuru angin, termasuk dorongan kuat dari DPR (baca: Partai Politik), akhirnya Presiden Jokowi mengambil langkah berani itu, tetap menjalankan pemilihan 270 Kepala Daerah di tengah pandemi.

Dengan segala hormat, kali ini saya bersikap tidak sependapat dengan Presiden Jokowi. Bagi saya melaksanakan Pilkada di saat angka paparan positif Covid-19 semakin naik tajam dan menggila seperti saat ini (bahkan diperkiraan mencapai puncaknya Desember 2020) adalah pertaruhan besar bagi Presiden Jokowi.

Dengan positive rate covid-19 kita saat ini mencapai 10 - 15% kalau pelaksanaan Pilkada Serentak Desember mendatang tidak dilakukan dengan pengawasan protokol kesehatan yang super ketat, akan melahirkan klaster raksasa baru yang mencapai JUTAAN orang terpapar Covid-19.

Kalau hal ini terjadi akan menjadi bencana besar buat negeri ini. Di samping itu akan menciptakan efek berganda (multiplier effect) yang maha dasyat. Bukan hanya sekedar bencana kesehatan yang maha dasyat tapi juga bencana resesi ekonomi yang parah dan tak terkendali.

Dan ujungnya berpotensi menjadi "backfire`" dan ancaman politik bagi Presiden Jokowi. Karena kelompok anti Pemerintah akan menjadikan ini sebagai amunisi untuk menghantam Presiden Jokowi lebih keras. Ini yang sangat tidak saya inginkan.

Salah satu pertimbangan Presiden Jokowi bahwa beliau tidak berkehendak memangkas hak rakyat untuk dipilih dan memilih, adalah alasan yang dengan mudah dipatahkan karena penundaan (lagi) Pilkada sama sekali tidak untuk mencerabut hak demokrasi rakyat, tapi hanya sekedar menunda di waktu yang lebih tepat dan aman.

Lagi pula sebetulnya semua orang termasuk saya meyakini, apalah artinya memaksakan jalannya proses demokrasi yang hanya untuk menyalurkan hak politik kelompok tertentu tapi dengan resiko berpotensi mengorbankan jutaan kesehatan dan jiwa rakyat.

Pertimbangan bahwa Pilkada bisa menggeliatkan ekonomi juga alasan yang sangat mudah diperdebatkan. Karena hal ini hanya geliat sesaat dan bersifat artificial (tidak mendasar). Bahkan secara tidak langsung memaknai Pilkada hanya dari aspek ekonomi semata berarti seolah Negara melegalkan terjadinya "money politic" yang akan mengotori hak demokrasi rakyat.

Dengan masukan dari berbagai penjuru angin termasuk dari NU, Muhammadiyah, para tokoh bangsa, para ahli tata negara dan ahli kesehatan, mengapa Presiden Jokowi masih keras memutuskan untuk melanjutkan perhelatan Pilkada ini? Apakah karena anak dan nanti beliau terlibat dalam Pilkada Desember 2020 ini?

Saya rasa bukan karena hal itu. Tapi karena Partai Politik tidak menginginkan Pilkada DITUNDA. Sangat berat bagi Presiden memutuskan sesuatu tanpa dukungan Partai Politik, karena hal ini akan berimbas terhadap dukungan politik dari Parlemen. Karena kenyataan faktualnya memang DPR lebih condong sebagai representasi Partai Politik bukan berperan sebagai wakil rakyat. Aneh bin ajaib.

Tapi mungkin ada yang terlupa dari prediksi Presiden dan jajarannya. Kalau akhirnya nanti ternyata Pilkada Desember 2020 akan menjadi bom atom yang maha dasyat bagi paparan positif corona di negeri ini, saya pastikan para pimpinan dan elite Partai Politik akan menetapkan 3M yaitu `Memakai Masker` alias gerakan tutup mulut alias mingkem alias cicing wae.

Berikutnya mereka akan sering `Cuci Tangan` alias tidak mau bertanggungjawab. Lalu selanjutnya mereka akan `Jaga Jarak`. Mereka akan jaga jarak dengan Presiden dan Presiden Jokowi akan dibiarkan sendiri menghadapi gelombang serangan dari kelompok anti Pemerintah yang akan menggerakkan rakyat yang lagi lapar (mudah-mudahan tidak akan terjadi).

Jadi secara obyektif pertaruhan atau konsekuensi politik, ekonomi dan resiko kesehatan bagi Presiden Jokowi amat sangat terlalu besar, mahal dan berat. Ini yang sangat saya khawatirkan. Seharusnya Presiden Jokowi berani bersikap berlawanan dengan partai-partai karena semua tanggungjawab dan konsekuensi akan ditanggung oleh Presiden bukan para elite partai politik.

Bagi Partai Politik yang penting kader-kadernya sesegera mungkin bisa menjadi penguasa di daerah masing-masing, agar bisa dijadikan lumbung bagi kesejahteraan Partai Politik (bukan rakyat) dan dijadikan pijakan dan modal menghadapi Pemilu 2024.

Mudah-mudahan dalam waktu dekat keputusan Presiden Jokowi bisa berubah. Kalau tidak berubah, semoga KPU dan KPUD lebih cerdas dan inovatif dalam memodifikasi tahapan dan penyelenggaraan pesta politik bagi para pragmatisme kekuasaan (bukan rakyat) yang terlanjur membayar mahar kepada atasannya.

Lebih banyak mana manfaat dan mudharatnya pelaksanaan Pilkada Desember 2020 nanti? Kalau saya lebih banyak mudharatnya. Jangan sampai hanya ingin menaikkan seseorang jadi Gubernur, Walikota atau Bupati tapi dengan mengorbankan kesehatan dan jiwa jutaan orang. Sangat tidak worth it alias sangat tidak setimpal. Bagaimana dengan anda ?

Salam SATU Indonesia
24092020

#SaveIndonesia

*)Penulis adalah pengamat sosial politik dan tinggal di Jakarta.

 

Artikel Terkait