Bisnis

Webinar PT JIEP, Peluang Investasi di Masa Pandemi

Oleh : very - Minggu, 27/09/2020 21:20 WIB

Webinar PT JIEP bertajuk

Jakarta, INDONEWS.ID -- Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada Selasa, 22 September 2020 lalu mengatakan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini mengalami koreksi, yang dari semula minus 1,1% hingga 0,2 %, menjadi minus 1,7% hingga 0,6%.

Dia memprediksi bahwa pertumbuhan negatif akan terjadi pada kwartal ketiga ini, bahkan pada kwartal keempat mendatang. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa ekonomi nasional pasti memasuki fase resesi pada kwartal tiga tahun 2020 ini.

National Bureau of Economy Crisis (NBEC) mendefinisikan resesi ekonomi sebagai penurunan yang signifikan dari kegiatan ekonomi secara merata. Kondisi ini sudah terjadi dalam beberapa bulan yang tercermin dalam beberapa indikator yang ada, yakni dalam bentuk pendapatan riil, produk domestik bruto, lapangan kerja, tingkat produksi, penjualan di tingkat eceran, hingga konsumsi masyarakat.

(Direktur Keuangan PT JIEP, Arif Adhi Sanjaya dalam Opening Speech (Salam Pembuka) pada diskusi webinar bertajuk "Investment Palanning"- Peluang Investasi Di Masa Pandemi, pada Jumat (25/9).

NBEC juga mendefinisikan bahwa resesi ekonomi terjadi ketika dunia usaha berhenti berkembang. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi terjadi secara tidak merata selama dua kwartal berturut-turut, sehingga pengangguran bertambah dan harga properti pun turun karena tidak adanya daya beli dari masyarakat.

Lantas bagaimana kita bisa menyikapi resesi ekonomi ini? “Kita harus mengelola keuangan kita dengan sebaik-baiknya, sehingga kita bisa selamat dari kondisi sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus ketahui kiat-kiat untuk menjalani masa ini,” ujar Direktur Keuangan PT JIEP, Arif Adhi Sanjaya dalam Opening Speech (Salam Pembuka) pada diskusi webinar bertajuk "Investment Palanning"- Peluang Investasi Di Masa Pandemi, pada Jumat (25/9). Acara ini menghadirkan dua narasumber yaitu Managing Partner Inpartner Consultant, Priyanto Soedarsono, dan Head of Investment and Research PT BNI Aseset Management, Yekti Dewanti dengan media partner Indonews.id.

Salah satu kiat yang dilakukan oleh para investor, kata Arif, yaitu mereka hati-hati menempatkan dana, bahkan sangat hati-hati dalam menyimpan uang tunai sebagai pegangan. Hal ini, menurutnya, tidak salah, karena mereka bisa menyimpan dan mengambil uanya di saat mendesak.

“Perlu diingat bahwa uang tunai yang disimpan di bawah kantong atau laci meja, tidak akan berkembang dan justru akan tergerus oleh investasi. Di masa pandemi ini, banyak orang ragu untuk menyimpan uangnya sebagai investasi. Padahal dengan berinvestasi pada tempat yang aman dan tepat, dapat memulihkan kondisi ekonominya,” ujarnya.

Masa pandemi ini, kata Arif, bisa menjadi peluang para investor untuk menambah porto folio investasi yang ada. Ada beberapa hal yang harus dipahami investor ketika mereka ingin berinvestasi. Ada banyak literatur yang berkisah  tentang modeling investasi.

Dia mencontohkan, dalam khazanah keuangan syariah, untuk bisa mengatur keuangan, kita bisa menengok yang ditampilkan dalam Kisah Nabi Yusuf. Nabi Yusuf mengatur keuangan sehingga masyarakatnya bisa bertahan hidup selama 7 tahun di negeri Mesir. Karena itu, kita bisa bercermin dari kisah tersebut untuk meningkatkan investasi yang ada.

(Managing Partner Inpartner Consultant, Priyanto Soedarsono, foto: Ist)

Mengakhiri kata Pembuka, Arif mengutip pernyataan Abaraham Lincoln yang mengatakan, "The best way to predict your future is to create it now". “Oleh karena itu, pada saat pandemi ini, kita dianjurkan untuk bisa berinvestasi untuk meraih keberhasilan di masa mendatang. Karena itu mari kita berivestasi yang tepat, aman dan berkualitas,” ujarnya.

 

Cara Terbaik Menggandakan Uang dengan Berinvestasi

Priyanto Soedarsono mengatakan berbicara tentang "investment planning" berarti kita membahas tentang proses melakukan investasi.

Dia mengatakan bahwa ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negatif pada kuartal kedua.

Dikatakannya, bahwa saat ini Indonesia sedang memasuki suasana "technical recession". Sektor-sektor yang memberikan kontribusi negatif antara lain transportasi dan pergudangan, akomodasi makanan dan minuman, sektor jasa dan yang masih positif adalah sektor pertanian.

Priyanto mengatakan, bukan Indonesia saja yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, tapi juga ada beberapa negara di Asia Tenggara, yakni Philipina, Singapura, dan Malaysia. Jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara di benua Eropa, negara kita masih cukup normal, bahkan kondisi perbankan kita saat ini likuiditasnya masih banyak, yakni Rp 6200 triliun. Hanya pada era 1998 pertumbuhan ekonomi kita menurun hingga -13,1%.

Pada masa Pandemi Covid 19 ini, ada banyak sektor yang terhambat, yakni transportasi, toko-toko, krisis bank, persediaan bahan makanan, penghambatan investasi dan masih banyak sekor yang lain. Namun ada pula sektor-sektor yang justru "memetik hasil" di masa Pandemi ini, yakni rumah sakit dan farmasi.

“Namun di balik itu, ada satu sektor yang belum kita gapai saat ini, yakni sektor FINTECH. Dan untuk bisa menggapainya, maka kita harus belajar dari industri Alibaba di Cina,” ujarnya.

(Head of Investment and Research PT BNI Aseset Management, Yekti Dewanti. Fot: ist)

Mengakhiri pembahasannya, Priyanto mengutip perkataan Suze Orman, “The key to making money is stay invested”.

Sementara itu, Yekti Dewanti mengatakan penyebaran Covid-19 sudah terjadi di berbagai negara di dunia. Jika dilihat, ternyata ada beberapa negara di Asia  yang sudah mengalami zona aman, sehingga kehidupan ekonomi pun berangsur baik, seperti  Cina dan Korea Selatan. Bahkan beberapa negara maju pun sudah membaik kehidupan ekonominya. Dikatakannya, ada  tiga negara yang menjadi episentrum Covid-19 di dunia saat ini, yakni  USA, India, dan Brazil.

Yekti mengatakan, sejauh kita belum temukan vaksin Covid 19, maka pemulihan ekonomi akan jauh lebih lama dari estimasi sebelumnya. Oleh karena itu, ada beberapa perusahaan di Indonesia yang mulai bermitra untuk menemukan vaksin, yakni Biofarma, Kimia Farma, dan Kalbe Farma.

Dikatakannya, salah satu cara mengatasi kehidupan ekonomi kita saat ini adalah Bank Sentral harus melakukan stimulus moneter/fiskal, yakni percetakan uang untuk meningkatkan peredaran uang dan menopang kehidupan ekonomi. Contohnya negara Turki sudah menaikkan suku bunga karena melihat adanya tanda-tanda krisis keuangan di negara Turki.

Pandemi  Covid 19 mendorong di pasar keuangan global, sehingga para investor cenderung memindahkan dana ke "Safe Heaven Assets" (SHA). Dan salah satu SHA adalah emas. Ketika harga minyak turun hingga 68%, komoditi dan saham pun mengalami  penurunan dari 20 - 27%, justru di saat itu harga emas mengalami  kenaikan hingga 13,8%.

Selain itu dari sektor riil, harga ayam broiler, tempat rekreasi dan perhotelan pun mengalami penurunan yang drastis.

Menurutnya, ada beberapa sektor yang bertahan yaitu telkom yang selalu  menawarkan pulsa dan paket data untuk para pelanggan. Selain itu, Indofood yang menyiapkan bahan makanan. Selanjutnya, produk kesehatan yang menyiapkan obat-obatan.

Hingga saat ini, kata Yekti, baru negara Cina yang sudah memasuki zona hijau/zona aman, sehingga pemulihan ekonominya sudah membaik, yang ditandai dengan likuiditas dana di bank yang semakin meningkat.

“Pandemi Covid 19 kembali  mengingatkan kita akan pentingnya berinvestasi dan diversifikasi risiko. Selain itu kita harus mampu melakukan perubahan dan inovasi bisnis,” ujarnya. (Very)

Artikel Terkait